Bab 3

Disinilah aku sekarang, di teras rumah dengan secangkir kopi. Setelah ibu ibu meminta untuk pergi ke supermarket membeli bahan isi kulkas.

Tidak ada yang istimewa dengan halamn rumah. Beberapa meter di depanku terdapat pagar hitam setinggi pinggang. Dari tempatku duduk, lurus terdapat bebatuan yang tertata rapi dengan warna hitam di ponggir sedangkan abu-abu di tengahnya. Aku tidak ingat kapan bebatuan ini dibuat. Mungkin ketika aku masih menempuh kuliah ibu mengubah suasana tamannya.

"Bella!"

Kurasakan jantungku keluar dari tempatnya. Sedangkan wanita paruh baya disampingku tertawa keras memegang perutnya. Mengelus dada. Sabar. Dia adalah ibuku, wanita pelindungku. Usil juga.

"Ada apa sih, Bu. Kenapa harus tiba-tiba muncul"

"Kamu pikir ibu hantu. Sudah dari tadi ibu memanggilmu dari dalam. Ngelamunin apa sih, Na. Sore-sore begini jangan ngelamun. Gak dapet jodoh nanti"

"Apa hubungannya, Bu"

"Iyalah... kalau kamu ngelamun terus dimasukin roh jahat dna kamu jadi gila, mana mau laki-laki sama perempuan gila"

"Nyumpahin anaknya jadi perawan ya", hanyaa suara tawanya yang terdengar. Sudut mata ibu berair. Puas dengan wajah murungku akibat kalimat usilnya. Sudah biasa.

"Ya kamunya, sore-sore kok melamun. Mikir apa sih. Jodoh ?", lagiplagi ibu tertawa. Sial sekali.

"..."

"Emang gak ada laki-laki tampan di kampusmu. Kan banyak pasti bule-bule di sana"

"Bella kan niatnya kuliah bu, sekolah, cari ilmu. Bukan cari suami"

"Ilmu yang Bella dapat kan juga untuk mencari suami"

Aku menggeram. Kesal dengan jawaban ibu. Selalu ada jawaban, dan sudah dapat ditebak. Kali ini aku kalah lagi.

"Apa salahnya, Bell, menyelam sambil minum air"

"Flu bu"

"...."

Aku menoleh pada ibu. Kerutan didahinya terlihat jelas, bingung dengan jawabanku.

"Iya lah, bu. Sudah menyelam kok sambil minum air, ya bisa flu lah. Sakit"

Aku tergelak melihat respon ibu. Perkiraanku salah. Kali ini aku menang melawan cuitan usil ibuku. Telak 1-1.

Ah bicara tentang laki-laki. Selain Panji orang terdekat denganku semasa kuliah. Terlintas laki-laki berwajah tegas dan tatapan tajam dari matanya. Franklin. Aku mengingatnya sebagai pengunjung cafe tetap dimana juga menjadi tempat favoritku. Dia selalu duduk di pojok tepat di samping jendela. Seolah-olah pemilik cafe menjadikan kursi disana sebagai kursi pribadinya.

Tidak tau pasti apa yang ia lakukan. Hanya sekali pernah kulihat, ia sedang mengedit beberapa foto melalui tabs persegi dengan pencilnya. Aku tersenyum saat itu. Dia memiliki hobi yang menarik.

Tin !

Aku mendesah kesal. Lagi-lagi sesuatu mengejutkanku. Kali ini mobil bang Rafka terpampang di depan pagar rumah ibu.

"Tolong bukain dong, Bell."

"Gak mau. Buka aja sendiri."

"Ayolah, bentaran doang, Bell."

"Passwordnya mana?"

Terlihat bang Rafka mendengus. Sebal. Menahan tawa, aku menunggu bang Rafka dengan menaik turunkan kedua alisku.

"Adek abang yang paling cantik serumah, minta tolong bukain pintu gerbangnya dong."

Aku tertawa keras. Senang menjahili bang Rafka di waktu pulang kerja seperti ini.

"Assalamu'alaikum;"

"Wa'alaikumsalam", aku menyambut salamnya dengan mencium punggung tangan bang Rafka. Ibu selalu mengajariku. Bekal kalo sudah menikah dan punya suami. Lagi-lagi tentang laki-laki.

"Ibu mana, dek?"

"Di dapur sepertinya, bang. Tumben abang pulang ke rumah."

"Mau diskusi sama ibu sebentar."

Aku hanya mengangguk dan mengikutinya mencari ibu. Tiba di dekat meja makan yang langsung mengarah ke dapur, bang Rafka berhenti. Mendadak kenignku menabrak punggung kerasnya.

"Ngapain, dek?"

"Mauuu....ikut abang diskusi sama ibu."

