Bab 13

Halaman kosong di rumah ibu menjadi tempat pertunjukkan meriah bagi para hewan bersayap. Suara-suara unik yang dikeluarkan terdengar nyaring mengisi pagi yang masih sunyi. Otot-ototnya kuat mengepakkan sayap basahnya setelah bermandikan embun. Jambul di atas kepalanya terangkat naik, senang dengan sinar matahari yang menyiram tubuhnya.

"Nak, bunga disamping rumah tolong kasih air ya!" Ibu berseru dari ruang tengah.

"Lah, kan kemarin baru mandi hujan, bu?"

"Bukan yang ditanam di bawah. Ada yang di pot belum sempat basah. Tolong ya?"

Aku beranjak menghidupkan kran disamping rumah, menampungnya dengan claris pot siram yang ada dibawahnya. Daun dan tangkai-tangkai bunga itu segera basah oleh air. Sedangkan aku belum menyiram tubuhku sendiri dengan air. Tidak lama ibu berteriak dari dapur. Memintaku untuk membantu menyiapkan adonan biskuit.

Rumah sudah begitu ramai dipagi hari. Mbak Putri, ibu dan bi Rasti sudah sibuk menyiapkan camilan ringan untuk acara besok. Sudah tiga hari mbak Putri dan Amel menginap di rumah ibu, pesta ulang tahun Amel yang jatuh esok hari membuat ibu meminta bang Rafka untuk merayakannya dirumah ini. Tanpa membantah bang Rafka dan mbak Sekar mengiyakan permintaan ibu. Ada banyak anak kecil yang bisa menjadi teman Amel besok. Ibu juga berencana mengundang anak-anak panti asuhan yang berada tidak jauh dari kompleks perumahan kami. Keponakanku satu-satunya itu senang-senang saja mendapat teman baru.

"Bell, ambilkan loyang dilemari samping kulkas, Nak!"

"Putri bisa siapkan tepung lagi untuk adonan ketiga ya?"

"Bi Rasti, angkat loyang lapisan bawah, sepertinya sudah matang."

Dan berlanjut hingga menjelang sore hari. Toples berbagai ukuran itu telah terisi berbagai camilan dari berbagai varian rasa, coklat, keju, dan berbagai macam varian rasa buah. Dua jam setelah sholat isya' kami gunakan untuk menghias ruang tengah. Beberapa balon sudah ditiupkan angin, kertas-kertas hias mewarnai ruang tengah yang sebelumnya polos, pita-pita beraneka warna dan panjang juga sudah menempel pada balon-balon. Sisa balon sengaja ditiupkan angin besok agar anginnya bisa bertahan lama hingga sore hari.

"Bang Rafka sampai rumah jam berapa mbak?"

"Barusan kirim pesan sama mbak, lagi ditaxi menuju rumah." Aku mengangguk. Bang Rafka memang tidak meminta siapapun untuk menjemputnya di bandara. Tahu jika orang-orang di rumah sedang sibuk menyiapkan pesta. Tidak sibukpun bang Rafka juga tidak akan meminta mbak Putri menjemputnya. Terlalu sayang tidak jauh berbeda dengan posesif. Sedikit menyebalkan bagiku, tapi mbak Sekar menyukainya.

"Putri, bisa siapkan air hangat, Nak!" Ibu yang duduk menonton tayangan ditelevisi mengingatkan. Mbak Putri segera bangkit setelah menjawab perintah ibu. Bi Rasti sudah kembali ke kamarnya karena ibu memintanya untuk beristirahat. Jadwal bi Rasti paling banyak hari ini, sejak pagi sudah sibuk mempersiapkan sarapan, lalu ikut membantu membuat camilan.

Suasana ruang tengah lengang setelah yang tersisa hanya aku, ibu dan Amel yang ada dipangkuannya. Setelah melihat jam menunjukkan pukul sembilan malam, Amel mengeluh ngantuk, dan berakhirlah tidur dipangkuan ibu. Aku memilih pergi ke ruang lukis setelah pamit pada ibu. Beberapa lukisan terlihat berantakan, terpajang di easel stand karena tidak bisa kuselesaikan. Dua lukisan yang dipesan lewat sosial mediaku sudah kubungkus, besok pagi-pagi Dani akan mengambilnya dan mengantar ke lokasi pemesan. Satu lukisan itu berisi tentang rutinitas petani, sebuah pemandangan yang kudapat beberapa bulan lalu saat mengunjungi kampung halaman ibu. Lukisan yang menggambarkan tentang betapa keras pekerjaan yang mereka lakukan untuk bertahan hidup. Sebuah adegan yang kuambil ketika mereka sedang memanen padinya yang menguning. Mereka tidak berhenti hingga matahari tenggelam, sebelum alat-alat perontok padi menghasilkan butiran-butiran biji gabah terlepas dari pohonnya.

Satu lukisan lainnya berisi kupu-kupu dengan metamorfosisnya. Semua yang ada di bumi adalah proses. Proses untuk tumbuh. Proses untuk berkembang. Proses untuk berubah. Pohon besar yang meranggas adalah proses dari biji kecil yang tumbuh hingga berdaun lebat sebelum akhirnya meranggas, mati mengering. Begitupula yang ingin kusampaikaan lewat lukisan itu. Sebelum sepasang sayap indah melekat ditubuhnya, ia adalah ulat menggelikan yang tidak jarang mati sia-sia. Sebuah proses panjang penuh kesabaran untuk sepasang sayap yang indah. Sudah seharusnya kita manusia juga mampu bersabar, berusaha untuk sesuatu yang indah.

Suasana dapur semakim ramai menjelang siang. Suara ibu mengisi suasana dapur yang yang sedang mempersiapkan menu makanan untuk para tamu. Acara pesta akan dimulai beberapa jam lagi.

