Pagi menjelang dengan cuaca sedikit mendung. Membuat udara sedikit terasa lebih dingin. Hal itulah yang mungkin membuat Bumi pagi ini sunyi karena kehilangan nyanyian paginya. Aku segera bangkit setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul lima pagi.
"Bang Rafka semalem datang ya. Bella lihat ada mobil abang di depan?"
Aku bertanya pada ibu yang sedang berada di dapur.
"Iya, lagi main sama Amel di halaman."
"Ohh"
Aku meninggalkan dapur untuk kembali ke kamar dan menyelesaikan aturan pagi hari setelah bangun tidur—mandi.
"Bella izin main keluar, bu. Ada janji sama temen." Aku mencium tangan ibu yang sedang duduk di sofa ruang tamu engan majalah ditangannya dan secangkir teh di depannya. Bang Rafka muncul dari pintu belakang.
"Mau kemana, dek, pagi-pagi banget keluarnya?"
"Ada janji sama temen, bang."
"Hati-hati bawa mobilnya. Sepertinya mau hujan. Jangan ngebut bawa."
"Ok!"
Masih dengan memakai sepatu converse milikku, bang Rafka berdiri di belakang tubuhku.
"Tumben kamu nggak nyari Amel dulu, dek?"
"Masih mandi kan?"
Aku menoleh dan bang Rafka mengangguk mengiyakan.
"Abang nginep di rmah ibu kan hari ini?"
"Hmm"
"Bella harus pergi dulu. Sampaikan maafku pada Amel karena onty cantiknya belum bisa menemuinya pagi ini. Sampaikan juga kalau aku akan membawakannya es krim super big hari ini."
Aku berkata dengan mengerlingkan mata kananku sebelum akhirnya dua jari mendarat di keningku. Kali ini aku tidak akan marah, karena aku memang bersalah. Amel memiliki peraturan keras terhadap es krim. Hal itu karena saat umurnya masih lima tahun ia tidak bisa bernapas setelah memakan es krim.
Hari itu keluarga kecil abangku pergi berlibur yang bertepatan dengan hari es krim sedunia di bulan Juli minggu ketiga. Bang Rafka memang sangat jarang memiliki aktu berlibur berdua dengan keluarganya. Oleh karena itu ia mengambil cuti yang belum pernah diambilnya selama satu tahun. Aku tidak tahu bagaimana bisa tubuh manusia itu mampu bertahan. Apakah otaknya terlalu longgar untuk memikirkan semua pekerjaan tanpa membutuhkan hiburan. Tapi itulah yang terjadi pada abangku.
"Banyak hal yang harus abang kerjakan di kantor. Doakan saja semoga promosi abang di kantor bisa terwujud, hitung-hitung belajar jadi bos," katanya dengan tertawa ringan ketika aku bertanya tentang cuti yang tidak diambilnya.
Aku dan ibu tahu—sekarang mbak Putri juga tahu—kalau bang Rafka adalah laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga setelah ayah berpulang. Menjadi laki-laki pekerja keras untuk menggantikan peran ayah. Lebih dari itu, bang Rafka adalah seorang kakak dan teman terbaikku. Manusia selain ibu yang tidak akan meninggikan suaranya ketika aku melakukan kesalahan.
"Tidak jadi pergi, dek?"
Suara abang membuyarkan lamunanku. Aku tidak tahu kalau ternyata abang masih berdiri dibelakangku. Aku tersenyum dan mencium pipi kirinya sebelum pergi melihat jam di pergelangan tangan kiriku semakin melaju tanpa kusadari.
"Assalamu'alaikum, Bella pergi dulu."
Sampai di Coffe Shop, aku disambut dengan lagu Ten2Five—i will fly—yang dinyanyikan oleh grup penyanyi yang dimiliki kafe ini. Suasana kafe menjelang siang sedikit lengang. Tidak banyak orang yang mengisi meja-meja di teras kafe. Lebih banyak menempati meja yang ada di dalam kafe. Tentu pilihan yang tepat ketika suasana di luar sedang mendung. Sedikit banyak angin yang menyentuh kulit terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin hujan lebat akan datang dilihat dari mendung hitam yang perlahan menyelimuti bumi.
Aku memesan kopi blue java sebagai teman hari ini dengan pisang goreng sebagai pendampingnya. Tidak ada siapapun yang akan kutemui di kafe ini. Aku hanya ingin menenangkan diri. Majalah online yang semalam kubaca sedikit menggangguku. Seharusnya aku tidak perlu merasa secemas ini. Jika isi berita yang disampaikan benar adanya aku hanya cukup diam. Menyingkir. Pergi. Jangan mendekar, Get lost.
***
Franklin Pandemas Siregar, begitu nama lengkapnya. Laki-laki yang menjadi alasanku berakhir di sini. Seperti kaset film, semua terputar secara tiba-tiba. Memenuhi kepala tanpa ada tombol pause bahkan next. Setidaknya jika aku tidak bisa membuatnya berhenti, aku ingin melewatinya dengan hal-hal lain. Sungguh ini bukan saat yang tepat, esok atau lusa. Bahkan aku berpikir mungkin tidak akan ada waktu yang tepat untuk mengingatnya kembali. Aku tidak akan pernah siap. Perasaan takut tiba-tiba muncul.
