Bab 18

Welcome to Jakarta!

Perbedaan suhu Bandung—Jakarta begitu terasa saat keluar dari stasiun Gambir. Terik panas dari matahari terasa menyengat dikulit. Abra, disampingku berdiri melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah berdiam lama sepanjang tidur di kereta. Ya. Aku memilih tidak membangunkannya meski ia berpesan sebelumnya. Selama perjalanan, Abra, begitu menikmati istirahatnya, bukankah itu menjelaskan bahwa tubuhnya sedang lelah. Meski setelah menuruni kereta ia sedikit mengomel. Aku tersenyum.

"Sebentar saja sudah terasa panas sekali."

Abra mengibaskan kedua tangannya pada sekitar leher. Bulir kecil keringat terlihat memenuhi keningnya. Aku menutup mata sejenak. Menyesuaikan cahaya matahari yang masuk terasa lebih banyak, tidak nyaman. Angin berhembus, tapi tetap saja terasa panas karena membawa polusi. Langit seakan menantang dengan meyingkirkan gumpalan awan, membuatnya terlihat bersih, membiru membentang luas.

Jakarta. Masih dengan nama yang sama, padat yang sama, macet yang sama, debu dan polusi yang sama. Hanyaa satu yang berubah. Gedung-gedung disisi jalan semakin memperbanyak lantainya. Bangunan pencakar langit semakin bervariasi. Sedangkan bunyi klakson kendaraan bersautan memenuhi gendang telinga.

"Cari makan dulu mau?"

"Boleh. Cari yang dekat stasiun saja. Kalau bisa yang menyediakan kopi juga."

"Coffee? Again?"

"Yeah. I need it, now."

Kami melangkah menyusuri jalan sekitar stasiun. Sesekali kami bertanya pada penduduk sekitar tentang lokasi yang kami butuhkan saat ini. Hingga kami menemukan gerobak yang menjual gado-gado, kopi yang kubutuhkan tersedia diantara menu minuman lainnya. Abra, memesan segelas es teh dan dua botol air mineral.

"Sebagai persediaan perjalanan," katanya. Aku hanya mengangguk. Perutku sudah lapar, gado-gado didepanku seolah berteriak ingin segera dimakan. Bising kendaraan menemani sarapan kami di Jakarta hari ini.

Ibukota yang menjadi pusat pemerintahan negara ini berhias tunawisma yang hilir mudik mengisi ruas jalan. Doktrin yang mengatakan 'mencari rezeki di Jakarta' seolah sudah tertancap dikepala. Mereka selalu terhibur dengan cerita orang-orang yang memang sudah mapan bekerja di ibukota. Tanpa mereka tahu, mencari lapang sedang untuk membuat segubuk rumah bukanlah perkara mudah. Yang tidak pandai bertahan akan terbuang oleh kondisi yang terbatas. Pekerjaan seolah tidak lagi memandang usia. Ketika anak-anak dengan baju lusuh menawarkan koran, dilehernya tergantung kotak kayu berisi jajanan ringan.

Abra, mendesah keras disampingku.

"Kenapa?"

"Kamu lihat disana, Bell?" Jari telunjuk, Abra, mengarah pada anak laki-laki usia sepuluh tahun yang memainkan alat musik. Menghampiri satu gerobak menuju gerobak lain.

"Yaa, ada apa?"

"Kira-kira apa yang mereka pikirkan ketika mereka menjalani hidup seperti itu? Seharusnya mereka berada di sekolah, belajar dan bermain bersawa kawan."

"Entahlah. Yang pasti, pekerjaan itulah yang akan membuat mereka tetap bisa makan."

"Kenapa harus mengamen?"

"Apa yang bisa mereka lakukan selain itu, menurutmu? Di kota yang padat dengan kendaraan dan penduduk yang semakin banyak dari berbagai kota? Jakarta adalah kota yang megah jika dilihat dari atas. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya adalah hal sebaliknya. Tentu ada kebaikan lain dari kota ini. Apapun itu, pekerjaan mereka lebih baik daripada apa yang dilakukan seseorang disana." Pandanganku tertuju pada remaja laki-laki yang sedang melakukan aksinya, mencari korban yang memiliki dompet tebal.

"Astaghfirullah." Abra, mengelus dadanya, terkejut ketika remaja yang kutunjukkan berhasil membawa lari curiannya. Aku tertawa melihat reaksinya.

"Jakarta dan kriminalitasnya."

"Berdoa saja. Semoga kantongmu aman kalau tidak ingin bernyanyi seperti anak itu."

"Atau mau yang cepat seperti remaja tadi?"

"Ngawur kamu, Bell. Ayo pergi. Biarkan Jakarta dan pendosa kecilnya."

Kami melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat menginap sementara selama tiga hari kedepan. Ada banyak pilihan yang ditawarkan dari hasil peramban yang dihasilkan. Kami harus melihatnya satu persatu. Kami memutuskan untuk tidak menyewa kendaraan. Kunjungan ini akan kami habiskan dengan berjalan kaki. Mungkin sesekali memesan taxi orderan.

"Kamu sering ke Jakarta?"

"Beberapa kali, urusan pekerjaan."

