Aku membuka mata cepat lalu melempar pandang ke sekililing, seolah aku tidak berada dikamarku sendiri. Tirai masih tertutup rapat, namun cahaya matahari sudah mengintip, menciptakan bayangan aneh pada lantai. Aku menggeliat sebentar menyesuaikan tulang sebelum menyibak selimut tipis lalu melenguh. Leher belakangku terasa sakit, pungguh belakang sedikit kaku, dan mulut terasa pahit. Meskipun tidur di sofa lembut tetap saja tidak membuat tidurku nyenyak.
Aku tidak segera beralih dari sofa. Pandanganku masih berkeliling pada ruangan ini. Kuas, palet, dan botol cat berserakan. Pikiranku berkutat pada kegiatan yang kulakukan sehingga berakhir tidur di ruang lukisku. Aku menarik perhatianku dari meja ke dinding. Inisial huruf pada kartu ucapan berhasil membuatku tidak bisa memejamkan mata hingga jam dinding menunjukkan jarumnya diangka sebelas, tengah malam. Berakhirlah aku diruang lukis ini, membuka aplikasi browser yang menampilkan salah satu komunitas mural di Bandung ketika karyanya berhasil memukau masyarakat.
Berpikir untuk membuat otak dan fisik lelah, tanganku sibuk membuka beberapa botol cat untuk membuat dinding polos putih menjadi penuh dengan cat. Karena belum pernah membuat mural, akupun beberapa kali melihat beberapa hasil mural, sebelum akhirnya memutuskan untuk memilih daun monstera sebagai modelnya. Membayangkan daun itu dalam kepala, menggabungkannya menjadi satu kesatuan. Tidak sia-sia. Rasa lelah setelah tiga jam berkutat dengan dinding, tubuhku jatuh disofa dengan selimut tipis menutup tubuh penuh cat. Gelap. Malam menjelang pagi membawaku lelap, dan terbangun dengan suasana ruang lukis yang berantakan.
"Kamu gak tidur di kamarmu, dek?"
"Eh! Bang. Selamat pagi."
"Hmm"
"Kenapa tidur disini? Itu juga, kenapa baju penuh cat gak diganti dulu?" Telunjuk bang Rafka menunjuk kaos oblong yang semalam kupakai. Aku memberikan cengiran.
"Males ganti, bang. Capek semalem."
"Ngapain?" Daguku mengarah kebelakang punggungnya sebelum berlari ke kamar mandi yang masih diruang lukis. Malas menjawab, rasa pahit dimulutku semakin menjadi. Kulitku juga rasanya semakin lengket. Melihat kaca di wastafel, benar saja, beberapa cat mewarnai baju dan beberapa bagian wajah.
"Cepat bersih-bersih, bantu bi Rasti sama mbak Putri masak. Ibu lagi sakit."
Mendengar teriakan bang Rafka, segera aku menyelesaikan kegiatan bersih-bersihku. Ibu sakit. Ini pasti karena ibu lelah setelah dua hari berkutat di dapur menyiapkan pesta. Meski kuas menjadi sahabat ibu, tapi perlatan dapur adalah benda kesayangannya.
Selesai dengan baju, aku berlari menuruni tangga. Amel sedang belajar renang dengan ayahnya. Aku melihatnya sebentar, tujuanku selanjutnya adalah kamar ibu. Membuka pintu perlahan, takut mengganggu jika ibu sedang istirahat.
"Ibu gak tidur?"
"Ibu baik-baik saja. Abangmu itu terlalu berlebihan. Kepala ibu cuma pusing."
"Udah minum sarapan sama minum obat?"
Ibu mengangguk. "Dibeliin bubur di depan tadi sama mbakmu."
"Yaudah, Bella, bantu-bantu bibi sama mbak di dapur ya. Ibu istirahat saja di kamar, nanti panggil, Bella, kalau ibu butuh sesuatu."
"Sudah sana. Oh ya, sisa biskuit kalau masih ada taruh ditoples ya, Bell."
"Oke." Sebelum keluar dari kamar ibu, aku mencium keningnya. Ibu berbohong tentang kondisinya. Aku hampir saja menangis saat bibirku terasa panas mencium kening beliau. Ibu jarang sakit. Ketika tubuhnya melemah, sesuatu pasti juga sedang berputar hebat dikepalanya. Sesuatu yang ibu simpan sendiri, dan aku akan mengetahuinya setelah bang Rafka memaksa ibu bercerita. Cepat-cepat ibu memintaku keluar dari kamarnya. Mbak Putri butuh bantuan, alasan ibu agar aku tidak terlalu khawatir dengan beliau.
Katanya cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Sedangkan anak laki-laki adalah ibunya. Aku tidak tahu apakah teori itu benar, tapi ibu memang lebih sering bercerita dengan bang Rafka. Begitupun denganku, aku lebih memilih bercerita dengan ayah semasa beliau masih ada. Tapi bukan kami tidak akrab dengan keduanya, hanya saja kami memiliki kecenderungan masing-masing pada siapa harus bercerita.
"Ada yang bisa, Bella, bantu gak?"
"Bell? Udah hampir selesai kok." Aku mengangguk. Meja makan memang sudah terlihat beberapa menu makanan untuk sarapan. Beberapa jenis buah juga sudah bi Rasti siapkan.
"Oh iya, mbak. Sisa biskuit masih ada kan, ditaruh mana ya sama ibu?"
"Ada kok, ambil di lemari atas kulkas."
