Bab 6

Pagi datang terlalu cepat. Sepertinya jam mengejar waktu untuk membuat manusia terus bekerja. Masih bergelung dengan selimut. Ingin sekali rasanya aku melanjutkna tidurku kembali. Tapi aku tahu, ibu akan memanggilku ketika aku belum muncul jam lima pagi. Bergegas mengambil wudhu dan menjalankan kewajibanku.

Suara peralatan masak terdengar beradu di dapur. Ibu menjadi lebih suka memasak sendiri meskipun tetap dibantu oleh Bi Rasti. Sebagai asisten Bi Rasti memang hanya akan mondar-mandir mengambil kebutuhan sesuai yang diperintahkan ibu ketika memasak. Bumbu dan segala racikannya ibu lah yang mengatur. Bi Rasti akan full bekerja ketika membesihkan rumah.

"Pagi ibuku yang cantik," aku menghampiri ibu yang sedang mengaduk sesuatu dengan mencium pipi kirinya.

"Wahh, hari ini menu utamanya sop," aku beralih ke Bi Rasti yang sedang membuka bungkus tepung.

"Bi Rasti mau buat apa nih"

"Ini mbak Bella, bibi mau buat bakwan jagung. Kan cocok tuh sama sayur sop yang dibuat sama ibu. Biar seger gitu"

"Sip, mantap. Bella bisa bantu apa nih?"

"Kamu nggak ada jalan-jalan pagi," ibu bertanya dengan mencicipi kuah sop ditangannya.

"Enggak, dingin bnaget pagi ini"

"Namanya juga pagi, kapan sih Bandung gak dingin, Bell?" ibu menjawab diringi kekehan ringan. Aku tersenyum sebagai respons untuk ibu.

"Bell, sudah lama ibu gak denger si Panji ya. Apa kabarnya sekarang ya?"

Aku yang duduk di meja makan terkejut mendengar pertanyaan ibu yang tiba-tiba membahas Panji. Kalau dipikir-pikir lagi memang sudah lama Panji tidak mengirim kabar. Setelah aku memilih pulang ke tanah air, Panji memang masih ingin menetap di kota tempat kami kuliah. Katanya ingin mencari pengalaman kerja dulu sebeoum pulang. tante Ambar—ibunya Panji—juga tidak pernah bercerita tentang Panji. Seperti hilang ditelan bumi saja, meski beberapa kali aku masih melihatnya aktif di media sosial.

"Iya juga ya, bu. Bella juga nggak tahu deh Panji kemana. Nomornya aja Bella nggak ada simpan. Bella juga nggak ada kirim e-mail sama Panji"

"Lah, si Panji juga nggak ada kirim kamu kabar gitu, Bell?"

"Yahh, bu, kalau Panji kirim kabar Bella pasti jawabnya, Panji baik-baik aja, gitu" jawabku sedikit ketus. Efek rasa sebel juga sama si Panji.

"Yaa, kan ibu tanya, Bell. Lama nggak ada kabar, kalian dulu kan kemana-mana gandeng mulu. Masa sekarang nggak ada saling kirim kabar, 'kan aneh."

"Nggak tahu deh, Panji. Lupa kali kalau ada temen di Indo,"

"Ya coba gitu kamu kirim pesan gitu ke Panji"

"Lah ngapain, orang si Panji aja nggak ada niat ngasih kabar ke Bella"

"Ini teh kenapa malah bertengkar. Nyeri sirah bibi"

Aku dan ibu saling pandang. Lalu tertawa bersama. Topik Panji sepertinya membawa suasana dapur semakin panas. Terdengar seseorang menekan bel rumah.

"Ah sudahlah, Bella bantuin bibi lanjut masak ya. Ibu mau ke depan dulu, kayanya itu bapak servis deh," ibu berlalu masih dengan apron di tubuhnya.

Aku berdiri membantu Bi Rasti menggoreng bakwan.

"Ibu manggil tukang servis, emang ada masalah, bi?"

"Oh itu, tadi pagi pas ibu mau pakai kamar mandi ruang tamu ternyata airnya nggak nyala. Sepertinya ada yang bermasalah." Aku hanya mengganggukkan kepala dan bergumam.

