Bab 20

Rooftop, Oasis Hotel, 21.30

Malam ini angin terasa lebih hangat. Mungkin karena jaketku, atau bagian tubuhku yang lain sedang terbakar. Berkali-kali pun aku mengucap siap, keberanian itu selalu saja menghilang. Dimana yang salah dari keduanya. Tidak bisakah mereka saling mendukung?

Aku mengisi kembali dadaku dengan udara. Menggantinya dengan yang baru. Berharap perasaan itu segera hilang. Tidak ada suara burung atau hewan malam yang menenangkan. Bising kota Jakarta satu-satunya pengisi panca indra malam ini.

Otakku kembali lagi bekerja keras. Mengendalikan satu bagian yang berkali-kali ingin kuhilangkan. Lobus, yang tidak pernah terdapat pintu, namun apapun yang terjadi selalu bisa masuk dan kembali memenuhi. Aku pernah menyesalinya. Mengapa Tuhan menciptakan ruang itu dikepala. Bagian tubuh yang tidak pernah bisa kukendalikan sendiri, meski aku pemiliknya. Mereka berbicara, berjalan, berteriak, menggumam. Tidak pernah ada suara darinya, tapi telingaku selalu berhasil menangkapnya. Mereka meninggalkan jejak. Seolah sebuah kewajiban, keberadaannya yang begitu dekat akan selalu melengkapinya.

Berkali-kali aku harus menanamkan semua pengertian pada semua pemberian. Meski terkadang sulit dimengerti, akan selalu ada hal yang bisa menjelaskan. Entah dengan apa atau oleh siapa. Tapi mungkin tidak saat ini. Ada banyak kemungkinan Tuhan menjelaskan. Mungkin aku hanya harus menunggu. Lebih sabar dan lebih sabar lagi. Aku hanya perlu menguatkan diri pada semua kejutan.

Manusia dilahirkan untuk menemui dua hal yang selalu dipasangkan. Apapun itu namanya, kebahagiaan dan kesedihan menjadi topik utama dalam hidup. Dari keduanya, kesedihan selalu menjadi alasan yang seringkali membuat tubuh lemah. Ia menyerang dua bagian tubuh yang tak pernah terlihat. Dua kawan yang lebih sering bertengkar daripada akrab, tidak sejalan. Dan ketika keduanya lelah, mereka memanggil yang lain untuk menggantikannya. Meleburnya dengan air mata.

Sesuatu yang hangat menyentuh pipi kananku. Aku bergerak mundur menghindari paper cup dari tangan Abra. Sebelum akhirnya menerima dari uluran tangannya.

"Kalau sudah puas," kalimat itu menggantung. Abra berkata dengan berlalu "kembali ke kamar." Langkah kakinya menjuah dari jangkauan telingaku. Tanpa menoleh, aku memanggilnya.

"Ba!"

Tidak ada jawaban. Tapi aku tahu, ia memutar tubuhnya dan menghampiriku. Berdiri di sisiku dengan diam. Menangkap semua pemandangan yang ada di depan kami.

"Apa kamu pernah berpikir untuk mengubah masa lalu kamu?"

"Tidak."

Aku menoleh padanya. Jawaban itu terlalu cepat.

"Kenapa? Kupikir hampir semua orang pernah berpikir seperti itu."

"Iya. Tapi kamu lupa dengan apa yang kamu katakan sendiri?"

"Maksudnya?"

Aku tidak mendengar jawaban dalam beberapa waktu. Hening di antara kami tercipta. Ia hanya menghembuskan napas panjang. Pandangannya masih pada posisi yang sama. Memandang banyak lampu dengan berbagai warna.

Dari atas sini. Mobil berjalan seperti barisan semut. Padat berbaris memenuhi tubuh jalan. Bunyi klakson ditekan keras-keras. Seperti menjelaskan keinginan untuk segera tiba di rumah. Meski semua percuma. Mereka hanya butuh pelampiasan. Macet bukan musuh yang baik dalam kondisi lelah. Mereka harus menunggu beberapa menit, mungkin beberapa jam laagi sebelum tubuh jalan benar-benar terlewati.

Di depan kami, gedung-gedung tinggi memamerkan keanggunannya. Lampu-lampu mengisi ruang-ruang kaca. Membuatnya terang. Menenggelamkan yang seharusnya bertugas, bintang. Tapi itulah bintang kota malam hari. Pelipur lelah, mungkin juga lara. Kota dengan lampunya di malam hari sungguh sajian terbaik yang bisa dinikmati.

