BAB 5

Suasana coffee shop hampir penuh dengan pengunjung. Paku jam menunjukkan pukul empat sore. Coffee shop berkonsep semi resto ini menyajikan aneka kopi serta menu tradisional dan western. Tempat nongkrong yang menyajikan nuansa tradisional dengan bahan bangaunan dari kayu. Pilihan yang tepat untuk mengusir penat. Tapi jangan lupa sesuaikan sama isi kantong. Kata bang Rafka sih, gaul boleh asal tidak membuat kantong menjerit.

Satu jam yang lalu, satu minggu setelah pertemuan kami di acara amal, Roseline meminta bertemu. Alasannya karena si gadis kecil Caca ingin bermain denganku. Kurasa aku terlalu ge-er, tapi menurut ibu aku memiliki jiwa penyayang anak-anak. Tentu saja ini menurutku juga. Aku tidak akan betah dengan keponakan kecilku jika aku tidka menyukai anak kecil.

"Selamat sore, kak, ingin pesan kopi apa hari ini?" suara barista menyapaku. Sedikit bingung, bukankah menu yang kupesan setiap datang di kafe ini selalu menu yang sama.

"Bagaimana, kak?"

"Ah iya, seperti biasa, Piccolo Latte sama biskuit kopi"

"Kamu sering berkunjung kesini ternyata," barista itu bergumam lirih, namun masih bisa kudengar.

"Maaf, kamu berkata sesuatu?"

"Tidak.... tidak. Pesanan akan diantar segera mungkin, silakan menikmati sajian musik kami"

Tidak lama, menu yang kupesan datang. Aku sengaja memilih untuk bertemu di tempat ini, selain menyediakan berbagai macam jenis kopi dari nusantara, pihak kafe juga menyajikan kopi dengan standar yang tinggi. menggunakan gramasi sehingga pengunjung bisa menikmati kopi dengan cita rasa yang maksimal. Paling penting lagi, kafe ini menyediakan jenis makanann ringan yang bisa dipesan jika pengunjung membawa anak kecil.

"Silakan menikmati sajian kami,"

"Apakah barista tadi adalah pegawai baru di tempat ini?" aku bertanya kepada pramusaji yang mengantar menu pesananku. Memang, aku tidak memperhatikan siapa saja barista di coffee shop ini. Tapi barista itu sepertinya pegawai baru. Tentu saja, pegawai yang berada di balik meja bar di depan sana pasti mengetahui menu yang selalu kupesan, kecuali aneka biskuit yang kupesan kali ini. Untuk pendamping aku lebih memilih untuk menu berbeda.

"Oh mas Abra?"

"Abra?"

"Iya, barista yang mMbak Bella tanyakan tadi namanya Mas Abra. Baru masuk tiga hari yang lalu"

"Ohh barista baru ternyata. Pantas tidak terlihat mondar-mandir di meja bar"

"Mbak Bella sendiri kemanana, tumben sudah empat hari nggak mampir ke kafe. Hari ini baru muncul lagi. Banyak kerjaan ya mbak?"

"Iya, ngurus keponakan yang lagi ditinggal indukannya"

"Wahhh, si Amel ya mbak. Kenapa nggak dibawa kesini saja"

"Udah dijemput tadi siang sama ayahnya"

"Put, meja 8 tolong dong," mas Afdal barista lama memaanggil Putri. Pramusaji yang berbincang denganku.

"Ah iya mas, putri datang"

Perginya Putri membuat suasana sedikit hening, disekitarku. Memang, aku memilih meja yang berada di sisi jendela bagian belakang kafe ini. Interior tata ruang adalah ruh coffee shop, dengan konsep sederhana tata ruang yang menarik dan unik dari sebuah coffee shop akan membuat pelanggan berdatangan karena daya tarik yang mempertemukan mereka; adalah penikmat kopi dan tempat yang nyaman untuk menikmati kopi—ngopi.

Salah satu bagian dari elemen suasana interior dari coffee shop adalah area sudut pandang yang ada di belakang ini. Selain area pandang yang mengarah ke meja bar dengan panjangan lat kopi, coffee shop milik Mbak Maya ini memiliki area pandang sudut kafe yaitu jendela besar yang menembus pemandangan luar.

Ting ! Suara notifikasi pesan dari Roselin menyapa lamunanku, bertanya dimana. Setelah mengetikkan mejaku tak lama Roslein datang dengan Caca digandengan tangan kanannya.

"Sori ya lama, tadi ngurus keperluan ayahnya, Caca, yang mau pergi"

"Iya iya, aku lupa kalo kenalan baruku ini sudah ada pendamping dan buntutnya"

"Buntut itu apa, Ma?" aku terkekeh pelan mendengar pertanyaan Caca.

"Ekor, dah duduk duli sama Onty Belle. Mama mau pesan minuman dulu"

"Caca kelas berapa sih sekarang?"

"Kelas satu, Tybell"

"Kok Tybell"

"Kan tadi mama bilang Onty Belle, panjang. Caca panggil Tybell aja deh, lebih pendek"

Aku menghela napas rendah dan mengangguk. Lucu juga sih.

