Selalu ada baik dan buruk di setiap kehidupan yang manusia jalani. Perasaan lelah mungkin juga terkadang mampir. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah selalu menjaga rasa syukur. Berada di bawah satu langit yang sama, tapi masing-masing dari kita tentu memiliki cakrawala yang berbeda. Ketika aku memiliki langit jingga, mungkin kamu melihat birunya. Ketika aku memiliki birunya, mungkin kamu disinggahi mendung abunya. Apapun warna dan bentuknya, langit selalu berhasil membuat mata jatuh cinta, terkadang juga harus menakutkan. Ada banyak hal yang baik jika kita selalu belajar memetik hikmah dibalik segala peristiwa. Baik buruk adalah bagaimana cara kita memandang masalah.
Menjadi seorang pelukis itu terkadang menyenangkan, namun juga terkadang tidak. Menyenangkan ketika dengan melukis aku bisa memahami diri sendiri, bahagia ketika duduk melihat kanvas berjam-jam, bermain warna, mengotori baju dan menghasilkan satu lukisan sesuai dengan yang kuharapkan.
Lega banget!
Dan tidak menyenangkan saat kehilangan inspirasi yang akhirnya membuat bingung. Gelisah tidak bisa tidur, padahal galeri sedang butuh yang baru. Akan terasa sulit, aku harus mengontrol kembali emosi, mencari dan menemukan kembali hal-hal yang menyenangkan. Jika saja menemukan inspirasi semudah mencari upil di hidung, jelas itu adalah hal mudah karena memang di sana lah letaknya. Tapi tidak dengan inspirasi, lebih seringnya aku harus keluar rumah untuk mengembalikan pikiran. Seperti saat ini.
"Sudah lama, Bell?"
"Emm... lumayan sih. Kamu pesen minum dulu aja."
Siang ini, cuaca sedang sangat baik membakar bumi. Untungnya mesin pendingin di kafe Athena bekerja dengan baik. Dan secangkir cold brew yang kupesan cukup membantu mendinginkan isi kepalaku.
"Lagi pusing banget ya?"
"Lebih tepatnya sedang mencari inspirasi."
"Ngomong-ngomong hari ini kamu mau ke mana?"
"Rencana mau ke pabrik sih." Bersamaan seorang pelayan yang membawa pesanannya.
"Terima kasih."
Sepuluh menit setelah aku mengisi kursi ini, Abra mengirim pesan untuk lunch bersama. Kukatakan saja jika aku sedang memesan kopi. Meski sedikit lama, ia datang setelah dua puluh menit berlalu.
"Tapi kelihatannya kamu dari suatu tempat."
"Em hm, ada masalah sedikit di kafe. Jadi aku harus ke sana dulu sebelum ke pabrik. "
Manusia dan tubuh mesinnya. Hari ini, Abra terlihat lelah. Mungkin masalahnya sedikit membuatnya berpikir keras. Hanya ada satu tubuh yang tidak akan berbohong, meski bagian tubuh lain mencoba untuk berpura-pura, mata. Pandangan Abra terlihat tidak fokus. Kopi ditangannya tersisa banyak karena sejak tadi, Abra hanya menggoyangkan gelasnya. Ia hanya meneguknya sedikit.
"Baa, boleh enggak kalau aku ikut kamu ke pabrik hari ini?"
Tapi Abra sedang melamun.
"Abra!"
"Oh? Kenapa, Bell?"
"Ekhm, boleh enggak aku ikut kamu ke pabrik?"
"Boleh. Aku selesaikan ini dulu baru kita berangkat."
"Kamu enggak jadi makan siangnya. Kan belum datang pesanan kamu?"
Tapi sepertinya ia tidak berselera makan. Setelah meneguk habis isi gelasnya, ia mengambil satu lembar uang dan meletakkannya di bawah gelas kosongnya. Aku melakukan hal yang sama.
