Bab 21

Tiga puluh hari berlalu sejak dari ibu kota, untuk pertama kalinya aku menceritakan semuanya kepada ibu, termasuk pertemuanku dengan Pande dan kisah lalu yang pernah aku alami. Ibu tidak berbicara banyak. Ibu diam mendengarkanku. Sekali-kali tersenyum pada cerita menarik tentang kami. Tapi juga meneteskan air mata ketika aku mengatakan alasanku meninggalkan Pande. Dari semua yang kuceritakan, ibu hanya memintaku untuk memaafkan semua yang pernah terjadi. Mungkin karena alasan itu, selama ini aku selalu merasa takut. Ibu benar, sesuatu yang seharusnya dilepaskan jika disimpan akan membuat penyakit dalam hati.

Sesi cerita itu ditutup ibu dengan memintaku untuk tetap menjaga hubungan baik yag telah terjalin antara keluarga kami. Aku juga tidak memiliki alasan untuk membenci Rose. Kami masih menjalin komunikasi dengan baik. Sesekali Rose berkirim pesan dan bercerita tentang kegiatannya, terutama Caca, keponakan baruku. Meski entah kapan akan bertemu lagi dengan gadis kecil itu, karena Rose memilih untuk ikut dengan suaminya ke luar negeri. Ia masih gadis kecil yang bisa membuat tertawa karena sifat polosnya.

"Lagi mikirin apa, Bell?"

"Haa? Ah, bukan apa-apa, bu."

"Hla itu, kok senyum-senyum sendiri?" Tapi aku mengabaikan pertanyaan ibu.

Mataku mencuri pemandangan dari balik kaca jendela. Sore ini gerimis mengantar perjalananku dengan ibu ke pemakaman. Cahaya matahari masih mampu mengintip dari celah-celah awan mendung yang berarak. Mobil kami menembus jalanan Kota Bandung yang padat. Ibu duduk dengan tenang di sisiku, mungkin lebih pada duduk terdiam. Aku tahu apa yang sedang ibu rasakan.

Aku kembali memperhatikan awan di luar. Kali ini awan yang berarakan mulai tercerai berai. Cahaya matahari semakin leluasa mencuri celah-celah awan menghapus sisa-sisa hujan siang tadi. Segera aku meminta mematikan AC mobil dan membuka jendela sedikit. Aroma udara selepas hujan begitu menenangkan menyelinap masuk. Aku menghidu udara, mengisi dada dengan yang baru. ini menyenangkan. Likewise, being in bed with the window open in the rain is the most pleasant feeling.

Di luar, orang-orang berlalu-lalang, pesepeda motor mengisi ruang kosong diantara mobil. Nadi jalan kembali berdetak, suara riuh klakson dan orang-orang kembali terdengar mengganti pukulan hujan di atap mobil. Aku kembali menghirup udara segar yang menyenangkan. Ibu berkutat dengan pikirannya. Aku berkutat dengan lamunanku. Membiarkan ibu dengan perasaan rindunya. Semua akan terasa lega ketika kami tiba di depan ayah nanti.

Setiap berkunjung ke pemakaman, aku selalu bersyukur. Karena berada disini ibu akan menceritakan semua perasaannya pada ayah. Tentang kedua anaknya dan tentu cucu pertama mereka yang belum sempat ayah gendong. Saat itulah aku akan melihat begitu besar cinta ibu pada ayah. Air mata yang selalu disimpan ketika merindukan ayah akan tumpah ruah di sini. Bertabur dengan bunga yang digenggamnya di atas tanah.

Aku selalu terharu melihat ibu. Perempuan hebat yang diciptakan Tuhan dengan hati yang entah terbuat dari apa. Hati yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada perasaan haru yang berubah cepat menjadi hujan di pelupuk mata. Perempuan yang selalu sigap bangun pagi, tidak peduli tubuhnya yang mulai terasa sakit. Ibu yang selalu siap dengan pelukan lembutnya. Aku selalu ingin menjadi seperti itu, yang menyikapi segala sesuatu dengan tersenyum. Yang diam-diam menangis hanya di depan Tuhan dengan kedua telapak tangannya yang senantiasa terbuka. Perempuan tegar dengan kondisi apapun, bahkan setelah ayah pergi.

Kami hanya tinggal bertiga dengan Bi Rasti setelah Bang Rafka memiliki keluarga kecil. Sesekali kami akan merindukannya. Rumah kami terasa semakin sepi, tapi ibu tidak akan mengizinkan rasa sedih bertamu di rumahnya. Ibu selalu menciptakan suasana hangat dengan cara apapun pada hal-hal kecil. Meski itu harus membuat Bi Rasti kewalahan, seperti memintanya memasukkan benang pada jarum, ibu tahu itu akan sangat percuma. Ekspresi Bi Rasti lah yang selalu membuat kami tertawa ditambah gerutuannya dalam bahasa jawa.

