Bab 24

Aku harus berhenti memikirkan Abra! Dan berhenti membanding-bandingkan Abra dengan Pande. Mereka tentu berbeda.

Itulah yang memenuhi kepalaku sementara aku memasuki halaman panti. Suara tawa yang diringi aroma bunga gardenia langsung menyambutku. Dari tempatku berdiri, terlihat anak-anak yang sedang berkumpul di ruang terbuka bagian muka bangunan panti. Ketika kakiku tiba di depan pintu, suasana ruang yang semula kutahu kosong kini terisi dengan meja-meja kecil dengan alat-alat lukis di atasnya.

"Woww!"

"Selamat pagi, Kak Bella," suara riuh anak-anak mengejutkanku yang masih berdiri.

"Selamat pagi adik-adik. Kalian sedang apa?"

"Mau belajar melukis dengan kakak," jawab anak perempuan yang kutahu bernama, Ila.

"Wah, Ila dan teman-teman sudah siap semua?"

Anggukan dan senyum penuh semangat terlihat di wajah mereka.

Hari ini adalah tiga hari setelah ibu memberi kabar baik tentang anak-anak yang akan belajar melukis. Aku yang sebelumnya tidak siap dengan segala persiapan, menjadi percaya diri dengan apa yang kulihat saat ini. Satu set alat lukis tersedia dengan rapi. Ruangan telah di tata dengan baik, satu meja besar dibiarkan kosong, itu bisa digunakan untuk meletakkan hasil lukis anak-anak nanti.

Dari ujung courtyard, Abra dan ibu panti terlihat berjalan menuju ruang dimana aku dan anak-anak berkumpul. Keduanya terlibat obrolan yang membuat mereka saling melempar senyum. Lagi-lagi kepalaku menangkap perbedaan Abra dan Pande. Jika ini tidak segera dihentikan, semua pasti akan kacau. Perasaan asing itu mulai dikenali hati, tapi aku mencoba menghalau ketika otak menerjemahkan pada satu hal yang lebih rinci.

"Assalamu'alaikum bu."

"Wa'alaikumsalam, Nak Bella. Bagaimana kabarnya?"

"Lebih baik setelah melihat antusias anak-anak hari ini. Terima kasih sudah memberi kesempatan kepada saya."

"Tidak tidak, saya yang seharusnya berterima kasih. Karena usul Nata, anak-anak jadi punya kegiatan baru di panti."

"Nata?"

"Oh. Maksud ibu, Abra." Suasana hening di sekitar kami setelahnya.

"Eh sudah sudah. Kapan dimulainya nih kalau ngobrol terus."

Ruang depan itu kini penuh dengan tawa. Beragam warna mengotori pakaian, tangan, dan wajah. Lantai putih juga tidak ketinggalan dengan tumpahan cat yang anak-anak gunakan. Setelah menyelesaikan masing-masing lukisannya, mereka berebut menceritakannya pada ibu panti dan Abra. Meja besar itu penuh dengan hasil goresan. Goresan-goresan yang memiliki banyak arti, itu bukan hanya sekadar bentuk imajinasi.

Kepalaku memutar kembali peristiwa masa lalu.

Ketika ayah mengajariku bagaimana membuat lukisan, memaknai setiap goresan yang aku tuangkan pada kanvas. Nasihat-nasihat ayah yang selalu menginspirasi pada setiap langkah dalam hidupku. Segalanya menetap dalam hati, menjadi penenang untuk alasan yang membuat rasa percaya diri jatuh.

Hari ini aku seperti melihat diriku yang dulu.

Didepanku Abra sedang bercerita tentang hasil karya dari beberapa anak panti. Tidak ada wajah lelah meski ada banyak pertanyaan, yang ada hanya bibir yang terus tersenyum, sesekali suara tawanya tertangkap telingaku. Disampingku, ibu panti tersenyum memperhatikan anak asuhnya yang bercerita dengan keponakannya. Pemandangan ini sungguh sederhana, tapi entah kenapa sederhana itu menjadi istimewa dimataku.

"Begitulah Abra kalau sedang bermain dengan anak-anak. Selalu menghibur. Anak-anak menjadi lebih cepat akrab." Aku diam mendengarkan, berharap lebih jauh mengenal Abra melalui ibu Asih. Lengang mengisi di antara kami.

"Ibunya sudah lama pergi, sejak ia berumur tujuh belas tahun," aku baru tahu fakta itu "dia hanya tinggal berdua dengan ayahnya, Wira adik saya."

"Maaf ibu," kalimatku terpotong.

"Panggil tante seperti Abra memanggil saya ya." Meski sedikit canggung, aku tetap memnggangguk.

"Tan...te tadi menyebut Abra dengan panggilan Nata?"

Hembusan napas berat keluar dari bibir tante Asih sebelum menjawab, "Panggilan itu adalah panggilan bagi orang-orang terdekatnya. Tapi tidak lagi berlaku semenjak ibunya meninggal."

"Abra adalah anak tunggal, setelah menyelesaikan studi bisnisnya, ia memilih untuk membantu usaha pabrik kopi milik ayahnya. Menemani adik tante yang masih saja kehilangan wanitanya, meski itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Tente tidak tahu apa yang terjadi pada, Wira, ayah Abra. Lebih sering melamun, meski tidak gila, tapi itu cukup membuat Abra merasa sedih. Dia selalu berusaha untuk tetap menjaga kesehatan ayahnya yang akan menurun saat mengingat istirnya."

