Bab 10

Setelah sarapan—dengan sedikit drama—selesai, dua jam kemudian mobilku bergerak meninggalkan rumah bersama Amel. Aku yang tidak berencana pergi kemana-mana terpaksa keluar rumah atas rayuannya. Dari beberapa sifat ayahnya kenapa harus perayu yang menurun pada anaknya itu.

"Onty! Masih jauh ya tempatnya Tante Thena?"

"Enggak, itu di depan udah keliatan tempatnya."

"Ternyata duduk aja capek ya, Onty." Bocah kecil itu menggerutu karena memang kami sebelumnya terjebak macet.

Memasuki pintu kaca "The Art of Cake", Amel berlari mencari meja kosong. Katanya ingin segera duduk, padahal beberapa menit yang lalu mengeluh lelah hanya dengan duduk saja. Tapi aku membiarkan ia memilih tempatnya. Dan benar saja, meja yang dipilihnya tepat berada didekat aquarium yang memanjang didinding. Aku menghampirinya bersamaan dengan seorang pelayan yang membawa buku menu padanya.

"Kakak cantik! Amel mau pesan roti paling enak didunia." Pelayanpun tersenyum.

"Hallo anak cantik, kamu bisa pesan dari buku ini. Nanti kakak buatin, dijamin enak deh."

Kepala bocah kecil itu mengangguk seraya tangannya memilih jenis cake.

"Saya tiramisu deh sama minumannya moccacino, jusnya satu ya mbak jus jeruk aja."

Selagi menunggu pesanan datang, aquarium didekat meja kami menjadi perhatian penuh Amel saat ini. Bola matanya tidak berhenti mengikuti ikan yang berenang tidak beraturan. Sesekali bibirnya tersenyum dengan jarinya mengusap dinding kaca aquarium.

"Ikan, Amel, juga pengen berenang kaya kamu. Wush... wush... wush..."

Tubuhnya terentak kebelakang, lalu terdengar tawa setelah ikan dalam aquarium itu seolah ingin menggigit jarinya. Aku tersenyum. Mengalihkan pandangan dari quarium menuju atap kaca kafe ini. Segerombol burung terbang melintas. Sesekali suara tawa Amel masih terdengar.

"Onty! Pilih mana, mau jadi ikan atau mau jadi burung?"

"Hah?"

"Iya pilih yang mana?"

"Kenapa, Amel, tanya begitu?"

Amel hanya menggelengkan kepalanya. Sedangkan kepalaku berpikir, seandainya menjadi hewan, mana yang lebih enak antara menjadi ikan atau burung. Berenang dengan bebas atau terbang di angkasa yag luas?

"Sepertinya seru kalau bisa berenang kaya ikan, Onty. Amel bisa jumpa kawan-kawan dan berenang di laut yang luas banget. Kata ibu guru ada banyak terumbu karang yang cantik di laut. Amel pengen lihat."

"Menjadi siapa dan menjadi apapun, kita harus tetap bersyukur, Amel. Siapa yang tahu kalau ternyata ikan yang bisa berenang itu ternyata ingin terbang seperti burung. Dan burung yang terbang di atas sana ingin berenang seperti ikan. Apapun kita, harus tetap bersyukur. Amel kan kalau mau kaya ikan bisa belajar berenang. Kalau mau terbang, naik pesawat juga terbang kan."

Kepalanya mengangguk, entah paham atau tidak. Akupun tidak bisa memilih. Tidak ada yang bisa menentukan akan menjadi apa saat kita terlahir ke dunia. Yang ada saat ini hanya bisa kita nikmati dan bersyukur. Bukankah semua sudah ditulis Tuhan dengan rapi. Hanya tinggal menunggu waktu. Satu-persatu kisah terjadi pada hidup setiap makhluk di bumi. Baik dan buruk akhirnya bagaimana kita mensyukurinya. Lagi-lagi bersyukur. Karena apapun yang terjadi, selama kita bersyukur, Tuhan akan dengan baik meletakkan rasa damai dalam diri kita.

"Udah lama, Bell?" Athena datang dari arah pintu depan.

"Enggak juga sih. Mungkin pesanan kami akan datang."

"Ngomong-ngomong kamu dari mana. Kupikir kamu ada didapur tadi. Baru aja aku mau tanya ke pegawaimu."

"Oh tadi nyari tambahan perlatan dapur. Beberapa ada yang udah gak nyaman banget dipake."

"Hm"

"Oh iya, Bell. Di galerimu ada yang bisa kupakai nggak ya buat ditaruh di ruang VIP kafe."

"VIP?"

"Eh iya. Aku memutuskan untuk membuat satu ruang VIP. Beberapa pelanggan ada yang datang dan tidak jarang mengadakan rapat kecil-kecilan gitu. Salah satu pegawaiku mengusulkan untuk membuat satu ruang VIP, jadi ya begitulah sekarang."

"Mau yang kaya apa nih lukisannya?"

"Kamu yang tahu deh masalah itu. Nanti kamu lihat-lihat dulu aja ruangnya biar bisa nentuin gimana yang cocok."

"Oke, nanti deh."

Perhatian Athena beralih pada Amel.

"Wahh. ini pasti princessnya ayah Rafka ya? Cantik banget. Suka nggak sama ikan-ikannya?"

"Suka. Ikannya cantik-cantik. Warnanya bagus."

