Waktu entah mengapa berjalan sangatlah cepat di saat kita tidak memerhatikan kehadirannya. Detik yang dianggap terlalu biasa menjadi suatu hal yang luar biasa. Tanpa kusadari, aku telah kembali lagi di sini. Tempat dimana aku meninggalkan kota ini untuk membuktikan bahwa keluarga kami tak pantas untuk direndahkan. Kami memiliki hak yang sama dalam hukum yang ada.
Tidak terasa sudah satu tahun berlalu aku menyelesaikan pendidikan magister sekolah seniku. Tiga setengah tahun yang terasa begitu berat ku jalani saat aku jauh dari keuargaku. Ibu yang selalu berkabar dua kali dalam sebulan. Bahkaan bang Rafka yang selalu menelfon empat kali dalam satu minggu kini telah memiliki seorang putri kecil yang cantik dan menggmaskan.
"Bangun, Nak. Bukankah hari ini kau ada acara penting", gerakan lembut ibu membangunkanku.
"Lala masih mengantuk ibu", dengan gerakan cepat aku menarik selimut yang sempat ditarik oleh ibuku. Kudengar ibu mendecakkan bibirnya. Aku hanya tersenyum kecil. Sudah sejak tiga pulu menit yang lalu aku bangun dari tidurku. Hanya saja aku masih begitu malas untuk meninggalkan tempat tidur nyaman ini.
"Jangan salahkan ibu ya kalo nanti Lala terlambat", kudengar ibu membuka pintu dan menutupnya kembali dari luar kamarku. Tidak ada bang Rafka. Itulah alasanku keluar kamar sediki terlambat. Melanjutkan posisi tubuhku, aku mendengar seseorang kembali membuka pintu kamarku. Aku kembali menarik selimut ku hingga sebatas pundak.
"Ya ampun, dek. Nggak salah tuh jam kamu udah di angka delapan. KAMU TELAT !!!"
Segera aku membuka selimut ku dan melihat ke arah jam dinding di depan tempat tidurku. Tapi setelahnya aku mendengar bang Rafka tertawa keras dengan memegangi perutnya. Pusing masih menyerangku akibat bangun secara mendadak. Aku mengamati jam di did=nding sekali lagi. Pukul enam pagi. Bahkan masih terlewat tujuh menit. Aku tahu bang Rafka pasti sedang membohongiku. Tapi tetap saja aku tertipu. Sial !
"Kenapa sih bang Rafka ada disini?"
"Eh, suka-suka abang dong. Ini kan rumah ibu. Wleee..."
"Nyebelin tau"
"Salah siapa ngerjain ibu"
"Siapa yang ngerjain ibu coba. Ibu saja yang tidak tau kalo Lala udah bangun dari tadi"
"Sama aja, La", bang Rafka menyentil dahiku dengan keras. Ck !
"Sudah. Turun dan bantu ibu memasak"
"Emang mbak Putri nggak ikut kesini sama mas?"
"Oh. Kamu mau nyuruh mbak Putri untuk membantu ibu di dapur gitu. Kamu nggak ingat mbak Putri lagi hamil besar anak kedua abang ?"
"Iya..iya. bawel amat sih"
"Ayo, Lala. Cepat turun"
"Iya abang ku yang jelek", aku berdiri dan mendorong bang Rafka agar jatuh di kasur dan berlari menuruni tangga mencari ibu. Kudengar bang Rafka berteriak memanggil namaku.
Sukurin tuh !
"Pagi ibuku yang cantik", aku mencium pipi kanan ibu dari belakang. Kebiasaan setiap pagi sejak aku masih sekolah dulu. Mencium pipi ibuku.
"Pagi, Lala. Bantuin ibu potongin wortel jadi dadu ya, La. Ibu mau buat sop aja, biar sarapan pagi ini lebih segar"
"Siap ibuku yang cantik. Masakan apapun selalu enak asal dari tangan ibuku ini", aku mencolek dagu ibu dari samping. Sedangkan ibu hanya mendnegus geli melihat tingkahku.
Kudengar ada anak kecil memanggil namaku. Aku menolehkan kepala ke belakang. Melihat gadis kecil berumur enam tahun berdiri di tengah pintu dapur.
"Anak siapa itu, bu?" aku pura-pura bertanya pada ibuku.
"Onty, Lala," gadis kecil itu kembali memanggilku.
"Anak siapa sih itu, bu. Kok ada di sini. Anak tetangga ya?"
"Dek, awas ya kalo bikin Amel nagis pagi-pagi."
"Siapa sih bang?"
"Onty, Lala," kulihat gadis kecil itu mulai menangis.
"Siapa sih bang anak itu?"
"Dek!"
Huaaaaa....