"Eh, siapa bilang anak kecil boleh ikut diskusi. Balik kamar sana, mandi udah sore. Bau ih"

"Hlah abang juga belum mandi, pulang kerja"

"Ada apa, bang. Tumben pulang ke rumah, gak langsung pulang ke rumahmu"

"Mau diskusi sama ibu sebentar"

"Terus, kok ramai sama, Bella?"

"Nih, adek. Mau ikut, padahal kan ini masalah orang dewasa"

"Enak aja. Bella udah gede ya."

"Tapi gak punya pacar, wleek."

Aku memandang ibu yang dijawab dengan kedipan pelan, memintaku untuk pergi ke kamar saja. Aku menggerutu. Pertama, karena dibilang bau. Kedua, dibilang masih kecil. Ketiga, dibilang gak punya pacar. Kenapa selalu ada unsur laki-laki sih.

"Awas aja ya, kalo sampe adek punya pacar ganteng. Jajanin adek selama satu bulan"

"Emang bisa cari pacar, kemana-mana sama Panji doang"

Aku tidak membalasnya. Biarkan saja, mau melawan pun bang Rafka benar. Panji selalu menjadi pengawalku kemana-mana. Menggerutu. Menghentakkan kaki, berjalan ke arah kamar.

Sesampainya di kamar. Aku duduk di depan jendela. Jam menunjukkan pukul lima. Masih malas untuk mandi. Cuaca sedang panas. Selesai mandipun pasti gerah lagi. Suara ibu dan bang Rafka tidak terdengar sama sekali. Mereka sungguh tidak menginginkan aku bergabung.

Duduk di satu-satunya kursi rotan di pojok kamar. Aku mendengus pelan, selalu gagal menghindari sesak ketika ibu dan bang Rafka membicarkan tentang laki-laki. Tidak ada yang salah dengan manusia bergender laki-laki. Ayah, bang Rafka dan Panji juga laki-laki. Satu-satunya yang salah di sini adalah diriku sendiri. Laki-laki dengan satu nama itu selalu menjadi alasan rasa sesak itu.

Franklin.

Laki-laki berdarah campuran itu berhasil membuatku menambah satu lagi orang terdekatku sebagai laki-laki. Selain ayah, bang Rafka dan Panji tentunya.

Aku memutar badan, menghadap lurus jendelaa besar berkaca di depanku. Pemandangan di depanku benar-benar indah. Ibu memilih ruangan berukuran 5 x 6 meter ini sebagai ruang khusus untukku. Ibu benar-benar paham seleraku. Tepat di depan sana, arah barat, matahari mulai beranjak meninggalkan separuh Bumi-nya. Di seberang, tepat di depan kamarku adalah kamar bang Rafka. Sisi yang berlawanan denganku. Sebelum bang Rafka menikah, sudah menjadi rutinitas pagi, duduk di sisi ranjang menghadap ke arah timur. Disana lah matahari merangkak naik.

Sunset. Pemandangan yang selalu menjadi topik menyenangkan bagiku.

Hamparan luasnya. Ingatanku kembali ke masa lalu. New York dan segala ceritanya. Laki-laki itu seakan menjadi jendela bagiku. Dimana aku menemukan hal-hal baru. Bersama Panji, aku mengerti tentang berbagai macam makanan. Tapi dengan laki-laki itu, dia memberiku banyak tempat yang selalu menjadi inspirasi untukku.

Lantai tertinggi di gedung Hudson Yard menjadi lokasi pertama yang menjadi inspriasi lukisanku. Di ujung paling barat Manhattan, dapat kulihat landmark paling terkenal di New York, termasuk Empire State Building dan Chrysler Building di timur, World Trade Center dan Patung Liberty di selatan, dan Sungai Hudson yang langsung mengarah ke barat. Sungguh pemandagan yang sangat menakjubkan, di sebelah utara, semakin lengkap dengan pemandangan Central Park. Dan jika beruntung, seseorang pernha berkata bahwa kami bisa melihat 80 mil ke daerah sekitar New York State dan New Jersey.

"Kau bisa datang kesini sendiri jika kau membutuhkan inspirasi untuk lukisanmu"

Aku menoleh ke samping.

"Yah, kuharap begitu. Lengkap. Serasa melayang di udara dan menyaksikan kehidupan manusia di bumi. Terimakasih telah membawaku ke tempat ini"

"Hmm"

"Kau sering ke sini ?", tanyaku setenagh berbisik. Menikmati sapuan angin sejuk yang mengusik rambut.

"Tidak... ah. Lumayan"

"Jadi, iya atau tidak"

"Hanya ketika aku merasa lelah"

Aku menganggukan kepala. Tidak ingin lagi bertanya. Suasana laki-laki ini sedang tidak baik. Kubiarkan saja dia berdiri disampingku.

