Bab 19

Jakarta, 08.35

Aku berdiri didepan rumah makan Pondok Sunda, menunggu Abra yang sedang menyelesaikan pembayaran di kasir. Setelah berdebat siapa yang akan membayar, aku mengusulkan untuk membayar secara bergantian setiap kami selesai makan.

"Percuma ke Jakarta kalau makannya tetap yang berbau Sunda. Sama aja makan di Bandung."

Aku tertawa kecil. Sudah empat kali, Abra, menggerutu tentang menu makan yang kupilih untuk sarapan. Aku tidak menghiraukannya, perhatianku masih terpusat pada bentuk awan dilangit Jakarta pagi ini. Beberapa gumpalan awan seperti membentuk sesuatu. Imajinasiku membentuknya seperti satu wajah. Aku mengambil ponsel dari saku celana, mengarahkan kamera ke langit.

"Kamu ngapain, Bell?" Aku mengangkat tangan kearahnya. Bermaksud memintanya untuk menunggu sebentar.

Kedua tanganku bergerak lincah mengulik gambar yang kuambil. Menambahkan dua mata, satu hidung dan satu mulut. Gumpalan awan tadi menjadi satu bentuk wajah boneka bear bewarna putih. Beralih pada aplikasi pesan, aku mengirimkan awan itu pada Abra. Setelah tanda masuk muncul aku segera menyimpan ponselku kembali.

Aku tersenyum senang ketika, Abra, terlihat mengunduh gambar yang kukirim. Tapi tidak ada kalimat apapun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya tersenyum tipis setelah berkutik dengan ponselnya, sebelum akhirnya menyimpannga kembali. Itu saja? Tidak ada kalimat apapun?

Ishh...memang apa yang kau harapkan, Bella?

"Ayo jalan."

Aku menghembuskan napas pelan, tapi panjang, sebelum mengikutinya di belakang. Untuk mengalihkan perasaan yang tiba-tiba terasa mengganjal, aku menarik earphone dari tas kecilku dan memasangnya ditelinga. Memutar lagu secara random dari aplikasi pemutar lagu. Aku mengayunkan langkah kaki mengikuti irama lagu yang sedang mengisi ruang telingaku. Tapi sepasang kaki begitu dekat di sisi kananku. Abra, berjalan disampingku.

"Kenapa?"

Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Kembali memperhatikan langkah kakiku sendiri.

"Lagian jalan kok dibelakang, nunduk lagi. Kalau nanti ilang gimana, coba?"

Lagi-lagi secepat cahaya. Tiba-tiba saja tangan kirinya sudah menggenggam tanganku yang kini terlihat mungil. Abra memajukan tubuhnya melewati wajahku, masih dengan berjalan. Tangan kanannya terangkat mendekati wajahku. Apa yang akan dilakukan laki-laki ini?

Sebelum aku berpikir terlalu jauh, Abra mengambil earphone ditelinga kiriku untuk ikut menikmati lagu yang sedang berputar di ponsel. Aku memperhatikannya. Langkah kakinya sekarang bergerak seperti berirama. Bibirnya bernyanyi dan beberapa kali kepalanya mengangguk, menikmati.

Kami tiba di gedung acara yang dilaksanakan di Jakarta Convention Center. Sepertinya acara ini akan sangat ramai. Ada banyak sekali orang-orang yang berlalu-lalang memasuki balai sidang yang kini telah disulap menjadi arena pameran.

Acara karya seni rupa permanent exhibition ini juga sekaligus untuk membantu penggalangan dana para korban bencana. Dari pamflet, pameran kali ini akan menampilkan 50 galeri dari seniman baik nusantara maupun mancanegara. Salah satu galeri di Indonesia asal Bandung yaitu Lawangwangi Art Gallery juga menjadi partisipan dalam acara ini. Kupikir ini adalah acara besar yang tidak akan pernah kusesali.

"Woahh. Gede juga ya acara beginian."

"Baru pertama kali memangnya?"

"Iya."

"Sekalipun enggak?"

"Kurasa aku tidak memiliki teman yang hobi dengan lukisan."

"Ah, begitu."

Ada banyak hasil karya disajikan dalam acara ini. Karya dari sederet seniman terkenal memenuhi gedung besar hari ini. Hal menakjubkan dari acara ini, beberapa seniman internasional juga berpartisipasi, mengisi ruang-ruang dengan hasil karyanya. Dari pintu masuk, di sebelah kiri terdapat lukisan dengan judul " The Dream" mengisi dinding. Perfect. Karya seni yang sempurna.

Media yang digunakan pada karya lukis itu adalah kanvas dengan alat cat minyak, palet dan kuas. Terdapat nama pelukis dibawahnya, Pablo Picasso. Salah satu karya seni kontemporer yang menggambarkan sosok wanita yang sedang mencari jati diri. Sebuah seni yang diciptakan sebagai hiasan dengan warna-warna terang, oren, kuning, dan sedikit warna putih sebagai background.

Kaki kami melangkah semakin dalam. Tidak hanya seni lukis saja. Semakin memasuki ruangan, aku menemukan berbagai karya seni, keramik, instalasi suara, patung, seni teknologi hingga seni rupa dalam beragam media, baja, cermin, dan pakaian. Bagian interior dari acara ini mungkin sudah begitu berpengalaman. Penataan ruang yang baik dengan musik sebagai pengiringnya.