Kami memutuskan untuk menempati salah satu hotel yang terdekat dengan lokasi Art Jakarta. Saat ini, aku dan Abra sedang menikmati menu makanan yang disediakan oleh pihak hotel tempat kami menginap. Jika hotel lain menyediakan makan gratis pagi hari, maka hotel ini berkreasi menyajikan makan malam gratis untuk para tamu di akhir pekan. Dengan menu utama cumi goreng mentega dan gandusari kacang hijau sebagai penutupnya.

"Jakarta sepertinya lebih damai saat malam hari," Abra berbicara disela-sela suapannya "...dan lebih nyaman dinikmati juga."

"Yeah. Ratusan lampu kendaraan dan gedung menjadi hiburan tersendiri."

"Besok mau berangkat jam berapa?"

"Pagi aja gimana, kita jalan-jalan dulu. Bagaimana menurutmu?"

"Boleh."

"Setelah ini mau balik kamar atau kemana?"

Iya juga ya. Masih terlalu sore untuk pergi tidur. Aku mencoba mengingat kembali tempat yang pernah kukunjungi ketika dulu berkunjung ke Jakarta. Berdasarkan hasil pencarian, dari tempat kami menginap ada beberapa kafe yang bisa dikunjungi.

"Kafe Arborea, mau?"

"Ayo. Kamu tahu tempatnya, kan?"

Setelah menurunkan makanan dalam perut, kami meninggalkan hotel.

Jakarta. Sebagai ibukota seringkali dijuluki sebagai kota yang tidak pernah tidur. Hal ini menunjukkan bahwa segala aktivitas di Jakarta tidak berhenti meskipun malam semakin larut. Terbukti dengan jam dipergelangan tanganku yang menunjukkan angka hampir jam sepuluh malam. Bising kendaraan dan lalu lalang orang masih dapat jelas ditemui meski tidak seramai saat siang hari.

Hazelnut latte dan milkshake vanilla kedua kami masih tersisa setengahnya. Sesekali kami saling bertukar cerita tentang kegiatan kami sehari-hari. Abra bercerita banyak tentang pekerjaannya dan hiruk pikuk pabriknya ketika sedang hectic. Meski berada di posisi sebagai pemilik pabrik, Abra, juga harus mengecek keseluruhan yang ada didalam pabriknya. Katanya ia tidak ingin menjadi pemilik usaha yang hanya menerima hasil. Bahwa ia harus tahu bagaiman orang-orang yang bekerja dengannya mendapat kenyamanan dengan pekerjaan mereka. Bos yang sangat baik, bukan?

"Sepertinya perutku sekarang penuh dengan milkshake ini," Abra berceletuk dengan menggoyangkan gelas di tangannya "kenyang sekali."

"Emm. Perutku juga mulai tidak nyaman."

"Rasanya aku tidak mampu menyelesaikan minuman ini."

Kami saling bertukar pandangan. Tertawa bersama.

Diperjalanan pulang, ponsel Abra menerima panggilan dari nomor tidak dikenal. Setelah meminta izin untuk menerima panggilan, setelahnya aku tahu yang sedang berbicara dengannya adalah ibuku. Aku mengerutkan kening. Darimana ibu tahu nomor ponsel, Abra? Kenapa ibu tidak mengubungiku langsung?

"Bella, baik-baik saja.... sami baru saja menikmati secangkir kopi....sebentar...," Abra mengulurkan ponselnya.

"Hallo, bu."

"Ponsel kamu mati, Bell?"

Aku sedikit menjauhkan ponsel dari telinga setelah mendengar nada ibu yang sedikit tinggi. Aku jadi ingat. Selama di kafe aku sama sekali tidak melihat ponsel. Suasana Arborea Cafe menarik segala perhatianku. Tangan kananku merogoh saku celana tempat aku menyimpan ponsel. Ah, kehabisan daya.

"Maaf, bu. Baterai ponsel, Bella, habis. Hihihi."

"Kok ibu bisa tahu nomor, Abra?" Aku berbisik pelan dan sedikit menjauh.

"Dari masmu. Ya kamunya bukannya ngasih kabar ke ibu, malah ngilang." Aku meringis pelan dan menoleh pada, Abra. Kembali menghampirinya.

"Yasudah, ibu tutup dulu. Baik-baik disana. Segera istirahat dan tidur."

"Iyaa. Good night."

"Iya, lupa. Wa'alaikumsalam."

Aku mengasurkan ponsel pada pemiliknya.

"Sudah?"

"Em hm. Terima kasih."

"Ayo balik. Biar besok bisa bangun lebih awal."

Hari pertama di Jakarta itu berakhir kami lewati dengan banyak cerita. Menikmati kopi dan pemandangan kota menuju pertengahan malam sebelum esok hari menemui jalanan yang padat dan macet. Kami memasuki kamar masing-masing. Saat tanganku berhasil membuka kunci pintu, Abra, memanggilku. Dua kata yang keluar dari mulutnya sedikit membuatku terkejut, sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk.

"Ya."

Ada banyak misteri di balik waktu yang terus berjalan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah hari ini. Sesuatu yang ganjil mungkin akan membingungkanku. Akan terlihat dini jika aku menyebutkan sesuatu itu sebagai hal yang sudah lama terpendam.