Tidak ada suara dari masing-masing mulut kami. Sama-sama menikmati lukisan Tuhan yang tidak mampu dikalahkan oleh siapapun. Bahkan pelukis terkenal di dunia pun akan tetap kalah. Lukisan ini lebih kaya dalam apapun. Makna, warna dan segala sentuhan tangan Tuhan dalam hamparan kota New York. Perfect.

***

Hari ini aku memiliki janji dengan kawan lamaku. Setelah mengirim alamat melalui aplikasi chating—dimana aku harus menemuinya—aku memilih berangkat lebih awal.

Bangunan dua lantai dengan bangunana dasar berdinding bata merah tanpa polesan plmair dan cat. Lantai dua dengan polesan cat berwarna cokelat. Keduanya terlihat serasi dengan sorot cahaya lampu kuning syang tergantung langit-langitnya. Tepat di depan, papan kayu bertuliskan "The Art of Cake" berdiri kokoh dengan besi panjang sebagai penyangga. Halaman sekaligus lokasi parkir berbahan dasar paving blok dengan warna senada. Dari sekian hal yang kugambarkan, semoga kalian paham. Coba bayangkan saja. Semua terlihat menarik.

Memasuki pintu kaca besar, aroma masakan menguar menyentuh hidungku. aku mencari meja kosong, dan tepat didepan meja kasir aku menemukannya. Jarum jam di pergelangan tanganku menunjukkan waktu lima belas menit lagi sesuai kesepakatan kami.

Pelayan datang membawa buku menu. Pilihanku jatuh pada chocolate milkshake, dari sekian menu paling familiar denganku hanya itu.

"Ada lagi nona"

"Tidak terimakasih, itu saja"

"Baik, pesanan akan segera diantar nona"

Aku hanya menganggukan kepala. Belum lama pelayan pergi, Athena, teman yang kuceritakan sudah duduk didepanku.

"Udah lama ya, Bell"

"Belum, baru aja pesen minum"

Aku memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Seragam putih yang biasa dipakai juru masak.

"Kamu kerja diisni, Na," belum Athena menjawab pelayan datang membawa pesananku. Aku tersneyum setelah mengucapkan terimakasih. Kulihat pelayan membungkuk kepada kami—lebih tepatnya pada Athena—dan mengucapkan kalimat selamat pagi.

"Jangan bilang kamu pemilik toko bakery ini, Na" aku bertanya setelah pelayan meninggalkan meja kami.

"Iya, Bell. Baru setahun ini resmi buka"

"Wahhh, seneng banget rasanya tau kamu punya toko bakery sendiri. Ternyata bakatmu dan pendidikanmu sudah menghasilkan bakery sebesar ini, Na. Kalah dong aku sama kamu"

"Ya begitu lah, Bell, lagian ini juga berkat kamu, lhoo. Kalau saja dulu aku tidak menerima saranmu untuk mengambil jurusan sesuai dengan passionku, mana bisa aku begini. Thank's for that, Bell"

"Aku seneng dengernya, Na. Kapan lagi coba bisa makan roti dan minum gratis kalau bukan di bakerymu ini, Na" aku mengedipkan mata, berniat menggodanya.

"Sialan. Selalau ada udang dibalik batu ya, Na," kami tertawa.

"Tapi tidak apa, aku akan sangat senang kalau kamu mau berkunjung kesini. Kapanpun, asal setiap kesini jangan minta gratsi terus ya, Bell," lagi-lagi kami tertawa.

Athena adalah teman masa SMA ku. Kami berteman sejak masuk kelas X bermula dari kelas kami sejak berada di kelas gugus masa orientasi sekolah. bersyukur Tuhan tetap menjaga hubungan pertemanan kami. Hingga berlanjut aku menyarankan Athena mengambil jurusan Culinary Arts, hanya saja kami berbeda kampus namun tetap di kota yang sama. Ya, selain Panji, Athena menjadi teman terdekatku.

"Kamu mau gak cobain menu buatanku hari ini"

"Boleh, Na, gratis kan"

"Gratis mulu, Bell. Kantong tipis ya,"

"Sialan!"

Athena berlalu ke pintu samping kasir—mungkin ke dapur—masih dengan tawanya. Dua menit kemudian, Athena datang dengan sepiring kue.

"Apa itu?"

"Chocolate fudge cake"

Segera kuintip piring itu, dan benar saja kue berselimut cokelat itu tersaji di depanku, chocolate ganachenya terlihat mengkilat terkena cahaya lampu, dan warna cokelatanya terlihat menggoda. Aku berusaha tidak mencoleknya dengan telunjuk tanganku, bukankah Athena belum memintaku untuk memakannya?

"Dimakan, Bell, bukan diliatin aja," ucapnya sambil terkekeh kecil.