Aku pun tertawa keras melihat wajah bang Rafka yang terlihat panik ketika mendengar Amel menangis. Aku tahu bang Rafka pasti takut jika mbak Putri marah karena Amel menangis. Aku pun menghampiri Amel dan merebutnya dari gendongan bang Rafka. Mbak Putri terlihat berjalan ke arah kami. Dan hitungan ktiga ku selesai mbak Putri menangkap telinga kiri bang Rafka.
"Bunda sudah bilang, jangan buat Amel menangis pagi-pagi, Ayah.Susah banget sih dibilangin."
"Bukan Ayah, Bun. Lala tuh yang jahil," bang Rafka menatapku dengan mata melotot. Aku hanya menjulurkan lidah padanya. Balasan atas kejahilan bang Rafka tadi pagi. Keluar dengan masih menggendong Amel di lenganku. Aku membawanya ke taman belakang. Bermaksut merrdakan tangisannya. Sedikit merasa bersalah karena Amel menangis hingga sesenggukan.
***
Gedung PGN Bandung, 13:00
Gedung PGN Bandung sudah terlihat ramai oleh kendaraan beroda empat. Rangkaian bunga ucapan selamat datang dan terselanggarakannya acara amal berjejer rapi di depan pintu gerbang.
Aku memasuki ruangan itu. Memutari ruangan yang sudah mulai sesak dipenuhi para pengunjung. Mataku beralih pada bagian ujung ruangan. Terdapat spanduk besar bertuliskan "Konser Amal Palestina". Konser amal kali ini diadakan untuk membantu saudara-saudara yang ada di Palestina. Acara yang sudah dipersiapkan selama tiga bulan ini cukup lancar hingga detik ini. Di podium berukuran 6x3 meter itu berdiri seorang petinggi dari Provinsi. Beliau adalah salah satu pelopor dalam kegiatan konser amal ini.
Sembari menunggu kedatangan Ana, aku mulai berjalan mendekati beberapa lukisan yang terpampang. Tidak ada masalah jika aku pergi pada acara seperti ini. Hanya saja Ana sejak semalam merengek ingin pergi karena bosan hanya di rumah selama masa cutinya. Itulah mengapa malam itu aku mengajaknya untuk menghadiri acara konser amal ini.
Waktu berjalan tiga puluh menit kemudian. Ana belum menunjukkan batang hidungnya. Meraih handphone, aku mencoba menghubungi Ana.
"Kau dimana?" suara kekehan itu aku mengenalnya. Sudah pasti dirinya akan membatalkan janjinya.
"Aku tau kau tidak akan datang."
"Kurasa aku bukan orang yang cocok dengan acara seperti itu, La."
"Hmm"
"Kau tidak akan marah bukan?"
"Menurutmu?"
"Oh ayolah, kau tau bagaimana aku. Aku akan mentransfer beberapa gajiku bulan ini untuk acara konser amal itu."
"Terserah kau sajalah"
"Ahh... kau memang Lala yang baik."
"Aku tau. Sudah lupakan. Aku ingin melanjutkan lukisan-lukisan yang sedang melambai padaku."
"Dasar gila!!"
Aku menutup sambungan telepon dengan tertawa. Ana adalah orang pertama yang mengatakan bahwa aku cocok menjadi kekasih lukisan-lukisan yang mungkin dijual orang. Ia mengatakan bahwa aku lebih serasi disandingkan dengan lukisan daripada dengan laki-laki. Itu menurutnya. Bagiku tidak masalah dengan penilaian Ana. Sebab aku tau dia hanya heran dengan sikapku, mungkin.
"Excusme!" Aku tersentak kaget ketika seseorang menepuk pundak kananku. Memperhatikannya sebentar. Wanita dewasa didepanku ini sedang memperhatikan ke seluruh ruang.
"Yes, miss?"
"Aku ingin bertanya. Siapa penyelenggara acara amal ini. Aku ingin menemuinya," aku mengerutkan dahiku samar. Dan wanita didepanku sepertinya menyadari kebingunganku.
"Maaf, sebenarnya aku tidak tahu harus melakukan apa disini. Aku hanya menggantikan adikku yang seharusnya mendatangi acara amal ini. Melihatmu memakai id card itu, jadi aku bermaksud menanyakannya padamu. Aku hanya ingin menyampaikan perminataan maaf dari adikku karena tidak bisa datang."
Wanita itu menjelaskan maksud kedatangannya. Aku yang mulai paaham dengan kondisi pun tersenyum.
"Oh... Anda bisa menemui seseorang yang ada di ujung podium sana, miss. Aku baru melihatnya turun setelah beliau memberikan pidato singkatnya."
"Bisakah kamu mengantarku kesana. Aku merasa sedikit bingung."
