Bab 15

"Pagi ini mau yang preanger atau cikuray?"

"Mau yang preanger aja deh. Sama brownisnya satu ya. Dimeja 8 sana."

"Siap. Ditunggu ya."

Sensasi nongkrong perpaduan tempo dulu dan modern terasa pada kafe ini, menjadi daya tarik bagi pengunjung. Aku memilih braga art cafe untuk pertemuan kami. Kukira tidak ada kedua untuk pertemuan setelah dirumah ibu, tapi aku lupa bahwa angka satu selalu diikuti angka dua, tiga dan seterusnya. Keputusan yang membutuhkan waktu satu malam untuk meyakinkan hati, apakah yang kulakukan saat ini benar? Aku akan mengetahuinya setelah hari ini berakhir.

Aroma arabika java preanger menguar tajam dari cangkir diatas meja, terabaikan. Merenungkan makna dari pertemuan yang akan terjadi. Kakiku bergerak gelisah dibawah meja, berkali-kali aku menatap pintu masuk dan jam yang ada dipergelangan tangan kiri. Kepercayaan diriku menurun tiba-tiba. Musik latar yang berputar tidak membantu sama sekali. Pilihan lagu yang salah untuk suasana hatiku saat ini.

"Sorry. Sedikit macet tadi." Permintaan maaf disertai suara kursi yang ditarik mundur berhasil mengejutkanku.

"Ah, ya."

Kini aroma kopi dan woody tercium disekitar meja kami. Aromanya tidak pernah berubah dari terakhir kali kami bertemu. Itu beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, aku tidak tahu sejak kapan penampilannya lebih rapi seperti ini. Sweater polos abu-abu dan black pantsnya terasa cocok dengan rambut yang hampir menyentuh bahunya. Kemanapun pergi, tas ransel selalu menemaninya. Ah, kenapa aku harus sedetail itu memandangi dirinya. Menggelengkan kepala, mengusir hal-hal yang mengingatkanku pada masa lalu. Tapi, didalam tas itu aku yakin, pasti ada perlengkapan fotografinya. Ah, tidak! Hentikan itu saat ini juga, Bell.

"Pande."

"Kau memanggilku siapa?"

"Bukankah itu namamu?"

"Kau tidak pernah memanggilku begitu... dulu."

"Lalu apa masalahnya?" Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Sekarang apa?"

Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Lipatan kain berwarna biru langit, seperti aku pernah melihatnya.

"Sapu tanganmu."

"Kamu menjatuhkannya saat di kafe. Kenapa kamu lari saat itu?"

Segera aku mengambil sapu tangan itu, tapi tangannya menyimpan kembali dibalik tubuhnya.

"Kau belum menjawabnya, Bella."

"Tak apa. Aku masih punya beberapa dikamarku. Ambil saja."

"Apakah aku begitu buruk dimatamu? Hingga tubuhmu bergetar berhadapan denganku."

"Ti... tidak."

"Aku harus percaya bukan dengan ucapanmu."

"Ini, kukembalikan sapu tanganmu."

Masing-masing dari kami terdiam. Dua cangkir kopi dan teh diatas meja masih utuh, panas telah meninggalkan keduanya. Keberanianku benar-benar menghilang. Sepatu dibawah meja menjadi hal menarik untukku saat ini. Udara disekitar meja kami terasa lebih panas, menciptakan keringat yang mulai terasa basah dikening. Aku tidak tahu, sejak kapan sepuluh jariku saling meremas. Meski tidak menatapnya, aku tahu kedua mata didepanku sedang memperhatikan tingkahku.

"Apa kabar, Bell? Aku tidak tahu bagaimana cara kamu menghilang. Seolah semua bagian bumi yang menjadi rahasia menjadi kawanmu untuk bersembunyi. Tidak ada jalan yang bisa menuntunku menemuimu. Tapi hari itu, aku bersyukur melihatmu duduk sendiri, sebelum akhirnya kamu berlari. Aku yakin, Tuhan telah mengatur semua rencana ini. Jadi... "

"Sudah selesai?"

"Bell!"

"Aku pergi dulu."

Segera aku mendorong kursi kebelakang, membawa kakiku ke luar melewati pintu kafe, lalu berlari memasuki mobil. Jika aku tidak melakukannya segera, aku tidak tahu sampai kapan aku akan bertahan.

Karena tidak ingin ibu mengetahui kaadaanku saat ini, aku memutuskan untuk mengendarai mobil mengelilingi Bandung. Waktu menunjukkan pukul 13.20 setelah mobil yang kukendarai berputar tak tentu arah. Sesampainya di panti, beberapa anak-anak terlihat bermain, mungkin yang lainnya sedang tidur siang.

"Bella. Tumben main ke panti siang-siang."

"Eh, ibu panti. Iya ini, tadi ada janji ketemu temen, karena belum pengen pulang, Bella, main kesini deh. Sekalian, Bella mau permisi salat ya?"

