Hari ini langit masih saja kelabu. Cakrawala yang menggantung masih berwarna gelap. Mentari seakan tak ingin menyapa pada semua yang bernyawa. Ada banyak misteri yanng tersimpan disana, yang tak kan pernah bisa ku pahami. Tak perlu mencabik-cabik apa yang ada didalamnya. Suatu saat hujan akan membawanya turun dan aku akan tahu saat itulah waktu yang tepat.
Notifikasi cuaca mengatakan hari ini akan terjadi hujan. Bukan hal yang mengejutkan, karena hujan masih akan jatuh meski musim kemarau datang. Bumi masih harus bertahan dengan lembab dan dingin hingga matahari benar-benar mengeringkan tubuhnya.
Masih enggan beranjak dari tempat tidur. Aku melanjutkan kegiatan dengan mengulik beberpa artikel yang muncul pagi ini. Salah satunya adalah pameran Art Jakarta yang akan dilakukan sekaligus acara sumbang amal untuk korban gempa dibagian timur. Mungkin aku bisa menghadiri acara itu. Tapi dengan siapa ya? Harus dapat izin dari ibu dan bang Rafka dulu pastinya. Segera aku meninggalkan selimut tebalku. Terlihat ibu menaiki tangga.
"Ibu pikir kamu sakit karena belum kebawah."
"Udah dari tadi kok. Tapi emang belum pengen turun aja."
"Oh ya, bu. Ada acara pameran di Jakarta, Bella, pengen kesana boleh ya?"
Kami melanjutkan obrolan dengan menuruni tangga menuju meja makan.
"Pameran apa?"
"Pameran lukisan gitu, bu. Menariknya dari pameran itu mengundang beberapa pelukis terkenal di Indonesia. Bella?"
"Sama siapa?"
"Belum tahu sih, mungkin sama Laras atau kalau enggak sama Rose."
"Roselin, anakanya tante Siwi maksud kamu?"
"Tante Siwi?"
"He em... yang kemarin datang kesini."
Oh Tuhan. Apalagi ini?
Ibu, jangan katakan kalau Rose adalah kakak perempuan, Pande. Aku berharap Rose yang kami bicarakan bukan wanita yang sama. Tapi jawaban ibu menggagalkan harapanku. Kebetulan apalagi yang sedang terjadi pada hidupku. Mengapa semua harus berkumpul dalam waktu bersamaan.
Aku lupa. Kebetulan dalam hidup bukan sebuah kebetulan yang terjadi. Tuhan memang sudah menyiapkannya. Entah apa yang akan terjadi dalam sebuah kebetulan itu. Menebak-nebak hanya akan membuat lelah. Tapi kebetulan yang diketahui selalu berhasil membuat rasa penasaran muncul dalam diri. Sebuah pemikiran yang kemungkinan membuat pengandaian menjadi perasaan takut atau senang. Sedangkan yang terjadi padaku adalah pada kemungkinan pertama, ketakutan. Hingga akhirnya aku yakin, kebetulan, rasa penasaran dan ketakutanku bermuara pada satu kesimpulan, lelah.
Tapi aku tahu, apa yang Tuhan buat kebetulan adalah rencana untuk hidupku. Pertemuan dengan Rose adalah peristiwa kebetulan, ketika aku menghadiri acara amal dan dia datang untuk menggantikan adiknya, dan itu adalah, Pande. Apakah itu adalah kebetulan awal untuk kebetulan-kebetulan lainnya? Lalu pertemuan singkat di kafe, yang sebelumnya tidak kuyakini. Sekarang teman ibu, tante Siwi, adalah ibu dari kedua orang yang kukenal. Apakah pertemuan keduaku kemarin adalah hasil dari kebetulan-kebetulan sebelumnya? Ya Tuhan. Aku percaya, rencanaMu adalah rencana unik, hingga aku tidak tahu harus sedih atau senang.
"Oh ya, Pande, kan juga suka sama lukisan. Sekalian bisa jagain kamu, kalau memang kamu benar-benar ingin pergi."
Aku terdiam. Kenapa secepat itu ibu bisa menyarankan dengan siapa aku harus pergi. Bahkan kepalaku tidak terpikirkan sama sekali dengan rencana itu.
"Pati sibuk, kata ibu kan dia orang penting."
"Iya juga sih."
"Sudahlah, yang penting izin dulu sama abangmu. Kalau abangmu mengizinkan, ibu izinkan kamu berangkat."
"Siap kanjeng ratu."
Ibu tertawa setelah aku memanggil jabatannya dalam rumah ini. Sebuah keajaiban yang kutemui untuk hal yang tidak pernah kuduga. Panggilan kanjeng ratu itu biasanya kami—aku, bang Rafka dan ayah—ucapkan ketika ibu sudah mengeluarkan banyak kalimat. Sebenarnya ibu bukan orang tua yang cerewet, hanya saja akan ada banyak yang keluar dari bibir beliau ketika harus menasihati kami, terutama bang Rafka. Sebuah panggilan yang bermula dari ayah. Hingga panggilan itu tidak lagi terucap setelah kepergian ayah. Dan akhirnya panggilan itu membuat ibu tertawa pagi ini. Tawa ibu masih terdengar lirih hingga obrolan kami akhirnya terhenti karena sarapan.
