Laras sedang menyiapkan beberapa lukisan yang akan kutunjukkan kepada Athena. Jika tidak ada masalah didapur, ia berencana akan mengunjungi galeri. Beberapa lukisan di ruang display tidak kukenali karena sedikit banyak lukisan di galeri juga dibuat oleh Laras untuk mengisi ruang kosong didinding. Memang tidak setiap hari aku berkunjung ke galeri, hal itu karena aku lebih menyukai ruang lukisku yang ada di rumah. Meskipun ruang lukis di galeri juga tidak terlalu buruk. Laras yang lebih sering menggunakannya.
"Dua yang di easel stand itu juga sekalian ditunjukkin ke mbak Athena? "
"Hmm... iya deh sekalian aja."
"Udah sarapan mbak?"
"Udah, Ras. Kalau kamu mau beli makan beli camilan juga ya, Ras."
"Siapa yang mau beli mbak. Laras kan Cuma tanya aja."
"Heh.. kukira mau nawarin makan."
"Yaudah, Laras keluar sebentar ya beli camilan."
"Nah gitu dong. Ngomong-ngomong Dani nggak masuk, Ras?"
"Masuk kok mbak tapi lagi keluar, belanja alat lukis yang didepan beberapa udah habis."
Laras berlalu. Aku menata beberapa lukisan yang akan kutujukkan pada Athena. Dari delapan lukisan, lima diantaranya adalah hasil tanganku sisanya Laras yang membuat. Meski tidak pernah belajar seni lukis secara khusus, Laras, memiliki keahlian dan pengetahuan tentang seni yang cukup baik. Hal itulah yang akhirnya membuat Laras kupercaya menjaga galeri ini.
Aku bertemu dengan Laras lima bulan setelah galeri dibuka. Saat itu aku melihatnya saat ia sedang mengamati lukisan di salah satu wisata seni jalanan di Jalan Dago. Memakai setelan baju kaos oblong dan celana jeans yang dipasangkan dengan sepatu kets berwarna putih. Ia berbincang tentang lukisan-lukisan yang dibuat oleh pelukis. Hingga telingaku mendengar keinginannya untuk memiliki galeri lukis sendiri. Kami akhirnya berbincang setelah Laras membeli salah satu lukisan abstrak yang dipasang di dinding tepi jalan.
"Kenapa akhirnya memilih lukisan itu"
"Terkadang segala sesuatu yang abstrak mengajarkan kita tentang suatu hal. Tidak masuk akal. Coretan berhamburan dan tidak ada figure, pemandangan atau bahkan bentuk yang pasti. Dia ada hanya sebagai gagasan tanpa memiliki fisik. Beberapa yang konkret dibuat menjadi abstrak. Sesuatu yang terlalu jelas terkadang tampak menjadi terlalu radikal. Sementara yang terlalu abstrak, sulit untuk kita mengetahui gagasan yang ingin dikemukakan."
"Lalu, bagaimana cara mengapresiasi sesuatu yang abstrak?"
"Mudah saja, mulai dari objeknya sendiri, lihat berbagai bentuk yang tampak. Lalu alasan perupa lukisan abstrak itu. Berhenti mencari bentuk nyata. Abstrak bukan untuk menggambarkan sesuatu yang real. Ia tidak mengambil referensi apapun dari alam dunia. Meski saat melihat abstrak akan terlihat sesuatu yang memiliki kemiripan terhadap objek, abaikan. Jika kita terus menerus mencarinya, maka semua akan hanya berhenti pada sesuatu yang terlihat mirip. Cukup rasakan emosi dari setiap garis, coretan dan warna yang tampak."
"Kita juga harus berhenti mencari makna lukisan abstrak."
"Ya, karena tidak semua harus memiliki pesan atau maksud. Sesuatu yang abstrak hanya untu dinikmati. Apresiasi semua kombinasi bentuk dan warna yang ada didalamnya. Indah tidaknya sesuatu adalah subjektif. Ketika kita tidak memahami abstrak, bukan berarti itu buruk, itu sama dengan mungkin abstrak bukan selera kita."
"Pemahaman tentang seni lukis kamu baik."
"Terima kasih. Aku banyak belajar dari ayah. Aku suka menggambar. Aku suka menggambarkan sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Aku menyukai rasa damai ketika jari-jariku menari dikanvas putih. Membuatnya bernoda tapi tidak membuatnya berdosa. Aku menyukainya ketika noda dari kuasku membuat putih lebih berwarna. Membuat putih bercerita."