Aku segera berlalu menuju lemari yang ditunjuk mbak Sekar. Menyiapkan beberapa toples kaca untuk diisi bisukuit.
Waktu menunjukkan pukul 09.20 ketika kami—kecuali ibu dan bi Rasti—duduk berkumpul diruang keluarga dengan Amel yang sibuk menyusun puzle dari kado ulangtahunnya. Sebelumnya tidak ada sofa di ruangan ini, hanya ada karpet lantai berbulu dan empat bantal yang menjadi pasangannya. Ruang keluarga ini khusus digunakan untuk bercengkrama, tanpa teve, ponsel dan alat teknologi laninya. Tiga bulan yang lalu, abang membeli satu set sofa berwarna abu gelap, agar kejadian saat ibu masuk angin tidak terjadi lagi. Semenjak musim hujan tiba, lantai rumah menjadi lebih sering lembab.
"Onty, temenin, Amel, sini bikin puzzle." Aku mengangguk. Menghampiri Amel yang sedang tengkurap dibawah. Membiarkan sepasang suami istri itu berbincang tentang teman ibu yang akan berkunjung.
"Yang ini dulu sayang, baru itu yang dipasang."
"Nah cocokkan? Lanjut lagi, cari pasangannya."
"Bantuin."
"Iya dibantu. Tapi kamu cari dulu, nanti dibenerin kalau salah lagi."
"Mau kemana, bang?"
"Buka pintu. Sepertinya itu teman ibu."
"Biar aku saja."
"Assalamu'alaikum." Seseorang mengucap salam dari balik pintu. Disusul ketukan pintu setelahnya. Apakah teman ibu datang dengan suaminya? Kenapa ada suara laki-laki.
"Wa"alaikumsalam."
Aku tidak tahu ada berapa banyak udara dalam ruangan ini. Aku juga tidak tahu ada berapa yang membutuhkan udara dan berbagi denganku saat ini. Dadaku sesak tanpa ada perhitungan yang tepat, udara yang kuhirup terasa berat, seolah menolak memasuki tempat yang begitu ingin menampungnya. Mereka terasa panas, tidak menyisakan kelegaan seperti biasa saat aku membutuhkannya. Seberapa dalam pisau memotong tulang kakiku. Kenapa aku tidak merasakan kekuatan untuk menopang tubuhku sendiri.
Tuhan. Sudahkah kuminta padamu? Tentang alarm waktu yang akan menemuiku, tentang kejutan yang akan Kau tunjukkan padaku. Kenapa aku tidak mendengar alarm itu. Mengapa tidak Kau perdengarkan padaku. Mengapa tidak Kau perlihatkan padaku. Apakah aku terlena? Apakah aku sengaja menutup telingaku. Kenapa kedua mataku juga memejam sebelum melihat pertanda dariMu? Atau aku sengaja menutup mataku?
Haruskah kukatakan sekarang. Waktunya telah tiba. Lihatlah, waktu datang dengan sangat baik. Sungguh baik, hingga aku tidak mampu memahami perasaan apa yang harus kutunjukkan. Pori-pori seolah melebar, membuat keringat merangsek keluar dengan begitu hebat. Menciptakan rasa takut dengan tiba-tiba. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kepalaku. Sesuatu membuatnya berdesing hebat namun tidak bisa menghasilkan alasan apapun yang bisa kukatakan.
"Kenapa hanya melamun, dek? Aduh, tamu kok disuruh berdiri didepan pintu."
"Silakan masuk, tante. Ah, Pande, lama tidak berjumpa bukan? Ayo masuk. Bella akan memberitahu ibu."
Padanganku belum beralih, meski rupa yang kupandang telah hilang. Tubuhku bergeser tanpa kusadari. Menciptakan ruang dan mengizinkan masuk dua tubuh melewati garis pintu. Udara itu telah kembali. Mengisi paru-paru yang beberapa saat lalu kehilangan isinya. Aku masih tidak mengerti situasi apa yang sedang terjadi, sebelum seseorang menyentuh pelan pundakku.
"Kekamar ibu gih. Bilang tante Siwi udah datang, kalau keadaan ibu masih lemah biar abang minta tante Siwi jenguk ke kamar ibu. Abang mau ngobrol sebentar sama mereka."
"Bell, kamu dengerin abang gak sih?"
"Ah, ya?"
"Kekamar ibu, sekarang." Bang Rafka menoleh kearah ruang tamu. Segera aku berlalu. Aku belum siap. Belum sekarang. Kuharap ibu masih tidur, aku akan beralasan menjaga ibu agar tidak bertemu dengan tamu bang Rafka. Tapi Tuhan tidak mengizinkannya. Ibu berjalan menuju ruang tamu. Berlawanan arah dengan tubuhku. Tangan ibu menggamit lenganku, membawaku kembali pada tiga orang yang sedang berbincang diruang tamu. Hingga tubuhku berakhir diatas sofa setelah ibu meminta tanganku menyambut uluran tangan dari tamu itu.
Lima belas menit berlalu tanpa kutangkap apapun yang sedang terjadi diruang ini, kecuali tubuhku sendiri. Tidak ada tubuh yang bergetar, pertemuan ini mungkin akan berjalan baik-baik saja meski perasaan gugup masih tersisa. Mungkinkah aku sudah mempersiapkan diri tanpa kusadari kapan itu terjadi? Kuharap memang itulah yang terjadi. Aku hanya harus bersikap baik. Melakukan permintaan ibu seperti mengambil jamuan untuk kedua tamu.