"Udah bisa baca apa belum nih"

"Bisa dong, Tybell. Caca, kan pinter kaya, mama," aku hanay terkekeh mendengar jawabannya.

"Tadaaaa, mama bawa bisksuit keju untuk, Caca"

"Tadaaa, Caca suka biskuit keju," aku dan Roselin saling pandang lalu tertawa bersama. Kenapa anak kecil ini lucu sekali. Pengen punya satu, upss.

"Kamu tadi dari rumah, Bell?"

"Iya, ngurus keponakan, abis dijemput ayahnya nganggur deh. Kamu ngajak ketemu, ya sekalian aja gitu main. Beberapa hari nggak kesini juga, kangen"

"Kangen siapa nih. Pemilik kafenya atau pegawai baristanya?"

"Ngawur kamu. Kangen minum kopi disini"

"Ohh"

"Ngomong-ngomong ayahnya Caca mau kerja dimana, Rose? Keluar kota?"

"Mau berangkat ke New York"

"Kerja?"

"Sebel deh aku kalau ingat alasan Mas Pras ke New York," jawab Roselin dengan sedikit menggerutu.

"Memangnya kenapa"

"Mas Pras tuh pergi gara-gara adikku, si Pande itu mau ngurus pindah. Katanya mau balik ke Indo lagi, tapi gak mau ngurus sendiri. Jadinya Mas Pras bantuin Pande, katanya biar cepet gitu. Ibu juga sudah lama nggak liat Pnade kecuali lewat skype aja"

"Oh begitu"

"He.emm"

"Sepertinya adikmu itu sibuk banget ya. Dua kali kan ya dia nggak hadir di undangan amal"

"Kurasa dia pura-pura sisbuk. Pande itu selalu beralasan nggk tertarik. Padahal dia sangat menyukai acara-acara amal dengan tema seni"

"Dari keluarga kalian siapa yang memiliki jiwa seni?"

"Ayah dan ibu kami sama-sama memnyukai seni. Bedanya ayah yang lebih suka seni pahat diturunkan padaku, sedangkan ibu yang menyukai lukis diturunkan ke Pande. Sebenarnya bukan lukis sih, ibu lebih ke batik gitu, beliau dari remaja memang senang dengan menggambar di kain. Katanya tertarik setelah mengunjungi Jogja semawa karyawisata. Bedanya Pande melukisnya di canvas, sedang aku craft dari berbagai macam bahan"

Aku hanya mendengarkan setiap kata yang eluar dari bibir Roseline. Bukankah orang yang ingin didengarkan harus terlelbih dahulu bisa menjadi pendengar yang baik. aku tidak tahu jika ternyata suatu saat Roseline benar-benar menjadi teman yang bisa mendengarkanku.

"Oh iya, aku terlalu banyak bicara ya, maaf"

"It's oke. Sepertinya aku tertarik dengan kisah keluarga kalian"

"Bagaimana keluargamu?" Roseline memutar pertanyaan padaku.

"Tidak ada yang menarik.... kurasa"

"Jangan begitu. Setiap keluarga selalu memiliki cerita sendiri-sendiri yang membuat orang terkadang merasa iri. Bukankah pepatah dulu masih berlaku bahwa, rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau? Siapa tahu cerita keluargamu juga bisa mmebuatku merasakan hal demikian"

"Tapi tak apa, masih banyak waktu yang kitaa punya untuk berbagi cerita. Tadi itu sepertinya aku terlalu kesal dengan Pande, tapi aku juga merindukannya"

Obrolan kami berlanjut dengan hal-hal lain. Aku menceritakan beberapa lukisan seni yang pernah kubuat, bagaimana aku menemukan ide, dan seperti apa aku bisa melukis dengan suasana tertentu. Tentu aku tidka menceritakan bahwa aku tidak lagi melakukan itu semua saat ini. Obrolan kami juga diselingi dengan celoteh Caca yang beberapa kali meminta tissue untuk mengelap mulut dan tangannya. Beberapa kali juga Roseline mengomel dengan sikap Caca yang jahil mencelupkan remah biskuit ditangannya ke dalam cangkir Espressonya.

Roseline membenarkan tempat duduknya. Caca sedang sibuk memegang biskuit kejunya. Sepertinya kami akan bercerita lebih lama lagi. Menunggu waktu Roseline yang akan menjemput ibunya dari rumah temannya. Aku membayangkan jika ibu Roseline adalah sosok yang baik dan rendah hati. Entah karean alasan apa. Tapi suatu saat aku akan bertemu dengannya dan membuktikannya.

Selagi menunggu pukul delapan malam. Kami melanjutkan obrolan, kali ini didominasi oleh Caca, anak kecil itu sebelumnya protes karena tidak diajak bicara. Jadilah aku memesan secangkir lagi Piccolo Latte untuk mengabiskan sisa waktu dan cerita Si Caca yang lucu ini.

Hari ini aku kembali tersadar. Kopi bukan minuman favoritku sebelum ini. Kebiasaan yang dulu terganti dengan hal baru yang sebelumnya tidak pernah kusukai. Tidak apa, aku tidak akan mengubah apapun jika ada mesin pengubah waktu. Tanpa masa lalu aku tidak akan menjumpai diriku yang sekarang, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Roseline dan si lucu, Caca.