"Dek, bantuin abang sini." Aku berlari ke ruang depan masih membawa kain lap.

"Kenapa, bang?"

"Kursi-kursi disebalah sana itu tolong dipindah ya!"

"Harusnya abang dong, kan bera itu."

"Nanti abang bantu. Kamu mau gantiin abang ini." Mataku memandang apa yang sedang dilakukan bang Rafka. Masih ada beberapa balon yang belum ditiup. Tidak. Leherku sudah cukup sakit tadi malam meniup balon-balon itu. Dengan dua jari telunjuk dan jari tengah, aku pergi untuk memindahkan kursi agar ruang tengah itu terasa lebih lapang. Untuk anak-anak tidak banyak sebenarnya. Tapi setiap anak pasti membawa orangtua, kecuali anak-anak panti yang turut diundang ibu.

"Bella, letak disini aja ya. Udah lumayan luas kan?" Bang Rafka mengangguk setelah menoleh.

Aku kembali ke ruang makan untuk melanjutkan pekerjaanku, membersihkan piring untuk sajian. Ibu dan bi Rasti sibuk didapur. Mbak Putri sibuk menghias kue tart dan beberapa cake cokelaat. Lalu apa yang dilakukan kepanakanku itu. Tentu saja sibuk dengan baju pestanya. Menempelkan pada tubuhnya, berdiri didepn kaca, melompat, tertawa, terus berulang sejak tigapuliuh menit terakhir. Setelah berhari-hari merengek pada ibunya meminta baju pesta, meski masih banyak baju pestanya yang lain, tetap saja mbak Putri menurutinya. Apakah seorang ibu harus seperti itu. Aku tidak tahu. Dan tidak mau tahu. Tapi aku menyukai ekspresi bahagia Amel.

Acara pesta dimulai dengan mengaji bersama anak-anak yang dipimpin oleh ibu panti—Bu Asih—sebelum dilanjut dengan acara lainnya; menyanyikan lagu, tiup lili, dan potong kue. Pesta berjalan dengan lancar hingga akhir acara. Ruang tengah yang sebelumnya ramai kini sudah sepi kembali. Selesai membersihkan ruang tengah, semua kembali berkumpul di ruang tamu. Suara teve menampilkan berita dan Amel yang berisik dengan kado ulangtahunnya. Semua dipaksa ikut membuka kado, termasuk bi Rasti yang terlihat sangat letih meski ibu sudah memintanya kembali ke kamar.

"Tidak apa, bu. Saya ikut temani nona kecil sebentar."

Berakhirlah semua anggota keluarga di ruang tengah. Bang Rafka dan mbak Putri dilantai bawah dengan kotak-kotak kado ikut membuka. Ibu dengan kacamatanya memandang teve disofa bersama bi Rasti. Aku adalah anggota keluarga yang tiba-tiba mendapat tugas membaca semua kartu ucapan. Semua ucapan berisi doa-doa kebaikan. Ada satu kartu ucapan yang membuatku berhenti. Inisial nama pengirim yang terletak dipojok kanan surat seperti tidak asing bagiku.

—fps—

"Ini siapa yang bawa, bang?"

"Tadi kurir yang nganter, dari teman abang."

"Oh"

"Teman abang yang mana?"

"Ada apa, dek?"

Aku menggeleng. Dahiku berkerut, otakku berdesing cepat, mengingat apakah inisial nama itu adalah orang yang sama. Aku tidak tahu siapa teman abang dengan inisial itu. Sepaket mainan jigsaw puzzle itu langsung menjadi kado favorit Amel. Beberapa kado lain juga akan ditempatkan dilemari kamarnya, termasuk bingkai berisi tulisan tangan anak-anak panti.

"Besok mau main kesini katanya."

"Siapa?"

"Teman abang."

"Ngapain?"

"Tante Siwi mau kesini sekalian main katanya." Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Dahiku berkerut kembali.

"Tante Siwi itu temen ibu, dek. Besok mau main kesini karena hari ini tidak bisa datang." Ibu menjawab dari sofa, masih dengan menatap teve didepannya. Aku hanya mengangguk saja. Cuma pesta anak-anak, kenapa harus memaksa datang. Kepalaku berpikir tentang berbagai kemungkinan. Aku menoleh pada mbak Putri dengan mengendikkan dagu, mencari informasi, tapi mbak Putri menggelengkan kepala. Juga tidak tahu.

Jam diatas teve menunjukkan pukul lima sore ketika aku membaca kartu ucapan terakhir untuk Amel. Aku bangkit dari dudukku, berjalan kearah pintu dapur menuju rumah pohon.

Duduk dengan menggantungkan kaki. Kedua mataku sempurna menatap sisi barat dari langit. Siap menyambut pembuka malam hari ini. Empat puluh menit berlalu. Barisan burung kutilang hinggap pada kabel listrik di depan rumah, takzim menyaksikan pertunjukkan alam ketika bola langit beranjak pulang. Satu dua burung riang berkicau, mengundang kawanan lain untuk berkicau.

Persis ketika bola langit itu sempurna tenggelam, kawanan burung terbang seperti dikejutkan. Berhamburan tak tentu arah, kembali pada rumahnya masing-masing. Beberapa terbang rendah, meliuk lalu kembali ke atas, hilang dibalik dedaunan. Pertunjukkan telah selesai.

"Dek, udah maghrib, kesambet baru tau rasa kamu. Turun!" bang Rafka muncul dari pintu dapur. Aku mengangguk. Beranjak turun. Angin sore berhembus pelan. Apapun yang ada dikepalaku aku berharap semua akan baik-baik saja.