"Sesuatu yang menjadi media perjalanan pengalama hidup."
"Teh Bella, mau kemana?"
"Panggilnya pakai 'mbak' aja deh. Telingaku lebih akrab sama itu."
"Oke. Mbak Bella dari mana ini tadi dan mau kemana?"
"Dari rumah. Mau ke galeri tapi terus inget ada wisata seni di jalanan, yaudah mampir dulu deh."
"Woahhhh... punya galeri lukis mbak?"
"Ada. Kamu mau ikut aku ke galeri? Siapa tahu tertarik gabung."
"Boleh mbak."
Semua berjalan seperti seharusnya berjalan. Aku membutuhkan teman untuk mengelola galeri, dan Laras datang memenuhinya. Meski belum sempurna seperti bayangan dalam kepalaku, Laras membantu memenuhinya dengan segala pendapatnya. Kami berdua bersama-sama membangun galeri untuk lebih baik. Menambah satu ruang di depan untuk menyediakan berbagai peralatan lukis yang kami beri nama "Griya Lukis".
"Nih mbak, Laras bawain cimol kesukaan mbak Bella." Laras teriak dari ruangan tempatku menata lukisan.
"Ini dia yang ditunggu-tunggu. Kamu beli apa buat sarapan, Ras?"
Aku menghampiri Laras yang duduk di sofa. Tangan kanannya meletakkan dua kantong hitam besar di meja.
"Beli bubur ayam, yang di dekat abang cimol."
"Kenyang kamu, Ras, makan bubur aja?"
"Laras beli cimolnya banyak kok, mbak Bell. Ada jus juga, kenyang lah."
Dani memasuki pintu membawa kardus besar.
"Dan, sini nyemil bareng. Si Laras beli banyak cimol nih."
"Taruh aja dulu kardusnya dibawah, Dan, asal tidak menghalangi jalan." Laras ikut menyahut.
Kami berdua—aku dan Dani—menikmati cimol, sedangkan Laras mengisi perut dengan bubur ayamnya. Diantara kita bertiga, Dani adalah yang paling pendiam. Mengangguk dan menggeleng adalah ciri khasnya. Kalimat panjang yang akan keluar dari bibirnya adalah ketika kalian bertanya sesuatu yang tidak bisa dijeawab dengan dua hal sebelumnya.
Aku dan Laras bertemu dengan Dani di galeri. Lebih tepatnya Dani yang mendatangi galeri tiga bulan yang lalu. Ia bertanya apakah ada pekerjaan yang bisa dilakukannya. Kami membutuhkan orang yang dapat membantu kami dibagian administrasi, karena selama aku dan Laras hanya menuliskannya di buku catatan hingga terkadang beberapa transaski tidak tercatat. Dani menjelaskan bahwa ia baru lulus dari sekolah menengah kejuruan akuntansi. Tidak berpikir lama, kami pun meminta Dani untuk datang esok harinya dengan membawa identitas diri. Masalah keuangan kami selesai dengan kehadiran Dani.
"Mbak Athena jadi datang ke galeri, mbak Bell?"
"Jadi, Ras, barusan kirim pesan udah mau sampe kok."
"Kedepan dulu, mbak."
Aku mengangguk begitu juga dengan Laras. Dani bangkit dan berlalu, mengambil kardus yang diletakkanya tadi dan membawanya ke Griya Lukis.
"Anak itu, sungguh luar biasa." Laras bergeming di sela-sela mengunyah cemilannya. Aku mengangguk menyetujuinya.
"Guys, aku bawa makanan nih. Kalian udah sarapan belum?"
"Yah, telat atuh teh. Orang kita baru selesai makan, piringnya aja belum kering."
"Beneran? Tadi tuh lama karena mampir dulu beli ini makanan."
"Tau gitu tadi Laras gak perlu repot keluarin uang kalau tahu ada makanan gratis."
"Bawa apa, Na?"
"Nih, Bell, ada pisang goreng sama beberapa biskuit. Kalau yang dimeja ada salad buah."
"Yaudah, taruh aja dikulkas. Gak bakal basi juga. Bisa buat ntar siang, Ras."
"Mana, Bell, lukisannya. Aku ada perlu nih selesai disini."
