Angin berhembus menggoyangkan dedaunan pinus dan cemara tua yang tumbuh di samping bangunan Gedung Kubah di Observatorium Bosscha, bangunan berarsitektur Art Deco berumur hampir seratus tahun yang berdiri soliter di atas bukit Lembang. Batang pohon itu berkeriut pelan lalu dua ekor burung robin terbang melesat dari sela-sela daun yang rimbun. Sebagian angin menerbangkan daun-daun tanjung kering, menghiasi halaman gedung yang sedikit basah. Aroma musim pun tercium di udara.
Gedung putih berbentuk silinder baratap kubah, menghadap ke timur dengan dua bagian bangunan, entrance dan ruang tempat teropong. Celah pada atap kubah yang bisa membuka dan menutup dan dapat diputar ke segala arah. Aku berdiri menatap bangunan tua yang ada di Kota Bandung ini. Ditemani Abra yang sibuk mengambil gambar. Setelah puas melihat teleskop Zeiss di dalam kubah, aku melangkah keluar menikmati suasana luar gedung yang terlihat asri. Rombongan anak sekolah berlalu di depanku dipimpin seorang pemandu.
"Ada apa dengan tatapanmu itu?"
"Ish.. ngagetin aja sih."
"Kamu yang melamun. Ada apa."
"Dulu aku pernah mendaftarkan diri sebagai dosen di saalah satu kampus di Bandung. Tapi entah kenapa tidak ada kabar apapun hingga hari ini."
"Belum rezekinya."
"Oh iya. Setelah ini mau kemana kita."
"Ke suatu tempat."
"Dimana?" Abra kembali sibuk dengan kamera di tangannya tanpa menjawab.
Selama beberapa saat kuarahkan tatapan pada cakrawala, pada awan-awan kelabu yang menggantung rendah di atas. Udara mulai terasa berbeda, dingin dan kali ini lebih terasa menyentuh kulit. Suasana di seitar Observatorium Bosscha menjadi berbeda.
Kujatuhkan tubuhku di tempatku berdiri. Meletakkan dagu di anatara kedua lutut, mengingat-ingat lagi percakapan dengan Athena di telepon semalam.
"Hari ini Panji melamarku."
"Maaf jika ini terdengar tidak masuk akal. Kami sudah berjalan hampir dua tahun. Bagaimana pendapatmu...?"
Aku bahkan baru tahu jika Panji dekat dengan Athena. Lalu aku menyadari Panji tidak pernah lagi menghubungiku setelah kejadian beberapa tahun lalu.
Di akhir obrolan, Athena mengatakan mereka berdua tengah merencanakan pernikahan. Apa aku marah dengan pernikahan itu? Iya, sebab Panji tidak berniat mengabari dan memberi kabar bahagia itu.
Aku ingin merasakan menjadi orang yang berbahagia dengan berita itu, Athena adalah temanku. Tapi tidak terjadi apa-apa. Apa aku harus tetap berpikir positif tentang kabar itu?
Ponsle di saku celana bergetar, mengembalikanku dari lamunan.
"Ya, bu."
"Bagaimana mini tourmu hari ini?"
"Menyenangkan. Semua terlihat indah di sini. Tempat ini, enak," jawabku sambil memindahkan ponsel di sisi kiri. "Bagaimana dengan kunjungan ibu?"
"Sangat baik. Anak-anak panti begitu antusias. Apalagi ibu membawa beberapa lukisaan minimu untuk mereka. Tadi ibu panti bercerita ingin menjadikan satu hari khusus dalam satu minggu untuk membuat kelas melukis. Dan saat itu juga ibu kepikiran sama kamu. Akan seru jika kamu mau menjadi guru melukis untuk anaak-anak panti di sini. Bagaimana?"
"Wow. Apa ibu akan mengizinkanku?" Aku nyaris memekik. "Kabar baik ini yag membuat ibu menghubungiku?"
Ibu terkekeh, "Hmm... kalau kamu senang mengapa tidak?"
"Sayang ibu. Eh..."
"Kenapa, Bell?"
"Ini di panti yang mana bu?"
"Tempatnya Bu Asih." Bu Asih? Tantenya Abra maksudnya? Ah sudahlah, setidaknya akan ada kegiatan rutin dalam tujuh hari.
"Sudah dulu ya, Bell. Taksi yang ibu pesan sudah datang."
"Tolong berikan ponsel ibu pada pak supir bu."
"Buat apa?"
"Sebentar saja."
"Iya, teh. Ada apa ya?"
"Bapak supir yang baik. Tolong bawa perempuan hebat yang sedang duduk di kursi belakang dengan selamat ya. Saya sangat mencintainya."
"Siap, teh."
Hening sejenak.
"Kamu ini, bikin ibu malu tahu, Bell."
"Hehehe, Bella sayang ibu. Muah."
Kepalaku sedang membayangkan ketika mengajari anak-anak melukis, pasti akan terasa menyenangkan. Aku mengetik di kolom pencarian tentang mengajar melukis. Beberapa judul artikel bermunculan.
