Bab 17

Stasiun Bandung pagi ini terlihat ramai. Udara dingin menjadi teman ketika menunggu jadwal kereta tiba. Setelah adegan drama merayu bang Rafka, begitu juga dengan ibu, akhirnya aku mendapat izin dengan berbagai wejangan berantai. Perjalanan kali ini sungguh terasa berbeda. Bukan karena pertama kali aku ke Jakarta. Tapi dengan siapa aku pergi adalah hal baru untukku. Laki-laki yang sedang memesan kopi itu akhirnya menemaniku, Abra dan janjinya pada abang dan ibu.

Jam dipergelangan tangan menunjuk angka 05.30. tersisia tiga puluh menit lagi hingga kereta kami berangkat. Berbekal roti dengan sekaleng selai sebagai sarapan kami di kereta. Kami berangkat lebih awal dari rumah setelah, Abra, menjemputku pukul lima pagi. Ada satu hal yang kusadari diantara kami, perasaan diburu waktu adalah hal yang harus dihindari.

Mungkin bagi sebagian orang, menunggu adalah perkara yang menyebalkan. Jika ada dua pilihan menunggu dan ditunggu, maka aku adalah golongan orang yang lebih memilih menunggu. Selalu ada rasa bersalah jika aku tahu seseorang sedang menungguku. Aku tidak menyukai perasaan yang seperti itu. Maka ketika ada janji dengan teman, aku akan bersiap diri jauh dari waktu yang dijanjikan, berangkat lebih awal, dan menunggu dengan beberapa kegiatan kecil yang bisa dilakukan, seperti halnya mencari ide. Dan aku menemukan teman dari kebiasaanku itu. Abra. Laki-laki asing yang baru kutemui.

Laki-laki dengan tinggi tubuh mencapai 179 cm. Untuk ukuran orang asia, Abra, sudah menjadi golongan orang tertinggi. Berbanding dengan tubuhku yang hanya mencapai 163. Meski ibu mengatakan aku tidak pendek, tetap saja berdiri disamping, Abra, membuatku terlihat kerdil.

Ujung mataku menangkap seseoraang melangkah menujuku. Abra dan dua gelas kopi ditangan kanan kirinya. Padanganku tertuju padanya. Langkah kakinya terlihat kuat saat menapak tanah. Entah kenapa, aku seperti merasa ia selalu membawa aura mengayomi. Kaos hitam polos dengan jaket terbuka yang dipasangkan dengan celana abu kargonya terlihat pantas. Mataku semakin dibuat kagum dengan sepasang sepatu sneakers hitamnya. Aku baru mengamatinya sejak kami berangkat. Segera aku menggelengkan kepala. Aku terlalu jauh memperhatikannya.

"Kopi."

"Terimakasih."

"Kepala kamu pusing?"

"Kenapa?."

"Kamu geleng-geleng tadi." Aku tergagap. Kepalaku berdesing hebat, tapi tidak ada alasan yang bisa kuucapkan. Berpikir. Bella, ayo berpikir.

"Ah, itu tadi ada kucing hampir nabrak kaki orang." Tanganku dengan perintah secepat kilat menunjuk dibalik punggungnya.

"Oh."

Menghembuskan napas lega. Pikiranku ternyata menjebak diriku sendiri. Sekali lagi aku menghembuskan napas lega. Menerima segelas kopi yang masih hangat ketika tangannya mengulurkan satu untukku. Menghidu aroma khas kopi malabar yang dibawanya dari Loko Coffee Shop yang ada di utara pintu utara stasiun. Cukup menghangatkan saat uap panasnya memenuhi rongga hidung.

"Kamu selalu menghirup kopi seperti itu?"

"Seperti apa?"

"Pegang dengan kedua tangan, mengambil napas pelan, mata terperjam dan siap menghirup kopi dari gelasnya." Abra mengatakannya dengan menirukan gaya yang dilebih-lebihkan. Aku memukul lengan kirinya.

"Lebay deh. Gak segitunya juga kali. Biasa aja."

"Tapi memang nyatanya begitu kan." Aku berdecak ketika ia tertawa. Sekali lagi memperagakan caraku menghirup aroma kopi.

"Sekali lagi kamu niruin aku. Kupukul ya!" Lihatlah, ia seperti anak kecil. Semakin dilarang semakin dilakukaan. Menyebalkan.

