Tidak ada yang lebih ramai dipagi hari selain kicau burung. Hewan non-nokturnal itu bernyanyi riang meski daun-daun masih basah. Seolah memanggil matahari untuk segera bangun. Mengabarkan bahwa ia ingin segera terbang mencari makanan. Sembari menunggu terang, berkicau adalah cara tepat untuk mengawali aktivitas.
Musim hujan yang berlangsung meninggalkan jejak di setiap sudut bumi. Rumput meninggi. Tanah basah. Ada sisa embun, hinggap di daun, di kaca jendela. Jatuh ke bumi menghilang bersama debu. Kembali pulang setelah langit mencurinya.
Pagi ini rumah kembali ramai oleh suara Amel. Mbak Putri memutuskan untuk menginap di rumah ibu selagi bang Rafka izin dinas keluar kota.
"Onty Lala. Bangun!"
Suara Amel terdengar di depan pintu kamarku. Aku tidak berniat membukanya. Kedua mataku belum terlihat baik-baik saja setelah menangis semalam. Tidak ingin membuat seisi rumah bertanya, aku memutuskan untuk tetap diam ketika suara Amel memanggil beberapa kali.
"Onty Lala masih capek sayang. Amel bangunnya kepagian. Ayo sama bunda dulu aja. Nanti main sama onty kalau udah bangun."
Suara langkah kaki menjauh dari pintu kamarku. Aku tahu Amel sedang menangis. Terdengar sesenggukan setelah mbak Putri menasihatinya. Tapi sungguh, aku tidak ingin menunjukkan keadaanku yang sedang tidak baik-baik saja. Meski aku ingin menemui Amel saat ini.
Aku membuka jendela casement yang ada di kamar ketika sinar matahari mulai menyusup melalui celah kayu. Angin berhembus menggoyangkan pohon flamboyan yang tumbuh di samping rumah. Batang pohon itu meliuk pelan lalu dua ekor burung sriganti melesat dari sela-sela rimbun bunga sambil mencicit riang. Segerombol anak burung terbang melesat, meliuk melatih sepasang sayapnya. Batang-batang kurus sawo kecik bergesekan, menciptakan irama musik khas alam. Aroma tanah basah tercium di udara.
Aku bertahan di teras kamar, ditemani nyanyian burung dan berisiknya ranting. Butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum keluar dari kamar. Otakku memutar kembali peristiwa yang terjadi kemarin. Majalah online, kafe, dan lelaki berdarah campuran. Berita dalam majalah online itu terbit satu minggu sebelumnya. Pantas saja jika lelaki itu sudah berada di kota ini.
***
Jika aku bertanya kehidupan siapa yang tidak memiliki masalah, bisakah kalian menunjukkannya padaku? Aku ingin bertanya bagaimana membuat masalah tidak hadir. Aku ingin bertanya seperti apa mereka hidup. Bagaimana mereka merasakan hidup tanpa masalah. Kupikir tidak akan ada jawaban atas semua pertanyaan itu. Tidak ada hidup tanpa masalah, yang ada hanya bagaimana menghadapai masalah yang hadir.
Aku tidak tahu mengapa hari ini terasa begitu berat. Masalah di kampus. Tugas belum selesai. Dan lelaki disampingku juga menunjukkan suasana hati yang buruk.
"Gimana hari ini?"
"..."
"Kamu udah makan?"
"..."
"Jalan-jalan yuk. Suntuk banget hari ini. Pengen makan yang manis-manis deh." Tidak ada jawaban, yang kudapat hanya tatapan tajamnya dan kalimat ketus.
"Berisik!" Setelahnya langkah kaki menjauh dari sisi kananku.
Aku tidak tahu jika ternyata suatu saat masalah ini menjadi rutinitas yang terus berlanjut. Renggang tanpa tahu sebab. Merekat sendirinya. Sebelum akhirnya aku mendapati sesuatu memang salah sejak awal.
***
Ada banyak sudut dari rumah ini yang selalu bisa membuat suasana kembali tenang tapi bukan berarti sepi. Berada jauh dari bahu jalan lingkungan perumahan kami. Tanah yang cukup luas untuk membuat taman mini di sisi rumah. Daun pohon trembesi yang rindang menjadi kanopi alam dari rumah ini. Ayahlah yang memutuskan agar pohon itu tidak ditebang. Hingga ketika aku berumur tujuh tahun ayah memutuskan untuk membuat arbor domus pada salah satu dahannya.