Setelah selesai sarapan, aku menyempatkan duduk di depan ruang tamu untuk menonton televisi sebelum akhirnya mandi. Selesai dengan segala persiapan, aku kembali ke bawah mencari ibu.

"Bi Rasti, ibu dimana?" Bi Rasti yang sedang menyapu ruang tamu sedikit terkejut, aku tertawa ringan melihatnya.

"Si neng mah, ngagetin wae. Ibu teh di taman belakang, tadi katanya ada tanamannya yang rusak. Ngedumel terus dari tadi"

"Oke"

"Bu, Bella mau pergi dulu"

"Tumben udag rapi, Bell, mau kemana?"

"Bella mau ke galeri, udaha lama kayanya nggak liat keadaan galeri. Laras sih bilangnya baik-baik aja. Tapi ya nggak ada salahnya kan berkunjung"

"Iya juga sih, yasudah hati-hati"

"Ibu ada yag mau dititip kalau Bella nanti pulang?��

"Enggak deh, masih ada kok bahan dapur"

"Oke deh, Bella berangkat ya, bu," aku hendak meraih tangan kanan ibu.

"Cium pipi aja deh, tangan ibu lagi kotor nih," ibu menunjukkan telapak tangannya. Setelahnya aku pergi ke samping rumah menuju garasi mobil.

Hanya ada dua mobil di garasi kami. Semenjak bang Rafka pindah ke rumahnya, dua motor yang biasanya terpakir di garasi rumah juga ikut serta dibawanya. Alasannya tidak boleh ada lagi yang keluar naik motor setelah aku tertangkap mendapati luka disiku kiriku.

Aku memandang keluar kaca jendela mobil. Mendung mulai menggantung tebal beriringan menuju utara. Bandung dan teman setianya, adalah hujan. Benar saja, tak lama kemudian hujan mengguyur tubuh bumi pagi ini. Geliat jalan yang ramai oleh motor dan juga mobil-mobil pribadi. Hujan, menggenang, dingin, kuharap tidak akan ada macet yang kutemui di depan.

Tapi dewi belum berpihak padaku. Seratus meter dari mobilku berada ruas jalan terlihat diisi mobil-mobil yang berhenti. Beberapa orang yang mengendarai motor terlihat bingung karena tidak membawa pelindung diri—jas hujan. Hal menarik yang kutemukan selama menunggu macet terurai adalah pelangi di tengah jalan. Kurasa memang benar, jika pelangi muncul setelah hujan. Di depan sana, berbagai macam warna jas hujan menghiasi sela-sela mobil yang ada.

Setelah berada dalam kemacetan, perlahan mobil-mobil didepan terurai. Bunyi klakson menjadi nyanyian yang memekakkan telinga menunjukkan ingin segera sampai ditempat tujuan, sekolah, tempat kerja, dan tempat lainnya.

Bunyi notifikasi ponsel yang kuletakkan di samping kursi kemudi terdengar. Terlihat nama Laras di papan layar menanyakan rencanaku yang berkunjung ke galeri. Aku membalasnya sebentar mengatakan bahwa aku sedang dalam perjalanan.

Aku tiba di galeri empat puluh menit setelah kabar terakhir yang kukirimkan pada Laras. Terlihat dari halaman parkir Laras sedang berbicara pada seorang wanita paruh baya. Aku memutuskan untuk tidak turun terlebih dulu, menunggu Laras menyelesaikan tugasnya.

Galeri seni yang kumiliki adalah hasil rengekanku pada ibu dan bang Rafka. Mereka tidak menyetujui rencanaku yang memilih lokasi untuk mendirikan galeri disini. Alasannya karena jaraknya terlalu jauh dengan rumah.

"Bella janji deh nggak akan pulang malam lagi. Aku usahain lukisannya selesai hari itu juga, jadi Bella nggak lembur-lembur lagi sampai malam,"

"Tapi itu jauh, Bella. Kamu juga nggak mau pakai supir. Bang Rafka juga nggak setiap saat bisa jemput kamu"

"Abangmu benar, Bell. Ibu juga khawatir kalau kamu harus pulang sore-sore kejebak macet jadi lama sampai rumah"

"Aduh ibu, abang, Bella udah gede kali. Bisa jaga diri, janji nggak akan pulang malam"

"Oke deh, abang kasih izin. Asal kamu tepati janji kamu"

"Bang!" ibu memanggil bang Rafka sedikit keras.