Bugh!

"Aduh. Kok mukul sih, Bell." Tangan kanannya segera mengusap bahu kirinya.

"Ya kamu. Kenapa semakin menjadi niruinnya?"

"Hahahaha..."

"Tuh kan malah ketawa."

"Ya kamunya lucu. Aroma kopi aja dicium seperti itu. Segitu cintanya kamu sama kopi?"

"Enggak gitu juga. Udara disini dingin tau. Paper cup-nya kan masih panas, biar nyalur aja ketelapak tangan. Uapnya juga bisa membuat sedikit hangat. Apa salahnya coba?" Aku menyeruput kopi ditanganku ketika, Abra, memandangku selama aku berbicara.

Dari ujung mataku, ia meletakkan gelas kopi ditangan kirinya diantara tubuh kami. lalu tangan kirinya mengambil gelas kopiku, diletakkannya disampingku. Tangan kanannya meraih kedua telapak tanganku yang sedang menangkup diatas lutut. Menyelimutinya dengan telapak tangan besarnya. Mataku menatap lurus pada kedua bola mata cokelatnya. Sudut bibirnya ditarik tersenyum seiring kedua telapak tangannya mengusap tanganku. Menimbulkan rasa hangat yang perlahan menyebar, dimulai jari-jari meneruskan keseluruh telapak tangan dan merambat tiba-tiba perasaan hangat itu sudah tiba didadaku. Kupikir sesuatu menampar kedua pipiku, rasa panasnya semakin terasa ketika, Abra, semakin menarik senyum dikedua sudut bibirnya. Dan seperti virus mematikan, senyum itu menular pada kedua sudut bibirku.

Beberapa detik berlalu. Aku tersadar. Mataku menatap kedua tangan kami yang masih tertaut. Aku menarik kedua tanganku kebelakang. Tapi sepertinya aku terlalu semangat menariknya hingga hampir saja tubuhku terjatuh kebelakang.

"Bella!"

Tangan, Abra, kembali meraih lenganku. Mencegah tubuhku terjengkang. Ini memalukan sekali Bella. Kepalaku menggeleng keras hingga kuncir ekor kudaku menampar mata kananku.

"Aww."

"Pelan-pelan, Bell. Kenapa jadi salah tingkah begini sih? Hahaha..." Tawanya mengiringi gerakan tangan mengusap mataku. Rasa perih itu menimbulkan genangan air didalamnya. Satu kedipan berhasil menjatuhkan air mataku.

"Yah, kok jadi nangis. Malu banget ya?"

"Ish. Menyebalkan."

"Hahahaha..."

Segera aku berdiri seiring panggilan para penumpang untuk melakukan check in dan memasuki peron stasiun terdengar dari speaker pengumuman. Menggendong ransel coklatku, sedikit berlari menjauh dari jangkauan, Abra. Tapi bumi masih ingin bercanda denganku, lagi-lagi hal memalukan terjadi. Tali sepatu yang kupakai berhasil membuatku terduduk tepat dipintu masuk utama stasiun. Sial! Rasa sakit dilutut dan telapak tanganku tertutup dengan rasa malu yang terasa lebih menyakitkan.

"Bella! Kamu baik-baik saja?"

Aku menatap wajahnya berada tepat diatas kepalaku. Seolah mengerti apa yang kurasakan, kedua tangannya membantuku berdiri, sesaat kemudian ia memelukku, membawaku masuk melakukan check in, hingga akhirnya kami duduk dikursi tunggu yang ada diperon stasiun. Abra, meletakkan ranselnya dikursi lalu menekuk kedua lututnya duduk didepanku. Memeriksa celana kain bagian lututku yang terlihat robek. Menyentuhnya dengan lembut.

"Aww!"

Tangannya membuka bagian depan ransel yang dibawanya. Perlengkapan obat yang ia simpan dalam kotak sedang itu ia keluarkan. Apakah a selalu membawa perlengkapan obat seperti ini. Pertanyaan itu muncul setelah, Abra, membuka kotak obat dan mengeluarkan beberapa obat dan perlengkapan dasar seperti perban, betadine, kain kasa gulung dan steril, gunting, plester luka dan beberapa kapsul obat yang tidak kuketahui fungsinya.