"Aku menunggu perintah dari juru masaknya, Na," masih dengan menatap chocolate fudge cakenya, aku mendengar Athena terkekeh pelan. Biarkan saja, kue didepanku terlihat menggiurkan. Segera aku mengambil small fork yang disediakan di atas piringnya. Satu suap chocolate fudge cake, layaknya para pembawa acara kuliner, aku memejamkan mataku, menikmati perpaduan lembut dan manisnya cokelat.

"Gimana, Bell, enak nggak?"

"Hmm, nanti bungkusin satu ya, Na, mau ku bawa pulang buat ibu, heehe"

"Oke boss, gak minta gratis kan, Bell"

"Tenang aja, Na, kali aku bayar"

Obrolan kami terus berlanjut dengan aku yang tetap menikmati kue cokelatn dipiringku. Selama Athena bercerita, aku menangkap bahwa toko bakery ini dibangun selama hampir setahun, dan resmi dibuka setelah semua perlengkapan siap. Athena juga bercerita bahwa saat ini ia tinggal di sebuah apartemen, berada di belakang toko bakerynya.

Masih di meja yang sama. Hanya saja Athena izin kembalai ke dapur sementara untuk mengecek pekerjaannya.

Sisi samping dari toko bakery ini menyediakan spot khusus untuk berfoto. Lukisan dinding dengan tema macam-macam kue itu terlihat serasi dengan backgorund hitam. Dari sekian sudut di dalam toko bakery ini, aku menyukai pemandangan itu. menggeser pandanganku, di sisi kanan lukisan terdapat dinding kaca yang terdapat aliran air didalamnya. Aku baru tahu, sejak kapan ada disitu. Haish, aku lupa aku baru pertama mengunjungi tempat ini. merasa bodoh dengan pemikiranku sendiri.

Selalu ada musik yang menjadi latar kenyamanan di tempat seperti ini. Menjadi terapi sederhana sekaligus daya tarik pengunjung merasa betah berkunjung. Ketika pesanan habis, maka pengunjung akan memesan kembali hingga merasa kenyang dan lelah maka saat itulah pengunjung lain berganti.

Trik kecil yang membawa untung, jangan lupa warna yang menjadi latar dinding, meja, kursi dan lampunya. Semua berbau cokelat dan kuning lebih ke oranye gelap. Nuansa lembut membuat pandangan terasa nyaman.

"Na, aku mau ke lantai atas boleh?"

"Ohh hai, boleh dong, Bell, tapi maaf ya aku gak bisa nemenin. Sory banget"

"Oke, kamu lanjutin aja, Na. Ngomong-ngomong aku harus lewat mana nih"

"Disebelah meja kasir ada pintu berwarna cokelat, kalau kamu gak pengen lewat tangga depan, itu pintu yang biasa karyawanku pakai buat mengantar pesanan"

"Oke, aku ke atas dulu"

Sesampaianya di lantai atas, kali ini aku dibuat takjub. Jika saja rahangku tidak ada penyangganya, mungkin dalam hitungan lima detik sudah jatuh.

Suasana lantai dua dari toko bakery ini terlihat lebih sejuk. Ternyata segala sisi dari bangunan lantai dua ini terbuat dari dinding kaca tebal. Hal yang paling menarik adalah semua kursi yang ada di lantai dua ini terbuat dari ayunan. Pemilihan yang tepat jika pengunjung membawa anak kecil.

Aku akan memuji desain interior dari bangunan ini. Kupikir orang-orang saat ini memiliki selera yang bagus. Setiap elemen dari desain interior ini ditata dengan rapi dan terlihat sesuai dengan tata letak juga warnanya. Dari lantai, dinding kaca, langit-langit hingga pencahayannya sungguh menarik.

Mengelilingi ruangan dengan duduk dislah satu kursi berayun. Yang satu ini tanpa meja, ternyata menjadi spot foto yang baru kusadari setelah aku menoleh kebelakang. Tanaman hijau dan boneka teddy bear besar berwarna cokelat tertata rapi.

Aku dikejutkan dengan suara dering telepon dari sling bag­-ku. Ternyata ibu yang memintaku untuk pulang, mengantar ke tempat arisan. Memandang sekali lagi ruangan itu. aku memutuskan turun dan mencari Athena untuk pamit.

Raut wajahnya menggambarkan rasa sesal karena tidka bisa menemaniku.

"It's okay, Na. Lain kali aku akan mampir lagi, mungkin dengan ibuku"

"Sory, Bell"

"Oke, aku pulang dulu, Na. Bye"

"Hati-hati, Bell"

Aku berlalu dengan mengangkat kedua jempolku tanpa menoleh lagi. Ternyata diluar sedang mendung, kenapa aku tidka menyadarinya. Lain kali aku harus kembali lagi.