"Nggak apa deh, bu. Kalau nggak diturutin Bella nggak bakal berhenti merengek kaya anak kecil. Asal dia bisa pegang janjinya untuk selalu hati-hati dan tidak pulang malam," terdengar ibu menghela napas berat sebelum akhirnya mengangguk. Aku tersenyum melihatnya.

"Mbak Bella kenapa nggak langsung masuk aja?" suara Laras membuyarkan ingatanku.

"Tadi lihat kamu lagi bicar sama orang, aku nggak mau ganggu. Udah selesai ya?"

Laras mengangguk.

"Ayo mbak masuk. Dingin nih habis hujan. Laras buatkan kopi susu nanti di dalam"

Kami berjalan memasuki galeri. Sisa hujan berhasil membuat genangan di halaman parkir. Meski tidak terlalu dalam tetap saja membuat kaki basah terciprat langkah kaki sendiri.

Setelah memasuki pintu depan, Laras langsung menuju dapur kecil kami. Aku memilih untuk duduk di sofa yang sengaja ku sediakan sebagai ruang tunggu di tengah-tengah pelanggan yang mungkin meminta karyawan galeri untuk mmbungkus lukisan.

Hanya sepasang sofa berwarna blue warm dengan meja kaca kecil berbentuk lingkaran. Selain lebih praktis, tujuanku meletakkan sepasang sofa ini agar tidak terlihat kosong di sisi tengah ruangan. Galeri mini ini kubuat menjadi beberapa bagian. Ada empat ruang untuk meletakkan lukisan berdasarkan tema dan jenisnya masing-masing.

"Ini mbak Bell, kopinya," Laras muncul dari samping dan meletakkan secangkir kopi panas. Terlihat dari asap yang mengepul dipermukaan airnya. Aku menyentuh cangkir gemuk itu dengan kedua telapak tanganku. Sedikit mengurangi rasa dingin yang kurasakan sejak keluar dari mobil tadi.

"Bagaimana galeri selama satu bulan ini, Ras?"

"Wahh perkembangan yang baik mbak. Ibu-ibu yang tadi mbak Bella lihat sudah tiga bulan ini sering datang ke galeri. Hampir setiap dua minggu sekali datang dan membawa satu lukisan dari galeri kita. Waktu Laras tanya, ibu itu berkata kalau sebenarnya anaknya yang minta lukisan, tapi nggak mau datang sendiri. Aneh kan mbak? Laras mau tanya tapi sepertinya nggak sopan," Laras menjelaskan panjang lebar. Menyukai lukisan tapi tidak mau membeli sendiri, aneh memang. Bagiku rasa puas tidak akan bisa kudapatkan ketika aku tidak melihat secara langsung barang yang kuinginkan. Tapi sudahlah, setidaknya galeri mini ini tidak mati.

"Oh iya, Ras. Kamu lusa nggak ada acara kemana-mana kan?"

"Tidak mbak, kenapa?"

"Jalan-jalan yuk, kemana gitu. Ada ide nggak kamunya?"

"Yahh.. mbak Bella yang ngajak kok malah tanya ke Laras. Mbak pengennya kemana?"

"Menurut kamu Bandung yang cocok dikunjungi untuk patah hati kemana"

"Mbak Bella lagi patah hati," respons Laras terlalu cepat. Aku hampir berteriak ketika tiba-tiba tubuhnya menubrukku dari kanan.

"Aduh, Ras, kaget tahu," aku masih mengusap dada akibat terkejut.

"Enggak juga, pengen tahu aja orang-orang Bandung kalau patah hati perginya kemana," aku menjawab yang kuakhiri dengan cengiran.

"Laras pikir-pikir deh nanti. Itu ada mas-mas masuk, gih mbak Bella aja yang melayani. Laras mau kebelakang dulu, kebelet ini," tanpa menunggu persetujuanku Laras berlari menuju kamar mandi. Menghembuskan napas kesal akupun bangkit dari sofa nyamanku menyambut pelanggan pertama sejak terkahir kali aku berkunjung.