BAB 7

Kadang aku merasa pagi datang terlalu cepat. Ia tidak pernah peduli pada kantuk yang dimiliki oleh sebagian orang. Berat masih menggantung dikedua matakau ketika aku mendengar suara ibu yang entah sedang melakukan apa. Jam putih berbentuk bujur sangkar yang tergantung di kamar ternyata sudah menunjukkan pukul lima pagi.

"La, sudah bangun? Ayo temenin ibu jalan-jalan di sekitar rumah." Ibu bertanya dari balik kayu yang menyembunyikanku.

Sepulangnya kami—aku dan Laras—dari liburan singkat ke pasar malam ibu memang berpesan untuk ditemani jalan-jalan pagi. Hari Minggu. Bagi gadis sepertiku yang masih menunggu pekerjaan tetap, memang memiliki waktu yang terlalu banyak untuk bersantai. Lemak akan semakin menumpuk hanya untuk merebah.

"Ibu dimana, Bi?"

"Di teras, mbak. Katanya mau pemanasan dulu sambil menghabiskan segelas susu."

Aku tersenyum geli, ada-ada saja wanita hebatku itu.

"Sudah habis susunya Tuan Putri?"

Aku menahan geliku ketika ibu yang sedang duduk dikursi kayu teras depan rumah kami berjengit kaget dengan mengusap dadanya.

"Kamu ini, bikin kaget ibu saja. Sudah ayo, keburu siang ini. anak gadis kok bangunnya siang. Gimana kalau nanti punya suami. Bisa-bisa nggak makan, malah cari masakan di luar."

"Bella kan udah bangun jam lima, bu," aku membela diri dari tuduhan ibu.

"Oh iya, bukan karena ibu yang teriak di depan pintu kamarmu?" ibu bertanya dengan memicingkan matanya. Aku yang ditatap seperti itu hanya tersenyum malu. Menyadarinya ibu menjitak keningku dengan dua jarinya.

"Aduhh, ibu!"

"Ketahuan kan." Ibu berjalan dengan menggelengkan kepalanya. Aku menatapnya dari samping.

"Sebentar, bu. Berhenti dulu."

Aku menghentikan jalan ibu dan berdiri di depannya. Tanganku bergerak membenahi kerudung yang dikenakannya. Beberapa helai rambutnya mencuri celah untuk keluar dari pelindungnya.

"Bella mau benerin kerudung ibu aja. Rambut ibu ada yang keluar. Ibu kurang kuat nih pakek jarumnya."

Tangan ibu bergerak menarik jarum ddi bawah dagunya. Mengeratkan kembali tautan kain itu dan menusuknya kembali.

"Kalau Bella udah siap, coba pakai kerudung ya." Ibu tersenyum menatapku. Mengusap ubun-ubunku—yang terpasang bando untuk menghalau rambut-rambut kecilku yang terkadang membuat kesal—dan berjalan lebih dulu. Aku terdiam. Perasaan sesak segera menyambutku. Perlahan mataku terpejam, meraup udara dan mengosongkan kembali paru-paru.

Aku menatap ibu yang sudah berjalan beberapa langkah berjarak denganku. Mencoba biasa saja meski sesak masih tersisa. Kakiku berjalan menyusulnya. Tiba disampingnya aku meletakkan kedualenganlu dikedua bahu, memeluknya. Aku tersenyum yang dibalas ibu dengan mengecup pipi kananku. Tuhan, jaga selalu wanita hebatku ini. Jangan menjemputnya sebelum aku membuat kurva di bibirnya.

"Hari ini rencana mau masak apa, bu?"

"Belum tahu, kamu ada ide apa. Atau ingin makan sesuatu gitu. Bi Rasti juga bertanya tadi, bingung mau masak apa."

"Hmm.. soto Malang. Bella lagi kangen masakan Malang."

"Boleh. Kamu bawa ponsel nggak? Minta bi Rasti belanja bahan dulu, biar bisa maska langsung nanti." Aku mengangguk. Merogoh saku kiriku, menarik ponsel dan menelfon bi Rasti. Setelahnya aku dan ibu berjalan kembali.