"Tentu, miss. Mari saya antar. "
Kami pun menuju seseorang yang sedang berbincang dengan orang-orang yang menjadi bintang tamu pada acara amal ini. Setelah mendekatinya, aku pun memanggilnya. Yang aku tahu, beliau adalah pemilik perusahan besar di kota kami. Maksudku di kotaku, Bandung. Perusahan properti terbesar di Jawa Barat dan pemilik gedung yang saat ini menjadi lokasi konser amal kali ini.
"Permisi Pak."
"Ya?"
"wanita disamping saya ingin berbicara sebentar dengan anda," menyadari sesuatu ada yang salah. Aku pun membaalikkan tubuhku ke belakang, dimana wanita tadi berdiri di belakangku. Aku lupa menanyakan namanya.
"Maaf, miss. Aku lupa bertanyaa siapa namamu," aku meringis kecil menyadari kesalahanku. Tetapi wanita itu tersenyum tulus.
"No problem," akhirnya wanita ini pun beralih dariku dan mengulurkan tangan pada Tuan Ibrahim. Nama yang kutahu saat aku membaca rangkaian bunga yang berjejer di depan tadi.
"Maaf sebelumnya. Tuan. Saya hanya ingin menyampaikan permintaan adik saya yang tidak bisa menghadiri acar amal hari ini. Ia harus pergi mengurus sesuatu."
"Adik?" Sepertinya tuan Ibrahim tidak mengenali wanita ini. Terbukti dengan wajahnya yang terlihat bingung.
"Ahhh... maaf. Nama sayaa Roselin. Kakak dari Pande. Mungkin Anda mengingat pernah mengundangnya."
"Ahh.. yaa. Saya ingat. Pande, ternyata memiliki Kakak perempuan. Dasar anak itu, bagaimana bisa ia tidak pernah bercerita padaku," Tuan Ibrahim akhirnya menepuk bahu Rose. Merasa tersanjung dengan berita yang baru didengarnya. Akhirnya mereka berdua pun berbincang singkat. Yang kudengar dari obrolan mereka adalah bahwa laki-laki bernama Pande itu sedang pergi ke luar negeri. Ada yang harus diurusnya sehingga dirinya tidak bisa datang hari ini.
Kalau kalian bertanya mengapa aku bisa tahu. Wanita bernama Rose itu tidak membiarkanku pergi. Dia mengaitkan lengannya di tangan kananku. Sedikit risih, tapi kaau membiarkannya. Mungkin Rose juga merasa kurang nyaman dengan Tuan Ibrahim. Aku hanya menimpali sedikit obrolan mereka, hanya ketika ditanya.
Setelah cukup berbincang dengan Tuan Ibrahim, aku dan Rose pun pamit untuk berkeliling melihat lukisan di sana.
"Kalau begitu kamu permisi dulu , tuan."
"Silakan.... silakan."
Setelah dirasa cukup jauh dari jangkauan Tuan Ibrahim. Terdengar Rose menghembuskan napasyang kurasa sedikit kasardi telingaku. Aku menoleh padanya.
"Ada apa?"
"Kau tidak berpikir jika Tuan Ibrahim terlalu berlebihan. Aku bergidik ngeri setiap mendengar omongannya", aku tertawa kecil. Mengerti maksud dari ucapannya. Ya, kurasa Tuan Ibrahim menyukai Roselin. Terlihat dari cara bicara dan tatapannya.
"Bukankah dia cukup tampan, Ros?", Roselin hanya mendengus mendengar ucapanku.
"Sebentar, aku harus memanggilmu seperti apa. Maafkan aku."
"Apa maksudmu. Kamu memanggilku Ros, tentu saja apa lagi."
"Kupikir kamu lebih tua dariku."
"Lupakan tentang umurku. Aku lebih senang kamu memanggilku seperti tadi," aku hanya mengangguk.
"Menjawab kalimatmu tadi. Aku bisa dikurung suamiku jika benar-benar meladeni Tuan Ibrahim."
"Rupanya kamu sudah bersuami. Sayang sekali, Tuan Ibrahim yang malang."
"Apa maksudmu," aku hanya tertawa mendengar omelannya. Aku baru mengenalnya beberapa menit yang lalu. Bahkan belum ada hitungan jam. Tapi rasanya aku sudah mengenal Roselin lama sekali. Seolah-olah wanita ini adalah teman lawas yang datang lagi setelah tidak berjumpa dalam waktu yang lama.
Kami melanjutkan obrolan dengan berkelilimg gedung. Setidaknya dengan lukisan-lukisan ini ada banyak obrolan yang bisa kami bahas.
"Kamu suka seni, ya?" disampingku Roselin bertanya
"E... hemmm."
"Pantas saja, dari tadi aku melihatmu begitu menikmati lukisan-lukisan dan karya yang ada di sini."
"Memangnya aneh ya. Teman-temanku bilang aku tergila-gila dengan lukisan"
Roselin tertawa lirih mendengar pertanyaanku.