Setelah menyelesaikan sarapan, ibu memintaku untuk menemaninya menikmati teh diteras samping. Tidak ada pembicaraan serius diantara kami. Ibu hanya ingin ditemani sebentar sebelum akhirnya aku pergi.
Meninggalkan rumah, laju mobilku melambat seiring tempat yang kutuju sudah terlihat. Sebelum akhirnya berhenti ditepi jalan menunggu beberapa mobil yang akan meninggalkan parkiran kafe. Diluar kaca mobil, terlihat sedikit mendung menghiasi cakrawala.
Landon Pigg menyambut kedatanganku saat memasuki pintu kaca bertuliskan open. Aku menghidu aroma kopi dan roti yang memenuhi hidungku saat itu juga. Sambutan pelayan tertangkap pendengaranku. Seorang laki-laki yang kemarin tidak sengaja kutemui di panti. Abra. Sebenarnya apa perkejaan laki-laki itu?
"Hai. Kamu disini?"
"Begitulah." Jawabnya sambil lalu.
"Espresso?"
Seketika aku memiringkan kepala. Memperhatikan maksud ucapannya. Bagaimana bisa dia tahu aku sedang membutuhkan kopi itu?
"I ordered that. Thank you, aku tunggu disana ya."
Aku menghela napas sekali, dua kali, kemudian menyalakan ponsel. Masih tidak menemukan bagaimana mendapatkan izin dari bang Rafka ketika aku tidak tahu harus dengan siapa pergi ke pameran lusa depan. Aku harus bisa menemukan seseorang yang bisa menjadi temanku ke Jakarta. Laras tidak bisa menemaniku karena ada urusan yang tidak kuketahui lewat pesan yang baru saja masuk diponselku. Dani tidak tertarik untuk ke Jakarta.
"Espresso."
"Terima kasih."
Secangkir espresso ada dihadapanku. Mahkota kopi yang terlihat jelas dipermukaan kopi mengeluarkan aroma kopi hitam. Sebuah proses pelepasan lemak pada biji kopi yang menimbulkan rasa manis pada espresso. Tatapanku berpusat pada gelembung-gelembung yang ada dipermukaan kopi seiring kepalaku yang berpikir keras siapa yang mau menemaniku. Athena terlalu sibuk di kafenya. Tapi aku benar-benr ingin pergi ke pameran itu.
"Sesuatu mengganggu pikiranmu?"
Pertanyaan itu mengejutkan. Sejak kapan Abra ada didepanku. Bukankah ia tadi kembali ke bar?
"Dari tadi duduk disini?" Abra menolehkan kepalanya ke segala arah seperti mencari seseorang.
"Aku tanya sama kamu."
"Oh. Kamu yang dari tadi melamun, makanya aku duduk disini aja baru sadar. Kenapa sih, Bell. Eh maaf nih kalau aku nggak sopan tanya-tanya masalah kamu."
"Bingung lagi nyari temen buat lihat pameran. Tapi gak tahu nyari kemana."
"Pameran apa?"
"Lukisan. Sebenarnya sih acara amal gitu, tapi menghadirkan beberapa seniman dengan hasil karyanya. Jadi pamerannya buat sampul acara amal gitu, siapa tahu juga ada yang nyantol terus pengen dibeli."
"Kapan emang? Aku bisa ikut kalau kamu mau."
Aku terdiam mendengar jawabannya. Semudah itu dia menawarkan diri untuk menjadi temanku ke pameran? Woah. Ini adalah kebetulan yang menguntungkan. Tapi juga hal yang membingungkan. Aku mengenalnya belum lama. Apa ibu dan abang akan percaya padaku jika aku pergi dengan Abra?
"Kamu yakin?"
"Bukan kamu yang seharusnya bertanya, Bell."
"Maksudnya?"
"Kalau aku jadi temanmu ke pameran, kamu yakin nggak pergi sama aku?" Aku tersenyum canggung. Lagi-lagi, Abra, tahu apa yang kupikirkan.
"Iya juga sih. Aku harus dapat izin dulu dari abangku." Abra tidak menanggapiku.
"Eh tapi kamu yakin mau nemenin aku ke pameran. Ini acaranya di Jakarta lho. Kamu nggak ada kerja gitu? Lusa depan acaranya."
"Aku tidak akan menawarkan diri kalau aku tahu aku sibuk."
Kunjunganku ke kafe pagi itu menyelesaikan permasalahan. Setelah mengobrol ringan, aku tahu kalau Abra adalah pemilik kafe disana. Keberadaannya hari itu sebagai kunjungan rutinnya setiap seminggu sekali. Kami bertukar nomor telepon sebelum aku memutuskan untuk pulang. Karena ia juga harus kembali ke pabriknya.
Hal yang menggembirakan terjadi. Abra adalah salah satu kenalan bang Rafka karena menjadi pemasok biji kopi di kafe mini yang ada dikantornya. Izin dari ibu dan bang Rafka tidak mudah didapat. Aku sedikit membujuknya agar Abra bisa menemaniku mengunjungi acara pameran itu. Sesuatu terselip dalam pikiranku. Apakah bumi sesempit itu? Semuanya menjadi berhubungan pada apa yang terjadi dalam hidupku. Tapi langit diluar malah semakin gelap. Semoga bumi masih sanggup menampung air Tuhan yang turun.