Aku pernah bermimpi untuk bisa melakukan kegiatan pameran sendiri. Menyaksikan orang-orang mengapreasiasi karya lukis yang kuhasilkan. Bercerita tentang apa yang mereka lihat. Memberikan perasaan damai dari tanganku.

Sudahlah. Sepertinya itu terlalu berlebihan.

"Apa yang kamu rasakan saat berada di tempat ini?"

"Peaceful.

"Maksudnya?"

"Iya. Ada banyak seni disini dan tentu pada setiap karya yang dihasilkan memiliki imajinasi dari sebuah ide. Seperti lukisan ini," aku meunjuk salah satu lukisan didepanku.

"Keindahan adalah sebuah anugerah Tuhan yang patut kita syukuri. Ketika kamu mampu mensyukurinya, inilah yang akan semakin meneduhkan, membuat damai dan membahagiakan setiap manusia yang menikmatinya.

Bahkan, ketika kamu mampu memaknai komposisi dan harmoni warna yang kaya dalam sebuah lukisan, kamu akan tahu sebuah karya itu sangat apik. Saling mengisi setiap kanvas ataupun media lukis lainnya."

"Alam di luar lebih nyata."

"Memang, sebuah karya yang diciptakan tidka berbeda jauh dengan harmonisasi kehidupan di alam nyata. Beragamnya warna yang tertuang pada sebuah karya lukis seolah menjadi pesan moral penting agar kita lebih bijak melihat perbedaan. Lukisan ini menampilkan keindahan dalam warna yang sangat mengagumkan.

Sebuah karya seni lukis tidak hanya sebagai elemen dekorasi untuk mempercantik ruang. Lebih dari itu, seni lukis juga memiliki filosofi. Sebuah nilai yang diyakini membawa ketentraman, motivasi. Atau yang lebih gilanya mendatangkan hoki."

"Ngwur kamu." Aku tertawa melihat ekspresi terkejutnya. Tapi aku percaya. Ada beberapa orang yang menjaidkan lukisan untuk mendatangkan keberuntungan.

Aku menghentikan tawaku ketika, Abra, menatapku dengan diam. Wajahnya datar, seolah sedang berpikir jika dilihat dari keningnya yang berkerut.

"Kenapa?"

"Aku juga menemukan hal yang sama."

"Menemukan apa?"

"Kedamaian."

"Ya, lukisan ini semakin kita mengamaatinya, kedamaian itu akan semakin kuat."

"Tidak." Aku menggelengkan kepala, menunggunya untuk melanjutkan kalimatnya.

"Aku menemukannya dari caramau bercerita. Senyummu, tatapan matamu dan nadamu yang mengagumi lukisan itu. Aku menemukannya dari suaramu." Abra, menyelesaikan kaalimatnya dengan tersenyum. Selama beberapa detik mata kami terpaku satu sama lain.

"Apasih. Enggak lucu."

"Eh siapa yang ngelucu. Aku serius, beneran."

"Iya aja deh, biar cepet." Aku berlalu dari sampingnya. Suara tawanya mengikuti langkah kakiku.

Apa dia mengerjaiku?

Selain menikmati Art Jakarta Gallery, juga beberapa zona seperti Art Jakarta Scene dan Art Jakarta Spot, kami akhirnya mengisi dua diantara kursi-kursi yang menjadi tempat peserta workshop di Art Jakarta. Fasilitas lain yang bisa dinikmati oleh para perupa pemula atau seniman senior untuk memanfaatkan keahliaanya dalam ekonomi kreatif.

Kami mengisi dua kursi di barisan kelima dari depan stage kecil. Di atasnya, lima kursi dan satu meja kaca ditengahnya. Pembawa acara di sisi panggung memulai kalimat pembukanya. Satu per satu kursi di atas stage terisi, hingga salah satu diantaranya terisi oleh seorang yang tidak pernah kukira juga hadir di acara ini.

Setelahnya aku tahu, dia menjadi salah satu bagian tamu penting dalam acara besar ini.

Sekarang aku bersyukur berada di belakang peserta yang memiliki tubuh tinggi. Aku menggeser kursiku lebih dekat pada, Abra.

"Kamu kenapa, Bell?"

"Haa?"

"Iya, kamu ngapain mepet-mepet gini?"

Aku memilih tidak menjawabnya. Selama workshop berlangsung, pandanganku terus menunduk. Sesekali memandang kedepan ketika Abra, menegur untuk mmperhatikan. Antusiasku yang dari awal tidak begitu tinggi semakin menurun karena kehadiran seseorang. Materi yang disampaikan tidak banyak yang tertangkap oleh otakku. Aku hanya berpikir untuk segera pergi dari ruangan ini.

"Bella. Kamu datang juga?"

Dan akhirnya, tetaap saja, Pande, menemukanku diantara banyak orang yang hadir disini. Ya. Laki-laki yang kumaksud tadi adalah, Pande. Abra disampingku hanya berdiam setelah memperkenalkan dirinya. Aku berlalu dengan menarik tangan, Abra, utnuk segera menjauh. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan aku berterima kasih kepadanya, karena dia lebih memilih diam, tidak bertanya apapun.