"Perempuan itu pastilah perepuan hebat."

"Ya, kamu benar. Sejak tante mengenalnya sebagai kekasih Wira, aku tahu dia adalah perempuan yang baik. Bahkan setelah keduanya menikah, ketika adik tante memulai bisnis, perempuan itu menemaninya dengan penuh kesabaran. Hingga mereka akhirnya memiliki putra, kesabaran dan lembut hatinya diwariskan pada putra satu-satunya, Abra."

Fakta itu sudah kuketahui. Abra adalah salah satu laki-laki yang memiliki kesabaran, selain ayahku. Setiap tutur kata dan perbuatannya selalu menunjukkan kelembutan, bahkan ketika dalam keadaan marah, ia lebih memilih meredamnya.

Lengang sejenak. Sebelum tante Asih berpamitan untuk menyiapkan makan siang. Ketika aku berniat membantunya, tante Asih menolak dengan alasan sudah ada yang membantu. Aku hanya menggangguk. Kembali memperhatikan yang sempat kutinggal.

Aku ingat sekali kedekatanku dengan ayah sewaktu kecil. Tidak seperti sekarang. Aku ingin sekali menceritakan momen-momen dengannya, tapi kesempatan itu tidak ada lagi. Ayah telah pergi, meski bang Rafka selalu menjadi pengganti, kedekatan kami tentu berbeda. Aku selalu senang setelah menceritakan segala peristiwa, karenaa setelahnya ayah akan menasihatiku dengan kalimat-kalimat bijaknya. Tapi aku tidak akan lagi mendengarnya. Aku hanya akan mengingatnya.

"Kau adalah gadis yang penuh rasa ingin tahu, sekaligus memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal besar. Kau memiliki kesempatan untuk melihat dunia, lebih dari yang kamu lewati setiap hari. Kau adalah gadis yang memiliki hal-hal baik, sesuatu yang akan membuatmu terlihat menarik sebagai perempuan.

Jangan biarkan pikiranmu dipenuhi dengan hal-hal yang melelahkan. Kau tidak perlu memikirkan bagaimana nasibmu di masa depan, kau tidak perlu sibuk memikirkan riasan yang berlebihan, sibuk bagaimana menarik hati orang lain, sibuk memikirkan bagaimana rupa pasangan hidupmu di masa depan, kau jangan. Segalanya sudah diatur Tuhan. Kau hanya cukup menjalani apa yang terjadi hari ini, menghargai apa yang terjadi kemaarin, dan bersiap apa yang akan terjadi esok hari. Selesaikan hidup hari ini, dan Tuhan akan menilai semuanya."

Udara seolah berhenti, dadaku sesak ketika mengingat nasihat-nasihat ayah. Setelah kepergiannya, aku merasa bukan gadis seperti yang ayah katakan. Otakku selalu dipenuhi hal-hal yang kerap membuatku takut dan gelisah.

Sesuatu menyentuh bahuku dengan lembut.

"Kamu baik-baik saja, Bell?"

"Ehm.. Sedikit teringat tentang ayah. But, it's okay."

"Ceritanya sudah selesai ya?"

"Sepuluh menit yang lalu tepatnya." Sepuluh menit? Apa selama itu aku melamunkan ayah?

"Kurasa kamu sedang tidak baik-baik saja."

"Kau bisa membiarkan kepalamu istirahat sejenak."

"Caranya?" Abra mengambil sesuatu di belakangnya, di atas meja.

Satu buah apel untukmu."

"Apakah ini akan membuatku tertidur?"

"Mungkin. Coba saja." Kami tertawa bersama.

Pagi berlanjut menemui siang, siang berlanjut hingga menemui senja sore ini. Aku menatap arah matahari menghilang. Sesuatu tertangkap kembali dalam kepalaku.

"Bisakah Bella menjadi seperti apa yang ayah katakan?"

"Pasti. Suatu hari ayah akan melihatmu berdiri tegak, menjadi perempuan dengan sesuatu yang kau miliki, menjadikanmu berbeda. Kebaikan hati, keramahan, kesabaran, dan segala sesuatu yang membuatmu menjadi cantik, perempuan yang tidak peduli pada penilaian yang akan menjatuhkanmu, waktu akan menjadikanmu kuat. Kau adalah gadis dengan hati lembut, meski orang akan melihatmu dengan sejuta air mata. Tapi ayah tahu, anak gadis ayah adalah manusia dengan segala kepedulian dibalik air matanya. Pandailah membaca diri sendiri, kau harus bisa memutuskan mengatakan 'ya' dan 'tidak' untuk sesuatu yang berasal dari hatimu."

Hari ini, meski aku belum bisa menjadi apa yang kau inginkan. Biarkan aku sekali lagi mengucapkan mantra itu.

Terima kasih, Ayah, telah mengajarkanku menjadi perempuan yang kuat.

Keberanian untuk memutuskan segala rantai semu dalam kehidupan adalah satu penjelasan yang paling sederhana bagi siapapun yang ingin terbebas dari keresahan.

Sembunyikan rahasia-rahasia kecil kelemahanmu yang bisa membuat seseorang menghancurkanmu. Sembunyikan dalam ruang paling sunyi, hingga rahasia itu tak sanggup membisikkan sekecil apapun rahasiamu pada dunia. Jadikan itu milikmu sendiri.