"Tunggu sebentar," sahutku ketika Abra mengajak pergi dari Observatorium Bosscha dengan berjalan lebih dulu. Buru-buru aku memasukkan ponsle dan botol minum yang tadi kukeluarkan.
"Baa!"
"Hmm"
"Kamu lapar enggak?"
"Belum. Kita ke Ciumbuleuit. Nanti sekalian makan di sana saja enggak apa kan?"
Aku berpikir sejenak.
"Kamu bawa buku sketsa?" sambungnya. "Mungkin ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan nanti di sana."
Mobil Abra menyusuri ruas jalan yang ramai dengan rumah penduduk di kanan dan kiri. Lampu-lampu jalan mulai terlihat menyala satu per satu. Jauh di depan, pemandangan puncak gunung terlihat hitam dengan lampu-lampu kecil. Hari sudah mulai gelap. Langit berwarna emas ketika matahari akan tenggelam. Cakrawala akan segera berganti.
Udara hari itu terasa hangat.
Keheningan menentramkan menemani kami.
Abra mengendarai dengan tenang. Tidak ada musik, tidak ada obrolan. Aku mulai bosan hanya duduk berdiam. Pertunjukkan rutin sore hari terhalang rumah-rumah penduduk.
Pikiranku melayang ketika kami megunjungi pabrik.
"Kemairn itu kamu sedang ada masalah ya?"
"Maksudnya?"
"Emm.. maksud aku waktu aku mengunjungi pabrikmu."
"Ya begitulah. Tapi semua sudah selesai."
"Maksudnya selesai?"
"Lupakan saja." Aku hanya mengangguk. Itu bukan wilayahku untuk mencampuri urusannya.
Mobil Abra berhenti di salah satu halaman wisata, lebih terlihat seperti kumpulan rumah makan.
"Ayo masuk, Bell."
"Kita makan di sini kan? Udah laper banget soalnya."
"Salat dulu ya."
"OK."
Waktu menunjukkan hampir pukul tujuh malam ketika aku menyelesaikan kewajiban. Abra sedang memakai sepatunya ketika aku menoleh ke kanan. Di depanku, ratusan lampu menghiasi mataku. Angin berembus, sautan burung malam terdengar dari kejauhan. Langit gelap penuh dengan gugusan bintang. Terhambur indah dengan cahaya terangnya, sedang lengkung bulan menggantung damai di antaranya.
Dari tempat ini, aku seperti melihat dua lukisan. Langit dengan bintang-bintangnya dan bumi dengan lampu-lampunya. Dua bagian yang tidak tahu harus bagaimana aku membagi pandangan mataku untuk dapat menikmatinya secara bersamaan. Ketika rumah-rumah terlihat kecil dari sini. Dan langit terlihat begitu luas di atas sana. Manusia hanyalah bagian dari debu bumi yang tidak bisa menandingi karya Tuhan yang megah ini.
"Hari ini tepat tiga bulan semua selesai," tiba-tiba Abra berkata. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Tatapannya lurus ke depan.
"Tidak perlu cerita kalau tidak mau, Baa."
"Aku sengaja melakukannya," katanya. "Aku akan mengatakannya sampai tidak ada tentangnya yang tersisa..." ia berhenti sejenak. "...dan aku akan terbiasa."
"Omong-omong, bagaimana galerimu. Lancar?"
"Baik-baik saja. Semalam aku ngobrol sama Laras."
"Laras itu pegawai kamu itu ya?"
"Partner kerja."
Puas menikmati pemandangan. Kami menempati salah satu meja untuk memesan menu makanan. Abra sibuk mengamati suasana sekitar. Jari-jarinya megetuk meja pelan. Terlihat sedang memikirkan sesuatu, tapi aku membiarkannya. Ponsel di tanganku menampilkan artikel tentang keberhasilan seorang pelukis berdarah campuran yang sukses melakukan pameran di Bali. Frankiln. Atau Pande? Sama saja.
"Ahh," aku terkejut ketika tangan Abra menggenggamku.
"Kamu baik-baik aja?"
"Uhm.. ya tentu. Baik-baik saja."
"Kamu seperti melamunkan sesuatu," Abra terlihat mengamati wajahku. "Oh iya, kamu bisa buat sketsa ruang enggak?"
"Maksudnya gimana?"
"Aku lagi butuh ide untuk menata ruang yang akan jadi kafe baruku nanti. Kamu bisa bantu kasih aku gambaran mungkin."
"Kamu mau tema seperti apa?"
"Klasik seru mungkin ya," hening setelahnya. "Apalah terserah, asal punya ciri unik," sambungnya.
"Mungkin iya, mungkin enggak sih. Aku bantu nemuin ide buat kamu."
"Selesai makan ini kita pulang. Udah malem, nanti tuan putri disangka hilang lagi."
"Apa sih, udah izin ibu juga."
Kami menghabiskan makan malam dengan tenang. Semakin gelap, pemandangan di belakang kami semakin terlihat cantik. Dari bukit ini, tanganku seperti mudah meraihnya. Membawanya pulang, menyimpannya dalam toples kaca bening.
Tidak semua yang kita sukai, selalu bisa kita miliki.