Rumah pohon yang sengaja dibuat untuk tempat kami—aku dan bang Rafka—mendengar cerita ayah. Setidaknya satu waktu dalam selang tiga hari ayah akan mengisahkan cerita-ceritanya yang hebat. Berada di tengah-tengah batang pohon trembesi yang kuat dengan papan kayu sebagai alas. Tempat yang cocok untuk berlindung; damai, jauh dari keributan dan bising kendaraan.
Aku mendapati diri bersandar pada teras dinding rumah pohon tepat menghadap sisi utara, merasa kecil di tengah rimbun daun yang menjadi pelindungnya. Berlapis-lapis awan menggores langit di sisi utara. Pikiranku langsung tersedot pada kedamaian dari kisah-kisah hebat dan nasihat-nasihat ayah.
Jangan pernah menyimpan dendam apapun dihati. Tidak ada yang lebih menenangkan selain memaafkan semua kesalahan orang.
"Ayah... apakah Bella sanggup melakukannya," aku mendengar suara itu dari bibirku sendiri.
Setelah beberapa saat meresapi pesona yang disajikan alam dan bisikan-bisikan damai angin, mendadak aku merasa semua yang kulakukan adalah salah. Bukan memaksa menerimanya namun yang kulakukan adalah menghilangkannya. Seharusnya aku lebih awal menyadari, bukan memori yang dihilangkan tetapi bagaimana memori dikenang. Biarkan tetap berada dibelakang, aku tidak akan menemukan kehodupan saat ini tanpa masa lalu itu. Menghembuskan napas sedikit lebih panjang.
"Cuaca hari ini bagus, cukup untuk mengganti paru-paru yang sesak." Suara mbak Putri meranggas pikira-pikiran yang mengisi kepalaku. Tangannya mengulurkan segelas jus jeruk.
"Terima kasih." Aku menyesap minuman itu lalu kembali menikmati pemandangan di hadapanku. Di kejauhan, seekor elang terbang meliuk dan menukik turun, kemudian kembali mengangkasa dan menghilang dri rimbunnya pohon.
"Tempat ini adalah kenangan dan tempat perdamaian." Aku diam, mencoba memberi waktu apa yang ingin mbak Putri katakan. Bicara tentang mbak Putri, dia bukan orang Bandung asli. Ayahnya yang dipindahtugaskan dari Surabaya membuat keluarganya juga harus mengikutinya. Meski sudah lama berada di Bandung, tapi ia tidak ingin dipanggil dengan sebutan 'teh' seperti biasa orang Bandung memanggil kakak perempuan atau yang lebih tua.
"Rafka bilang ketika kalian bertengkar disinilah ayah mertua mendamaikan." Aku mengangguk membenarkan.
"Lebih dari itu, disinilah aku menemukan ketenangan. Ketika dibawah sana ada banyak duri, melayang adalah sesuatu yang kuharapkan dengan penuh kemustahilan," aku berhenti sejenak menikmati angin yang melewati sela-sela dahan pohon.
"daun-daun rindang dan aroma senyawa tumbuhan selepas hujan selalu memberikan terapi dengan caranya sendiri. Ketika korteks piriformis otak akan bermain peran dengan aroma hujan dan mereka akan menciptakan ketenangan." Masih dengan memejamkan mata, aku tersenyum menikmati angin yang lagi-lagi menyusup.
"Sepertinya Bella sangat menikmati berada disini. Mbak Putri yakin kalau Bella belum menyentuh sabun di kamar mandi pagi ini." Aku tersenyum malu.
"Aku benar?"
"Iya mbak Put. Bentar lagi Bella turun."
"Cepat. Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu."
Mbak Putri mulai menuruni tangga untuk kembali ke dalam rumah sebelum akhirnya berhenti dotengah tangga.
"Ibu selalu tahu apa yang terjadi pada anaknya. Jadi sebelum ibu khawatir tentang keadaan Bella, akan lebih baik jika Bella bercerita pada ibu."
"Jangan lupa mandi dulu dan segera ke meja makan." Tutup mbak Putri dari bawah dan berlalu memasuki pintu samping rumah ibu.
"Kenapa cemberut begitu?"
"Hujan membuat basah. Aku tidak suka."
Hai kamu. Suatu saat jika kita bertemu, saat itulah kamu akan menemukan diriku dengan hal yang baru. Kupastikan tidak ada lagi yang membuatku kembali menjadi manusia lemah. Mendung hitam, angin dan rintik hujan. Saat ini aku adalah kawanmu. Segera aku menuruni tangga dan bergegas mandi sebelum berkumpul di meja makan.
Terima kasih ayah dan terimakasih rumah pohon. Lebih dari segelanya, terima kasih Tuhan. Rencana-Mu akan selalu menjadi yang terbaik untukku.