"Tidak. Kau sama seperti adikku. Setiap membahas lukisan dan seni apapun, dia juga akan menunjukkan mimik dan ketertarikan yang sama denganmu. Kupikir kalian hampir mirip."
"Oh... adikmu menykai seni juga?"
"Kupikir bukan suka, dia mencintai seni seperti mencintai dirinya sendiri"
Kamu pun tertawa bersama. Aku menarik tangannya saat melihat sesuatu yang begitu menarik.
"Rose, kau lihat lukisan ini?"
"...."
"Ini adalah salah satu lukisan Pita Maha yang berasal dari Bali. Kau tahu, lukisan ini dulunya berasal dari Ubud, Bali, lalu menyebar keseluruh wilayah lainnya yang ada di Bali. Seni lukis Pita Maha ini berakar dari seni lukis klasik tradisional, tapi dalam pembuatannya mendapat sentuhan seni lukis barat, sehingga memiliki corak dan gaya tersendiri yang khas dan unik, kemudian lukisan ini dilanjutkan oleh generasi penerusnya sampai sekarang, sebagai seni lukis gaya Ubud."
"Kau tahu sejarahnya ?", mengabaikan pertanyaannya. Aku melanjutkan mengamati lukisan itu.
"Unsur garis pada pembuatan lukisan ini sangat dominan dalam menentukan obyek lukisan Pita Maha, karena garis adalah paling hakiki dalam seni lukis dan garis adalah ekonomi dalam seni. Dalam pewarnaannya, lukisan ini didasari oleh gradasi hitam dan putih, yang memunculkan kesatuan warna antara satu warna dengan warna lainnya mengesankan warna kelam yang tidak mencolok, karena ada kesamaan dasar warna. Kesan warna kelam sangat tergantung dari kepekatan gradasi warna hitam-putih dan setiap pelukis berbeda cara memberi penekanan atau kepekatan tinta hitam, ada yang senang dengan tinta yang pekat tapi ada juga yang senang lebih terang, tergantung dari karakter masing-masing."
"Lalu kenapa disebut dengan lukisan Pita Maha?"
"Aku tidak tahu pasti. Tapi sedikit yang ku tahu Pita Maha ini adalah sebuah kelompok yang mengusahakan Gerakan Sosial Seni Lukis Bali tahun 1930-an"
"Ohh... begitu"
"Pada intinya, lukisan Bali ini adalah sebuah konstruksi sosial yang dibangun atas dasar politik kebudayaan. Dimana ide dari lukisan ini terbentuk dari perpaduan politik kolonial dan kuasa elit raja-raja lokal pada zaman dahulu." Aku menutup cerita ku tentang Pita Maha. Roselin di sampingku hanya mengangguk polos. Lucu.
"Sudah. Kita lihat-lihat saja. Jika aku menceritakan setiap lukisan yang menarik bagiku kau akan mati bosan mendengar ceritaku."
"Kenapa kau baru menyadarinya, Bel?"
"Sialan kau", kami lagi-lagi tertawa.
Kami menghabiskan siswa kebersamaan kami untuk tiga puluh menit kedepan, sebelum Roselin pergi untuk mengurus keperluannya. Aku tidak tahu. Dan berakhir aku sendiri laagi menikmati lukisan-lukisan ini.
...
Mengelilingi bagian terkair dari acara amal ini. aku berhenti di sisi lukisan karya-karya dari pelukis terkenal di Indonesia, Basuki Abdullah. Dari sekian lukisan yang terpajang. Mataku tertarik dengan lukisan wanita berbaju kebaya dengan sanggul dan wajah yang terlihat cantik.
Lukisan itu diberi nama "Lady With Kebaya". Lukisan ini dibuat di atas kanvas ukuran 113 cm x 76 cm dengan goresan cat minyak. Lukisan beraliran realisme yang mengusung gaya mooi indie. Sederhana. Namun dibalik lukisan ini menyimpan cerita asmara dari pahlawan pertama Indonesia.
Konon katanya, model yang menjadi obejk lukisan yang dibuat maestro Basuki Abdullah ini adalah seorang pramugari Garuda Indonesia. Dan lukisan ini lah yan menjadi awal mula kisah percintaan Soekarno dengan sang pramugari.
Singkat cerita, akhirnya Soekarno pun menikahi Kartini Manopo sang pramugari. Namun tidak berlangsung lama, Kartini Manopo ini dikirim ke Jerman utnuk mengindari kemelut politik yang ada di tanah air.
Mendengar kisah cinta seperti ini terkadang membuatku iri. Bagi orang lain mungkin cerita seperti itu adalah hal biasa. Tapi bagi sebagian orang termasuk aku pun, menjadi cerita yang sangat menarik.