"Abangmu itu kok lama nggak pulang ya? Ibu kangen sama Amel."

"Lagi sibuk mungkin, bu. Lagi pula bang Rafka kan baru dapat promosi jabatan. Mungkin juga kantor lagi hectic nya. Jadi belum bisa mampir."

"Tapi kan Putri bisa berkunjung dulu."

"Ibu kaya nggak tahu bang Rafka aja. Mana boleh mbak Putri nyetir mobil sendiri dari Jakarta ke Bandung. Bisa-bisa ngambek 3 hari tiga malam bang Rafka."

"Naik kereta kan bisa?" Ibu masih ngeyel dengan segala kemungkinan yang bisa membawa keponakanku ke Bandung.

"Apalagi itu. Mana mau bang Rafka membuat mbak Putri dilihat banyak orang."

"..."

"Kadang Bella tuh mikir, bu. Bang Rafka itu kok bisa ya dapet mbak Putri. Tapi lebih anehnya lagi, mbak Putri kok mau ya sama bang Rafka. Bang Rafka kan jahil banget, galak lagi."

"Namanya juga jodoh, nak. Mau segalak apapun abangmu itu, kalau udah jodohnya mbak Putri juga akan tetap jadi iparmu."

"Kan katanya jodohmu adalah cerminan dirimu. Itu berlaku juga nggak sih bu sama hidup bang Rafka?"

Kami tiba di taman ujung jalan. Tidak banyak tanaman disini, tapi pohon besar cukup menghalau sinar matahari yang mulai mengintip. Udara masih terasa segar. Taman terdengar ramai oleh kicau burung dan beberapa tetangga yang sedang menyapu halaman rumahnya. Beberapa orang tua dengan cucunya berbincang riang. Seorang laki-laki paruh baya menunjuk ke atas—pohon—dimana burung berkicau begitu keras. Bibir anak kecil itu mngurva, menarik tali dikedua pipi gembulnya membuat mata kecilnya enghilang sebab ikut tersenyum.

Aku menoleh kembali pada ibu yang diam. Matanya tertuju padaku. Tidak tersenyum tapi juga tidak menunjukkan bahwa beliau sedang melamun. Seolah mencoba menyelami kedua mataku. Tangan ibu mampir di punggung tangan kananku yang kuletakkan di kursi taman. Tersenyum teduh dengan mengusap tangnku.

"Tidak semua bisa kita tafsirkan sesuai pandangan kita. Memang, Tuhan telah menggariskan siapa yang menjadi jodoh kita adalah cerminan dari diri kita sendiri. Bukan berarti sikap menonjol dari abangmu yang kamu bilang galak menjadi ciri mbak Putri juga. Mungkin ada banyak sisi yang membuat mereka menjadi sepasang. Ada banyak sisi pada abangmu yang terisi oleh mbak Putri. Begitu juga sebaliknya, yang ada pada abangmu mampu mengisi apa yang kurang dari mbak Putri. Bukankah saling melengkapi akan membuat semakin utuh sisi yang kosong."

"Oke, saling melengkapi. Lalu bagaimana dengan masalah pada beberapa orang yang berakhir bercerai. Apakah melengkapi tidak cukup untuk membuat keluarga tetap dalam ikatan. Atau apakah ikatan yang mereka buat adalah kesalahan?"

Ibu menghela napas perlahan. Seakan pertanyaanku menekan sesuatu pada tubuh ibu dan membuatnya mengharuskan melepas udara sedikit berat. Ibu memandang ke arah langit, aku mengikutinya. Langit pagi ini begitu bersih. Angin seakan mengusir awan-awan menghalangi matahari bersinar. Membiarkan tubuh bumi hari ini mencium sinarnya setelah berhari-hari langit menghukumnya dengan hujan deras.