"Silakan." Aku berlalu menuju sayap kanan rumah panti, tempat musholla kecil berada. Rumah panti ini terdiri dari beberapa bagian. Bangunan utama berisi beberapa ruang kamar yang dapat ditempati oleh anak-anak. Satu bangunan kecil dengan sepasang kursi dan meja berada di bagian depan adalah ruang yang biasa digunakan oleh ibu panti untuk menerima tamu. Satu bangunana berukuran sedang dibelakang bangunan utama adalah tempat yang digunakan untuk menyimpan barang-barang kebersihan dna juga ruang dapur.

Bagian terbaik dari kesatuan rumah panti ini adalah tamannya. Ketika berdiri didapur, maka melihat kedepan, mata akan disuguhkan dengan berbagai macam jenis bunga dengan kelopak baraneka warna. Meski di halaman depan juga terdapat taman, tapi taman belakang adalah khusus dimana anak-anak belajar menanam dan merawat bunga.

Mataku masih mengelilingi aneka bunga yang ada pada taman ini ketika pandanganku terhenti oleh laki-laki yang sedang berdiri didepan. Sepuluh langkah dari tempatku berdiri. Laki-laki dengan jaket denim berwarna navy itu akhirnya menoleh kearahku. Aku segera berdiri kikuk merasa malu ketika tertangkap memandanginya. Laki-laki itu tersenyum, aku memberanikan diri untuk menghampirinya. Tujuan utamaku memang taman belakang panti bukan?

"Hallo." Sapanya ketika aku berdiri disampingnya.

"Hh.. hai."

Setelah mengamati beberapa kali dan berbincang sebentar. Aku tahu dia adalah barista disalah satu kafe ketika aku menemui Rose. Abra.

"Sering kesini ya?" Abra bertanya tanpa menoleh.

"Enggak juga sih, hanya jika bosen di rumah." Tentu aku tidak akan bercerita tentang alasan sebenarnya bukan?

"Kamu sendiri?"

"Kebetulan ibu panti disini tanteku, Tante Asih."

"Jadi, Bu Asih, itu tante kamu."

"Hmm mmm."

Halaman belakang panti didepan kami tidak hanya digunakan sebagai taman saja. Dibatasai pagar setinggi pinggang, terdapat lapangan hijau yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain bola. Kami berbincang tentang hal-haal ringan, tentang beberapa kisah anak-anak panti yang diketahui, Abra. Yatim piatu, ada yang memang dititipkan karena orangtuanya tidak ada biaya, hingga bayi yang tidak diinginkan, ditaruh saja didepan pintu. Tanpa identitas dan tanpa surat.

Getaran ponsel terasa di saku celanaku. Bersamaan juga dengan, Abra, yang mengambil ponsel disaku jaketnya.

"Bu Asih nyuruh aku masuk."

"Sama. Yaudah, ayo masuk. Udah mau maghrib juga."

Suasana ruang tengah itu telah dipenuhi oleh anak-anak. Suara anak-anak mengaji terdengar memenuhi ruangan dengan, Bu Asih, yang dibantu pengasuh lain menjadi guru mengaji.

Tidak lama, suara adzan terdengar dari musholla panti. Segera anak-anak berlari bersiap menuju musholla dengan teriakan, Bu Asih, yang meminta mereka hati-hati. Entah kenapa, suasana seperti ini terasa begitu menyenangkan. Wajah semangat dan ceria anak-anak adalah rasa bahagia yang tidak pernah pura-pura. Mereka tidak harus menyembunyikan luka dengan senyum tipuan. Mereka selalu bisa menjadi diri sendiri, mereka bisa menangis ketika merasa sedih.

Karena menjadi dewasa kita harus menjadi pribadi yang kuat. Sempurna tanpa celah. Air mata hanya akan membuat seseorang terlihat lemah. Secara tidak langsung, kita mendoktrin diri sendiri tentang dewasa adalah tanpa air mata. Seolah hidup kita ada dalam genggaman orang lain. Beberapa harus kalah dalam tubuh dan pikirannya sendiri.

Ibuku pernah berkata, "Kamu tidak bisa membuat orang lain selalu tertawa karenamu. Kamu bukan seseorang yang bisa diandalkan semua orang. Kamu bisa lelah, kamu bisa menangis, dan kamu bisa kecewa. Bahagiakan diri sendiri untuk kemudian meneruskannya pada orang lain."

"Abra, sudah kenal dengan, Bella?"

"Pernah ketemu dulu, Tan. Tadi juga udah ngobrol dibelakang. Asik juga ngobrol sama, Bella, tan."

Duk!

"Aduhh!"

"Bella, ndak papa, nak?"

"Tidak apa, Bu Asih."

Kenapa harus kesandung sih, Bell? Masa Cuma gitu aja kamu senang. Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Perasaan malu itu semakin besar ketika, Abra, meletakkan punggung tangan kirinya pada bibirnya. Apalagi kalau bukan karena menahan tawanya. Sial!

Hari itu berlalu dengan baik. Matahari sempurna tenggelam dikaki langit. Kami berkumpul di rung tengah dengan berbagai macam makanan setelah menyelesaikan salat dan mengaji bersama.