Kami menuju ruang dimana lukisan yang sudah Laras siapkan. Aku sengaja memilih menyerahkan semua pilihan kepada Athena. Beberapa menit berlalu, Athena memilih dua lukisan yang sudah kami siapkan. Dia memilih lukisan bertema garden dan mount. Keduanya adalah lukisan lama, Laras yang saat itu sengaja berlibur dan melukis pemandangan gunung Tangkuban Prahu dan lukisan taman yang kuhasilkan saat berkunjung ke Rainbow Garden.
"Ngomong-ngomong lukisan ini udah selesai kan, Bell?"
"Kenapa, Na?"
"Seperti tidak fokus gambarnya."
"Iya. Lukisan yang sengaja kupilihkan ini adalah salah satu aliran seni rupa impresonisme. Pembuatannya cukup singkat. Kami tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melukisnya. Karena lukisan ini berobjek pada sudut datangnya cahaya. Semakin lama melukisnya, maka sudut cahaya akan berubah. Dan lukisan tidak akan sama dari tujuan awalnya."
"Aku tidak paham."
"Kamu pernah cerita kalau kamu itu suka kerja dengan cepat, dan semua selesai dengan baik. Nah lukisan ini juga tidak membutuhkan waktu yang lama. Cahaya tadi sebenarnya menunjukkan perjalanan waktu yang terus berubah. Kalau kita tidak mau kehilangan sudut cahaya yang baik, maka lakukan dengan melukis cepat. Sama dengan saat kita bekerja. Ketika suatu ide muncul didalam kepala, segara lakukan dan jangan menunda. Karena ide bisa jadi akan hilang. Meski dilakukan dengan cepat, tapi juga perlu perlakuan yang akurat. Setiap goresan yang ditimbulkan akan sangat jelas, bayangkan goresan itu adalah proses kerjamu. Lukisan ini juga menggunakan warna-warna cerah, hitam tidak boleh digunakan sebagai warna bayangan yang ditimbulkan cahaya. Umpamakan hitam adalah kesalahan, maka sebisa mungkin hitam tidak ada dalam proses kerjamu."
"Woahhh, guru seni rupa kita. Iya gak, Ras?"
"Apasih, Na. Lebay deh."
"Iya deh. Ini bisa dibungkus dulu terus abis itu kamu kirim ke kafeku, Bell. Eh besok aja deh biar pegawaik yang ambil."
"Oke. Aku bungkus setelah ini. mau ngerapiin beberapa lukisan dulu."
"Kalau gitu aku pergi dulu, ada janji."
"Kenapa wajahmu seperti itu, Na?"
"Seperti itu gimana?"
Athena semakin salah tingkah ketika aku memperhatikan wajahnya lebih dekat. Telapak tangannya mendorong wajahku menjauh.
"Apasih, Bell. Jauh-jauh deh, geli tau."
"Pasti mau janjian sama cowo nih. Siapa, Na, kenalin dong."
"Kapan-kapan aja deh, lagi buru-buru."
"Jan..."
Belum selesai kalimatk, Athena sudah berlalu keluar melewati pintu. Hampir saja terjungkal ketika Dani akan memasuki ruangan. Aku dan Laras yang melihatnya hanya tertawa. Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Dani. Ia hanya menunjukkan cengiran singkatnya lalu meneruskan langkahnya.
"Kenapa, Dan?"
"Itu di depan ada laki-laki yang nyari pemilik galeri."
"Siapa, Dan?"
"Gak tahu mbak."
"Kamu aja deh, Ras. Aku mau kebelakang dulu."
"Kenapa gak, mbak Bella aja?"
"Lagi males ketemu orang lain."
Laras mengangguk mengiyakan. Kakinya melangkah keluar diikuti Dani dibelakangnya. Sedangkan kedua kakiku berlalu meninggalkan ruang untuk pergi ke taman mini yang ada di belakang galeri kami. Aku tidak tahu siapa yang datang dan apa tujuan orang itu mencari pemilik galeri. Tapi perasaanku hanya menunjukkan sesuatu yang mungkin akan membuatku tidak nyaman. Hingga Laras menyusulku di taman belakang, ia hanya menyampaikan pesan laki-laki itu tertarik dengan beberapa lukisan yang ada di ruang depan dan akan datang di lain hari. Aku menganngguk. Laki-laki itu yang berusaha aku hindari, hal yang kutahu saat kami bertatap muka setelah beberapa hari kedepan dari hari ini.