Celoteh Amel terus berlalu ditelingaku. Beberapa pelayan masih hilir mudik melayani pelanggan. Lonceng diatas pintu sesekali berbunyi. Isi kepalaku memutar kembali kejadian-kejadian masa lalu.

Aku lupa rasanya jatuh cinta, dan masih tidak mengetahui bagaimana konsep bahagia versi dua manusia berbeda gender. Bagaimana konsep dicintai dan mencintai begitu keras didengungkan diseluruh sudut bumi. Berusaha untuk tidak peduli, tapi sepi masih beberapa kali menghampiri.

Aku tidak mengerti bagaimana memaknai cinta. Ketika ikatan tanpa wujud itu membawaku pada kebimbangan. Seolah jatuh cinta hanyalah soal tawar menawar. Ada jika dan jika hanya ada didalamnya. Apakah ketika manusia saling memberi kasih sayang bahagia akan selalu tercipta. Lalu bagaimana dengan keberadaan luka yang tidak pernah pergi dari sisi bahagia. Apakah jika manusia bertahan dengan setiap luka, dia akan menerima gantinya dengan wujud bahagia?

Apakah aku masih terlalu dini untuk mengerti apa itu cinta. Ketika semua bayangan yang muncul dalam kepala hanya tertawa dan tertawa. Konsep bahagia yang seperti apa yang bisa menggambarkan cinta. Ketika akhirnya aku tergelincir jatuh. Apakah kaki-kakiku terlalu lemah. Kupikir aku telah berhasil melalui fase yang disebut orang dengan kecewa akibat jatuh cinta. Sulit sekali rasanya untuk berpikir jernih ketika kita masuk kedalamnya. Seolah laut menjadi istilah lain kecewa ketika perasaan tenggelam menelan semua tawa.

Tuhan. Apakah aku pernah sehari melupakan doa pada-Mu untuk tidak bertemu dengannya lagi. Mengapa tetap saja Kau pertemukan kami. Meski aku belum yakin, kenapa tubuhku harus bergetar mendengar suara itu. Apakah aku tidak merekat retakkan hatiku dengaan kuat? Kenapa rasanya kembali retak. Bukankah aku kemarin berjanji akan baik-baik saja. Bukankah aku kemarin berjanji akan bersikap berani dengan segala kejutan lainnya. Bukankah aku berjanji akan menjadi manusia lain yang baru.

"Dia ada disini."

"Hah?"

Aku tersentak ketika Athena menyentuh punggung tanganku.

"Dia siapa. Siapa yang kamu maksud disini?"

Dia bertanya kembali, sedangkan keningku berkerut. Apakah dengan tidak sengaja aku menyuarakan isi kepalaku. Hembusan napas lelah keluar. Tidak tahu harus menjawab apa.

"Siapa yang disini. Dan kenapa dengan jari-jari tanganmu."

Aku memperhatikan kedua tanganku. Sejak kapan aku meremas kedua jari-jariku. Licin dan basah. Apakah aku segugup itu. Athena menyentuh tanganku kembali. Memandang Amel sebelum kembali bicara.

"Bella. Ada apa? Sesuatu terjadi disini?"

Kepalaku menggeleng cepat. Aku tidak pernah bercerita kepada Athena. Belum waktunya. Aku harus mempersiapkan diri dengan baik terlebih dahulu. Seolah memahami situasi, otakku mengirim perintah syarafnya untuk menarik sudut-sudut bibirku keatas. Disusul pita suara setelahnya.

"Ah tidak-tidak. Sepertinya aku melihat seseorang yang kukenal. Sudah lama aku tidak melihatnya. Mungkin aku salah orang."

"Kamu yakin, Bell?"

"Yaa. Tadi itu ada pelanggan yang mirip banget sama temenku. Tapi kupikir bukan, sudah lama kami tidak saling mengirim informasi. Dan aku tidak tahu dia ada dimana sekarang."

Athena akhirnya mengangguk. Mungkin ia tahu, kalau aku belum siap bercerita apapun saat ini.

"Mau lihat dulu ruangan VIP yang aku maksud nggak, Bell. Biar bisa tahu apa aja yang sesuai sama design ruangannya. Yuk!"

Suasana kafe semakin ramai. Meski diluar langit terlihat mendung, hujan sepertinya masih enggan jatuh kembali. Mereka harus menyiapkan diri untuk semua bagian tubuhnya yang menghantam bumi. Jatuh berarti harus melebur. Jatuh berarti harus hancur. Jatuh berarti harus sakit. Dan semua definisi jatuh adalah sebuah keikhlasan dan melepaskan untuk kemudian menjadi sebuah kedamaian.

Satu hari berlalu lagi meski mendung tetap menjadi kawan. Tidak ada yang sempurna ketika paku jam berputar setiap hari. Disela-sela detiknya akan selalu ada kisah yang cacat. Maka ciptakan rasa syukur dalam hati agar mampu mengubur sesuatu yang cacat. Biarkan detik berikutnya hanya perasaan ringan yang menuntunmu hingga hari berakhir. Hingga kamu terlelap dan merasa semua akan baik-baik saja. Esok ada banyak hal yang akan menjemputmu.

"Sepertinya ini cocok dengan impresionisme, Na. Aku ada beberapa lukisan di galeri. Semoga kamu cocok. Besok atau lusa kamu bisa cek dulu."

"OK!"