Angin sedang beralih menjadi dingin. Aku merentangkan kedua tangan. Mengambil udara sekali lagi dengan tarikan panjang. Mendinginkan kepala. Mencoba menyiram sesuatu yang terasa terbakar. Mulai bosan dengan keheningan yang terjadi diantara kami, aku berniat bertanya sekali lagi tentang pendapatnya.

"Kamu pernah ingin kembali ke masa lalu?"

"Kamu lupa, Bell?. Hampir semua orang, itu jelas mengatakan tidak semua orang berpikir ingin mengubah masa lalunya. Bahkan kamu sendiri tidak yakin, apakah semua manusia di bumi ingin kembali ke masa lalu dan mengubah hidupnya untuk apa yang terjadi hari ini."

"Setidaknya pernah terlintas di kepalanya."

"Kamu menyesal. Itu berarti kamu tidak siap dengan apa yang terjadi pada hari ini. Kamu tidak siap, ternyata kamu mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, sehingga kamu ingin kembali ke masa lalu. Aku tidak ingin mengatakannya, tapi aku harus," Abra berhenti sejenak sebelum melanjutkannya "kamu lari dari masalah, ka..."

"Enggak!" Aku tidak sengaja mengatakannya dengan keras.

"Kamu marah. Aku belum menyelesaikan kalimatku." Tidak ada nada kesal disana. Abra masih dengan suara tenangnya. Kembali aku memandang depan. Mengambil udara dengan tarikan panjang. Satu kali. Dua kali. Aku tidak bisa menghitungnya hingga tarikan nafas itu semakin pendek. Mataku terasa panas ketika genangan air mulai memenuhinya. Aku tidak tahu apa yang membuatku menangis. Pertemuanku dengan Pande atau karena kalimat Abra?

"Menjadi dewasa memang tidak mudah. Menjadi dewasa tidak bisa tumbuh dalam waktu semalam, apalagi hanya dengan satu permasalahan. Ketika kamu mampu menyelesaikan masalah tanpa harus menghindar, kamu akan menjadi manusia dewasa. Kembali ke masa lalu tidak akan menyelesaikan apa-apa karena itu hal yang mustahil."

"Tapi semua memang terasa salah."

"Hey, sekarang dengerin aku. Aku tidak tahu apa yang kamu maksud salah itu. tapi apapun itu, kamu hanya perlu menerimanya, lalu memahaminya, apa yang harus kamu lakukan. Apa yang bisa kamu ambil?"

Suara sesenggukan itu semakin jelas.

"Karena ketika kamu bisa mengambil sebuah pelajaran, kamu akan terus belajar untuk maju ke depan. Seharusnya kamu bisa menghargai segala keputusanmu di masa lalu. Kamu tidak akan menemukan kehidupan saat ini tanpa keputusan yang kamu pilih dulu. Tidak perlu disesali. Semua yang berjalan tidak ada yang selalu baik-baik saja. Jadi, berhenti berpikir untuk kembali ke masa lalu. Anak kecil pun juga ingin tumbuh cepat menjadi dewasa. Semua hanya tentang cara kita memandang, dari sudut mana. Aku tahu, mudah memang berkata seperti ini.

Tapi aku ingin kamu tahu. Hari ini adalah kesempatan untuk hari esok, hari esok adalah untuk lusa, begitu seterusnya. Ayo buat hidup ini mudah. Lakukan yang lebih baik dari kemarin, buat lusa menjadi lebih baik dari hari ini."

Aku tahu apa yang dikatakan semuanya benar. Mungkin aku hanya perlu seseorang untuk membantuku. Mengingatkanku, menyadarkanku kembali. Aku tidak bisa hanya berdiam, tapi aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan. Selalu seperti ini.

Sepasang lengan itu merengkuhku. Menenangkanku dengan gerakan tangannya. Mengucapkan kata-kata lebih baik dari sekadar kata 'sabar'. Aku memang tidak membutuhkannya. Sudah berkali-kali aku mendengarnya sejak kepergian ayah. Bukan karena aku tidak ingin bersabar, tapi bagiku itu bukan kalimat penghibur. Seolah menenangkanku tapi mereka tidak tahu apa yang terjadi padaku, mereka tidak merasakannya. Malam ini aku menemukan pelukan yang sama seperti ketika ayah memelukku.

Beberapa lampu gedung didepan kami sudah padam ketika aku mengalihkan pandanganku. Jam diponsel menunjukkan waktu hampir tengah malam. Kami memutuskan kembali ke hotel karena udara juga sudah berubah menjadi lebih dingin. Kami berniat untuk mengelilingi Jakarta sebelum kembali pulang.