Aku melempar pandangan ke jalanan yang semakin ramai. Riuh kendaraan tidak berhenti berbunyi ketika masing-masing ingin segera tiba di tempat tujuan. Hujan telah sempurna berhenti menyisakan genangan air yang memantulkan cahaya matahari sore. Sisa air hujan membentuk bola menetes anggun dari pucuk-pucuk daun dan berakhir di tanah. Bayangan gedung tampak bergelombang pada genangan yang tertimpa tetesan. Banyak hal menarik dari sisa-sisa hujan. Pemandangan yang seringkali dilewatkan oleh orang-orang. Aku menghidu udara kota ini, kota yang semakin tumbuh seiring bertumbuhnya diriku. Semua terasa menyenangkan ketika hujan.

Ibu masih sibuk dengan pikirannya. Tujuan kami sudah dekat. Sebuah kompleks pemakaman keluarga yang berseberangan arah dengan rumah kami. Tapi menjadi sangat benar karena berada di tengah-tengah antara rumah ibu dan Bang Rafka yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Kami memang berencana untuk bertemu langsung di lokasi dengan Bang Rafka dan Mbak Putri, alasannya agar bisa langsung kembali ke rumah masing-masing.

Kami sampai di tujuan. Mobil yang kami naiki merapat di bahu jalan tepat di samping gerbang masuk pemakaman. Kulihat Bang Rafka dan Mbak Putri sudah menunggu di samping mobilnya, tanpa Lala.

"Abang sudah lama?"

Aku mencium tangannya yang diganti dengan mengelus puncak kepalaku.

"Belum. Dua puluh menit yang lalu abang baru parkir."

"Itu lama bang. Maaf ya, tadi sedikit macet."

"Kami baru saja tiba kok, Bell." Mbak Putri mengoreksi jawaban.

"Ih aku kira udah lama beneran."

"Ayo masuk, kita jenguk ayah." Ibu menyudhdi bibit pertengkaran kami.

Suasana sore di pemakaman terlihat sepi. Angin lembut disekitar kami menyebarkan aroma wangi dari bunga kamboja yang tumbuh dengan baik, bahkan yang berguguran. Daun-daun lebarnya saling menyentuh antar dahan, membuat sebagian terasa lebih teduh. Aku memperhatikan langit. Mungkin matahari sore akan hilang dalam waktu satu jam kedepan. Awan yang tercerai-berai kembali berkumpul mengisi sebagian langit pemakaman. Di sekitar kami, rumput-rumput kecil hasil pangkasan bermahkota air hujan mulai tumbuh dengan baik. Menciptakan basah pada sepatu ketika kami melewatinya.

Kami tiba di depan makam ayah. Di samping bang Rafka, ibu terlihat mengambil napas panjang. Untuk yang kesekian kali, ibu menarik napas lebih panjang dari sebelumnya. Mengangkat pandangan menatap langit. Mencoba menahan bendungan air yang semakin menggenang dipelupuk matanya. Meski akhirnya tetap terjatuh ketika mengucap salam pada ayah dengan berlutut. Tangannya mengusap nama ayah, sebelum menciumnya dengan lembut dan menangis. Aku menyentuh tangannya yang meremas tanah, mencoba membantunya ketika ibu berusaha menahan tangis.

"Enggak apa-apa kalau ibu mau nangis." Ibu menoleh pada Bang Rafka hingga akhirnya butiran air itu jatuh dari mata damainya. Perempuan terhebat kami menangis. Meski aku tak sanggup melihatnya, tapi dengan itulah ibu bisa mengeluarkan sesuatu yang selalu disimpannya, merindukan ayah.

"Apa kabar, ayah?"

"Ibu kangen banget sama ayah. Anak-anak juga."

"Hari ini, Lala tidak bisa ikut karena sedang sakit. Lain kali, Lala pasti ikut." Setelahnya ibu hanya menangis tersedu. Kerudung birunya diterpa angin dengan lembut.

"Berdoa dulu yuk," dengan lembut abang mengusap punggung ibu.

Kami meninggalkan pemakaman ketika semburat awan putih telah berubah menjadi jingga. Seperti cat yang tumpah berceceran. Tuhan sedang mempertontonkan karya-Nya untuk penghuni bumi. Kakiku terhenti pada pemandangan di ujung barat. Bola merah langit itu seperti menempel dibalik crane yang ada di area pembangunan gedung. Separuh bagiannya masih tertutup oleh awan.

"Dek, ayo. Udah mau gelap ini. Nunggu siapa sih?"

"Yee, mau nunggu siapa juga di makan begini."

"Kali aja kamu punya teman."

"Bang Rafka ngomongnya ngawur banget nih, bu?" Ibu hanya membalas dengan mengelus kepalaku.

Kami melanjutkan langkah kembali ke mobil. Bang Rafka dan Mbak Putri pamit pulang lebih dulu karena Lala hanya berdua dengan susternya. Ibu duduk dengan menggamit tangan kananku. Ketika aku menoleh, sisa-sisa air mata itu masih terlihat jelas.

"Ibu adalah perempuan paling kuat. Bella percaya." Setiap kunjungan kami usai, aku yakin ibu akan semakin menjadi perempuan yang hebat.