Abra berjalan dengan diam. Kedua tangannya tersimpan di saku dengan keadaan mengepal. Aku tahu, dia bukan tipe orang yang akan mengeluarkan kata-kata jika sedang marah. Tapi dengan menahannya juga bukan hal baik. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan sesuatu untuk membantunya.
"Mana kunci mobil kamu?"
"Buat apa, Bell?"
"Mana dulu kuncinya?"
"Aku bawa Rubicon hari ini."
"Kamu pikir aku enggak bisa bawa mobil gede itu. Udah ayo, aku yang bawa, keburu panas ini kepalaku."
Kakiku mantap menuju satu-satunya mobil perkasa di tempat parkir. Mobil putih yang menjadi kesyangannya dan sering diajaknya offroad. Aku menghembuskan napas keras setelah berada di balik kemudi. Aku mendekatkan wajahku pada dashboard, lebih tepatnya pada dua lubang AC.
"Ngapain kamu?"
"Panas banget tahu, Ba, diluar."
Abra akhirnya duduk dikursi penumpang.
"Seat belt."
"Hm"
"Hati-hati bawanya."
"Hm"
"Jangan kenceng-kenceng bawanya."
Menghembuskan napas sekali lagi, kali ini lebih keras. Aku menatap Abra dari samping. Kesal dengan tingkah lakunya.
"Kita belum jalanlo, Ba. Aku tahu mobil ini besar, mobil kesayangan kamu. But, plis. Kita jalan dulu. Nanti deh kamu boleh tegur aku kalau aku bawa mobilnya ngawur." Tidak ada jawaban. Sepertinya Abra masih tidak yakin.
"Ba? Bisa?"
"OK"
Kami keluar dari area kafe. Suasana jalan di Kota Bandung sedang padat, karena jam istirahat sedang berlangsung. Abra duduk dengan tenang disamping. Setelah ia percaya bahwa aku mampu membawa mobil besar ini, ia sedikit lebih tenang. Hanya saja ia kembali lagi dengan lamunannya. Kedua jarinya mengetuk-ngetuk sisi dalam pintu mobil. Tapi aku tidak berani bertanya masalah apa yang sedang menimpanya.
Perjalanan kami hampir tiba. Lima puluh meter di depan, papan berbahan dasar kayu tergantung dengan tenang. Meski sudah lama tidak membawa mobil besar, tapi aku cukup menikmati mengendarainya. Semua interior mobil dalam keadaan bagus, Abra pasti merawatnya dengan baik.
"Kamu beneran enggak apa ke pabrik. Panas lo di dalam."
Abra kembali bertanya setelah kami memasuki gerbang pabrik. Bangunan yang tidak begitu besar tapi juga tidak kecil berdiri di tengah-tengah halaman yang luas. Sisi kiri halaman terdapat area parkir kendaraan pegawai. Sedang di sisi kanan tumbuh beberapa tanaman hias dan satu pohon besar menjadi payungnya. Aku segera mematikan mesin ketika sudah menghentikan mobil di tempat yang pas.
"Kamu tadi bawa mobil enggak sih, Bell?"
"Bawa kok. Tenang aja, tadi itu kafe temanku. Aku sudah titip pesan sama karyawan disana."
Abra mengajakku berkeliling melihat proses pengolahan biji kopi. Ruangan besar itu sedang sibuk. Tiga truk besar yang terlihat setelah kami tiba tadi ternyata menurunkan hasil panen kopi yang saat ini sedang memasuki proses pengupasan kulit tanduk. Sebelumnya kami—lebih tepatnya Abra—mengecek pengemasan biji kopi dan kopi bubuk yang akan dikirim ke pemesan. Pengupasan kulit tanduk ini adalah pengolahan tahap menuju akhir dengan proses basah yang menghasilkan jenis kopi arabika sebelum green been disortir antara biji kopi yang pecah dengan yang utuh.