Setelah beberapa tahun berlalu, kupikir mendengar namanya tidak akan membuatku terkejut. Aku akan baik-baik saja tanpanya, sama seperti kami belum mengenal diri satu sama lain. Tapi sayangnya bumi tidak mengizinkan hal itu berlaku padaku. Semua sudut bumi seperti mengingatkanku. Aku harus berusaha lebih keras agar semua tidak terlalau sama. Namun lagi-lagi bumi tidak mengizinkannya. Setelah semuanya terjadi, selalu ada titik dimana aku mengingatnya.
Ketika orang berkata waktu akan menjadi obat, luka sedalam apapun akan sembuh sendirinya. Tapi aku melupakan hal penting dari obat itu sendiri. Tidak ada obat yang bisa menghilangkan bekas luka. Meski tersamarkan tetap saja luka itu akan membekas. Semahal apapun obat ia hanya berfungsi meredakan sakit tanpa benar-benar menyembuhkannya. Secepat dan selambat apapun waktu berlalu, ia hanya menjadi teman untuk mengurangi rasa sakit dari luka. Bukan menghapus luka.
***
"Ini kak pesanannya."
"Ah, ya terima kasih." Pelayan berlalu setelah meletakkan menu pesananku.
"Mbak, boleh saya minta lagi secangkir lagi dengan menu yang sama?"
"Baik kak, ditunggu pesanannya." Aku tersenyum sebagai jawaban.
Aku tidak tahu jika mendung sudah meggugurkan airnya. Berapa lama aku melamun tadi hingga butiran hujan yang cukup besar tidak tertangkap telingaku sebelum akhirnya berganti menjadi hujan rapat namun tetap deras. Aku melihat sekelilingku, bahkan beberapa meja sudah berganti penghuni. Tidak sengaja aku menangkap sepasang mata memandang kearahku. Seketika jantungku memompa dengan cepat. Aku tidak yakin apakah benar yang tertangkap mataku. Kuharap seseorang yang duduk berada jauh dari mejaku bukan orang yang membuatku cemas.
Aku segera menunduk dan meraih ponsel di dalam tas, memainkan home screen dan beberapa menu di dalamnya. Tidak mungkin aku menembus hujan yang begitu deras. Aku hanya berharap kedua mataku salah menangkap pemandangan. Dan ponsel ditanganku mampu mengurangi perasaan cemas.
Inhale. Exhale.
Kau hanya terlalu cemas sehingga kepalamu membuat imajinasi.
Bukan... bukan. Berkali-kali aku mengatakannya dalam hati. Menenangkan diri sendiri. Aku memutar tubuh. Menghindari arah pandang yang mungkin akan mengangguku.
"Pande!"
Aku mendengar seorang wanita memanggil nama yang tidak asing ditelingaku. Sedikit terkejut karena wanita itu melewati mejaku. Tidak lama aku mendengar langkah kaki semakin mendekat.
"Hai!"
Lagi-lagi jantungku memompa begitu cepat. Hingga rasanya hampir terasa sesak. Aku tidak mungkin salah mengenali suara itu.
Terdengar suara kursi yang ditarik tepat dibelakangku. Meja kosong yang sebelumnya berisi beberapa menu makanan ringan dan secangkir minuman ternyata sudah memiliki penghuni.
"Aku hanya memesan milikku saja. Takut kau datang terlambat karena hujan, jadi kamu bisa pesan terlebih dahulu."
Tidak lama suara pelayan menanyakan pada seseorang dibelakangku dan kemudian mengucapkan kalimat untuk menunggu pesanan diantar.
"Tidak disana, disinipun kamu memilih menu yang sama. Seleramu tidak pernah berubah." Tidak ada jawaban atas kalimat tersebut.
Sungguh, aku bukan seseorang yang suka menguping. Tapi suara itu benar-benar tertangkap jelas oleh kedua ruang telingaku. Sedikit terganggu karena perasaan cemasku belum sepenuhnya hilang.
"Seleraku berubah. Aku tidak pernah memesan jenis kopi ini beberapa tahun yang lalu. Tapi aku menyukai perubahan ini."
Setelah mendengar kembali suara itu, cepat-cepat aku mengambil tas dan memasukkan ponsel. Hampir saja terjatuh. Aku tidak tahu mendengar suara itu bisa membuat tubuhku bergetar. Aku ingin segera meninggalkan tempat ini. Mendorong kursi sedikit keras kebelakang.
"Eh!"
Aku tidak tahu seberap kuat aku mendorong kursiku hingga mungkin membuat wanita dibelakangku terkejut.
Aku menurunkan separuh tubuhku dan mengucapkan maaf tanpa memandang wajahnya dna segera berlalu. Hampir saja aku menabrak pelayan yang membawa piring kotor. Sekali lagi aku mengucapkan maaf dan berlalu meraih pintu kaca.
Berlari. Langkah kakiku semakin cepat ketika aku mendengar suara itu berseru dibelakang. Memasuki mobil dan segera berlalu. Mengabaikan suara yang semakin terdengar lirih. Aku tidak tahu jika keputusan untuk menenangkan diri di tempat itu berbalik menjadi menjemput luka yang sedang kuhindari.