Tangannya perlahan menyentuh kembali luka dilutut kananku, memberinya larutan poviden iodine dengan tisu pembersih bebas alkohol, meneteskan sedikit betadine lalu menutupnya dengan plester luka. Abra, melakukannya dengan terampil. Hal yang sama juga dilakukan pada telapan tanganku. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan luka-luka yang ada ditubuhku ketika kecelakan kecil seperti tersayat benda tajam melukai kulitku.

"Aku tidak biasa dengan perlatan obat-obatan yang kamu bawa."

"Tapi lebih baik jika seperti ini." Tangannya merapikan kembali perlatan kotak obat dan memasukkan kedalam ransel. Abra, kembali duduk disampingku. Menyodorkan botol minuman miliknya.

"Terima kasih. Tapi aku ada sendiri."

"Oke." Ia menarik tangannya dan meneguknya sendiri dengan pelan. Sesekali mengambil napas dan kembali mendekatkan botolnya pada bibir. Aku melakukan hal yang sama.

Petugas peron mengumumkan kedatangan kereta. Aku dan Abra, mempersiapkan barang dan segera bangkit setelah kereta tiba didepan kami. Tiket kami berada di gerbong empat. Saat memasuki gerbong, sebagian kursi telah terisi. Abra mempimpin jalan kami untuk mencari nomor kursi yang tertera ditiket. Aku memperhatikan tangannya yang menggenggam tanganku sembari sesekali menoleh kebelakang seolah memastikan kondisiku. Aku tersenyum.

"I'm fine."

Tiba dikursi kami, Abra, mempersilahkanku untuk duduk dikursi ujung, tepat disamping kaca jendela. Dengan sopan ia meminta ruang kepada penumpang yang sudah terlebih dahulu mengisi kursi yang tergabung dengan kami. Tanpa diminta ia mengambil ranselku begitu juga ranselnya dan meletakknya dibagasi kereta diatas kursi. Aku tidak tahu jika perjalanan ini akan terasa nyaman bersamanya. Laki-laki ini tahu bagaimana mengayomi wanita, dengan batas wajar mengingat kami belum terlalu dekat dalam artian lebih dari dua orang yang hanya saling mengenal.

"Tidur saja, Bell. Masih tiga jam perjalanan kita."

"Kamu sajalah."

"Lho kenapa?"

"Aku tidak bisa tidur selama perjalanan. Lebih sering melihat keluar jendela dan orang-orang yang ada disekitarku. Mungkin nanti aku akan tertidur, tapi itu tidak akan lama. Kamu tahu, aku hanya akan tertidur selama dua puluh menit. Itupun waktu paling lamaku."

"Kamu serius?"

"Yeah. Pemandangan selama perjalanan terasa sayang jika harus dilewatkan untuk tidur. Lakukan sebentar saja dan alihkan mata pada pohon, jalan, langit, gunung dan apapun yang dapat kamu temukan selama dalam perjalanan. Mungkin sesuatu yang kamu temukan dalam perjalanan itu bisa menjadi pelajaran dalam hidup. Tapi, this is my opinion. Jangan memaksanya sama." Abra hanya diam memperhatikanku. Untuk mengusir perasaan canggung aku memintanya untuk berisitirahat.

"Tidurlah, Ba"

"Sebentar. Dua kali aku mendengarmu memanggilku dengan sebutan 'Ba'. Kenapa?"

"Ah itu. Nama kamu kan, Abra. Mau kupanggil dua huruf pertama atau terkahir rasanya aneh. Jadilah begitu, yang paling nyaman menurutku. Kalau kamu tidak suka, kamu boleh minta aku harus memanggilmu seperti apa."

"Tidak tidak, itu terdengar nyaman ditelingaku. Terima kasih. Kalau begitu aku istirahat sebentar. Bangunkan aku jika kamu membutuhkan teman mengobrol."

"Hmm."

"Oke tidak?"

"Iya, Baa."

Dan perjalanan itu kulewati dengan menangkap berbagai pemandangan dari kaca jendela kereta. Dari tempatku duduk, dua gerbong kereta belakang beberapa kali terlihat ketika jalur kereta berjalan melewati rel menikung. Aku tidak tahu dimenit keberapa tertidur, tapi kupikir tidak lama. Abra masih dengaan posisi awalnya ketika aku terbangun, bersandar pada leher kursi dan teridur pulas, terdengar dari suara napas teraturnya. Kegiatanku kembali pada luar jendela, mengamati.