Aku mengeluarkan buku sketsa ku dari dalam tas ransel. Kegiatan di arena pabrik yang sibuk membawaku pada sebuah sketsa yang unik. Abra izin pergi ke officenya, meninggalkanku yang mulai mencoret-coret kertas gambar. Dalam waktu tigapuluh menit ke depan aku hanya akan duduk bergantian memandang karyawan pabrik dan sketsa gambarku. Mesin-mesin bekerja mengisi atmosfer pabrik. Meski sedikit bising, tapi kesibukan ini begitu menyenangkan. Tangan-tangan terampil yang menghasilkan biji kopi berkualitas, memenuhi permintaan para penikmat kopi lokal.
Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore. Ibu sudah mengirim pesan untuk memintaku pulang.
"Permisi, maaf mengganggu. Boleh saya tanya dimana ruangan, Pak Abra?"
"Ada disebelaah sana, teh. Nanti naik aja ke lantai dua. Ruangan, Pak Abra di sebelah kiri dari arah tangga. Ada tulisannya kok."
"OK. Terima kasih ya, sekali maaf mengganggu. Kalau begitu saya permisi dulu, mari."
"Iya, teh, sama-sama, silakan."
Tanganku sudah terayun untuk mengetuk pintu ruangan Abra, sebelum aku mendengar teriakan seseorang dari dalam. Sepertinya ia sedang berdebat, tapi aku tidak mendengar suara lain selain suara Abra. Aku mengarahkan telingaku lebih dekat dengan daun pintu. Ternyata Abra sedang dalam panggilan dengan seseorang, karena yang terdengar ia mengatakan akan menutup panggilannya.
Sesaat aku menyadari jika yang kulakukan ini salah.
Aku berjalan mundur menjauh dari pintu beberapa langkah. Bermaksud untuk pura-pura tidak mendengar percakapannya, aku menyuarakan langkah kakiku lebih keras dan mengetuk pintu ruangannya. Setelah suara Abra memberi izin masuk, aku membuka dan mendorong pintu dengan bahan kayu jati itu.
"Kenapa, Bell?"
Entah kenapa suaraku mendadak hilang. Apa ini karena aku merasa bersalah karena mencuri dengar pembicaraanya atau wajah keruh Abra yang saat ini tertangkap mataku. Aku segera menggelengkan kepala.
"Ehm.. kamu masih lama enggak. Kalau iya aku mau izin pamit pulang, nyonya sudah menunggu anaknya, hehe..."
"Oh. Kalau gitu aku antar kamu ke kafe siang tadi. Ambil mobil dulu kan?"
"Eh enggak perlu, aku udah mau pesen taksi online kok ini."
Seperti tidak mendnegarkanku, memang tidak. Abra hanya diam dan membuka pintu, keluar dari ruangannya. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
Serem juga ternyata kalau lagi marah.
Aku segera menyusul langkahnya yang sudah melewati tangga dan sedang berbicara dengan salah atu karyawannya. Tepat di balik punggungnya, aku mendengarnya berpamitan dan meminta beberapa hal yang harus dilakukan karyawanya—yang kutahu bernama Pak Erik—termasuk mempercepat pengiriman barang yang sudah dikemas.
"Kalau begitu saya pamit pulang dulu, Pak Erik. Jangan lupa mengingatkan pada karyawan lain untuk mengecek setiap mesin dalam keadaan mati sebelum pulang."
"Baik pak." Setelahnya Abra hanya berlalu.
"Saya permisi dulu pak. Terima kasih atas pengalamannya hari ini."
"Sama-sama, teh. Terima kasih sudah berkunjung. Hati-hati di jalan."
Selama di dalam mobil hingga mengantarku kembali ke rumah, tidak ada pembicaraan apapun diantara kami. Abra hanya diam. Kecuali saat ia berpamitan pulang setelah aku menghampirinya untuk mengucapkan terima kasih. Aku tidak akan memikirkan apapun atas apa yang kulihat dan kudengar hari ini. Karena itu bukan wilayahku untuk mencapuri urusan pribadi Abra. Aku hanya berharap semua masalah yang dialaminya segera terselesaikan. Dan sepertinya malam ini aku bisa menghasilkan satu lukisan dari sketsa gambarku di pabrik.