"Mereka yang tidak mampu bertahan bukan berarti salah dalam ikatan. Beberapa harus diuji, baik lahir dan batin. Tidak semua bisa berlaku pada setiap orang. Beberapa harus kalah dalam perjuangan, beberapa lagi semakin kuat dengan segala ujian. Tapi bukan berarti ikatan adalah simpul dari segala ujian. Tuhan hanya perlu tahu seberapa besar manusia bersabar dalam ujian, bagaimana mansuia bisa bersyukur, untuk kemudian Tuhan bisa menaikkan derajat mereka yang lebih baik.

Semua ujian berlaku untuk setiap manusia yang hidup di atas tanah Bumi. Semua hadiah berlaku untuk mereka yang benar-benar percaya pada takdir, bahwa tidak ada takdir yang salah. Selalu ada jalan untuk semua ujian dan Tuhan tidak akan mengingkari janjinya untuk setiap hadiah yang seharusnya."

Aku masih diam mendengar jawaban ibu. Aku selalu senang belaja dengan beliau. Tidak ada nada membentak, ibu lebih memiliki suara tegas. Setelah ayah berpulang, ibu adalah pengganti yang terbaik. Menjadi pemimpin juga menjadi pelindung tetap dengan sosok ibu yang penuh kasih sayang. Sekian detik berlalu ibu meletakkan kembali tatapannya padaku. Akupun mengikutinya, memandang wajah bersih ibu tanpa berkata. Dua detik slenajutnya ibu tersenyum.

"Jangan jadikan ujian orang lain sebagai tolak ukur bahagia kita di masa depan. Jika kamu mengetahui detail masalah seseorang, cukup jadikan itu sebagai cara kamu belajar. Jangan jadikan itu penghalang. Takdir Tuhan tidak ada yang tahu, pilihan yang kamu anggap benar akan tetap salah jika itu bukan takdir dari Tuhan."

"Kenapa ibu berkata seperti itu?" Secara tidak langsung aku menggaris bawahi jawaban ibu kali ini. Seolah ibu tahu apa yang membuat pertanyaanku muncul kepermukaan.

"Ibu adalah orang yang melahirkanmu. Meski Bella tidak bercerita pada ibu, semua terlihat jelas di kedua mata ini." Ibu menyentuh kedua mataku, hal yang membuat kelopak mataku tertutup. Bayangan wajah ibu masih tergambar ketika aku menutup mata.

"Semua sudah ada jalannya masing-masing. Jangan gantungkan bahagiamu pada jalan cerita orang lain. Bella berhak memiliki cerita sendiri. Tidak semua harus disamakan. Jangan membayangkan semua ujian akan terjadi pada hidup Bella."

Perlahan tangan ibu menyentuh sisi kepala atasku.

"Jangan biarkan pikiran Bella berasumsi pada hal-hal yang mungkin saja tidak akan terjadi padamu. Biarkan kepala tetap dingin tanpa asumsi-asumsi yang membuat Bella lelah sendiri. Hidup terus berjalan, masa lalu Bella seharusnya tidak menjadi batu penghalang untuk Bella bahagia hari ini."

Aku masih diam dengan mata terpejam. Merasakan telapak tangan halus ibu bergerak dari atas kebawah berulang kali di atas rambutku.

Tuhan, tolong simpan doaku hari ini. Sungguh, masih banyak hal yang tidak kuketahui tentang apapun. Biarkan aku belajar dengan guru terbaikku ini. Kirimkan malaikat terbaikmu untuk menjaganya.

Perlahan kurasakan ibu mengecup keningku.

"Bella berhak bahagia... Bella berhak bahagia.. Bella selalu berhak bahagia, tentu dengan cerita Bella sendiri."

Sesuatu terasa hangat menyentuh pipiku. Masih dengan memejamkan mata. Sedetik aku tahu air mata ibu mengalir dipipiku, membuat mataku yang terpejam bergetar menampung air yang juga memaksa keluar. Sebentar lagi yang jatuh akan semakin deras, hingga aku harus memaksanya berhenti meski sia-sia kulakukan. Sebab ibu kembali menanamkan kecupannya di keningku semakin dalam. Seolah mengerti anak perempuannya sedang tidak baik-baik saja hari ini.