Bab 25

Tidak semua orang yang terasa dekat bisa selalu terbuka denganmu. Untuk beberapa hal mungkin harus tersembunyi, hingga entah kapan, waktu yang selalu menjadi misteri akan membukanya sendiri.

Aku kembali membaca tempat di mana Athena memintaku untuk menemuinya yang dikirim melalui pesan. Orofi Café. Pikiranku mulai menjelajah pada kemungkinan-kemungkinan hal apa yang akan ia katakan.

Menghela napas sekali lagi.

Setibanya di lokasi, hujan lembut turun menyapa. Setelah beberapa hari hujan bersembunyi, malam ini aku menghidu kembali aroma itu. Tapi itu tidak lama.

Aku memandang sejenak dari halaman depan. Beberapa kali keluargaku menghabiskan weekend disini. Memesan banyak makanan untuk menghadiahi diri sendiri dengan menghabiskan waktu tertawa bersama. Menukar lelah dan jenuh sebelum kembali menjalani hari-hari yang sama.

I kinda miss this place.

Itu yang pertama kali muncul di benakku ketika menginjakkan kaki keluar dari mobil. Dari halaman kafe, meja dan kursi terlihat penuh.

Bunyi notifikasi masuk ke ponselku. Athena mengirimkan pesan tentang posisinya saat ini. Setelah mengambil napas beberapa kali, aku melangkah menuju pintu masuk. Menepuk-nepuk rambut yang sedikit basah sebelum benar-benar memasuki kafe. Lebih pada menyiapkan diri untuk suatu hal yang mungkin akan kuketahui setelahnya.

Lantai tiga Orofi Café. Dari ujung tangga lantai ini, aku menemukan Athena duduk di salah satu meja di sisi pagar pembatas ditemani seorang laki-laki dengan punggung menghadapku. Aku diam mengamati keduanya. Athena terlihat gelisah. Meski tidak begitu jelas, namun terlihat dari duduknya yang terus bergerak.

Aku menuju meja dengan perlahan. Enam langkah dari tempatku Athena akhirnya menyadari kedatanganku. Aku mencoba tersenyum dan memeluknya ketika jarak kami telah habis.

"Hai, maaf kalau sedikit lama. Tadi berhenti dulu di depan."

"Enggak apa. Terima kasih karena mau datang kesini." Athena berkata dengan memelukku erat. Suaranya sedikit bergetar. Aku melepas pelukan kami dan menatap seseorang yang duduk di belakangku.

Panji.

Sudah berapa lama aku tidak melihat wajah ini? Satu minggu? Dua bulan? Dua tahun? Pengap yang menyesakkan, udara dingin yang disisakan hujan sebentar tadi membuat gerah. Hujan berpindah pada kedua mataku ketika aku mendengar kembali suaranya.

"Apa kabar, Bell?"

Aku membuka mulut, namun tidak ada suara yag keluar. Gunting kecil mungkin sudah memotong pita suaraku hingga yang kulakukan hanya mengangguk.

Hening diantara kami.

Ketika suaraku tidak kunjung keluar, lengan besar itu melingkupi tubuhku yang bergetar. Membawaku pada perasaan yang bercampur aduk. Kesal. Marah. Kecewa. Rindu. Semua menjadi satu dan aku tidak tahu mana yang lebih dominan diantaranya.

"Sssttt..."

"Aku minta maaf karena menghilang tanpa kabar. Kita duduk dulu ya."

Dibantu Athena, aku meletakkan tubuhku disampingnya dengan senggukan dan air mata. Tangannya mengusap punggungku ke atas ke bawah.

"Kabar ibu, bagaimana?"

"Yahh, ibu baik-baik saja. Kapan hari ibu juga tanya soal kamu."

"Lalu?."

"Aku kan enggak tahu kabar kamu. Mau jawab apa, enggak ada."

Suasana canggung mengisi diantara kami setelah aku merespon Panji. Kesal masih menyelimutiku. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa disuasana seperti ini. Laki-laki yang katanya sahabatku, menghilang entah kemana. Tanpa kabar. Perempuan yang juga menjadi temanku, diam-diam menyembunyikannya.

Huuuhh.

"Jadi, sudah sejauh mana?"

"Bella." Athena yang pertama merespons.

"Hmm."

"Sudah lama aku ingin mengatakannya sama kamu. Hanya saja, Panji bilang kalau dia belum siap. Kemarin aku memaksa Panji untuk bicara jujur soal kami. Jadi seperti inilah sekarang. Maafin aku ya." Aku memeluknya. Kali ini tubuhnya ikut bergetar.

"OK. Sekarang kamu." Aku menunjuk Panji.

"Alasan apa yang akan kamu berikan padaku sekarang. Kamu membiarkan temanku berbohong padaku soal hubungan kalian. Woah, aku sungguh terkejut. Enggak mau bahagianya dibagi-bagi ya?"

"Enggak begitu, Bell. Ya aku ngerasa belum siap aja."

"Waahhh, aku tahu. Kamu masih malu soal kejadian diantara kita dulu?"

"Apa sih Bell. Ngaco deh."

"Kalian ngomongin apa?"

Rasanya aku ingin tertawa melihat ekspresi Panji yang duduk di depanku.

"Jadi Panji belum cerita sama kamu, Na?"

"Soal?"

"Bell, plis deh. Jangan gitu lah."

"Jangan gitu apa?"

"Ini kalian ngomongin apa sih?"

Panji akhirnya menceritakan semuanya dengan ekspresi yang baru pertama kali kulihat, malu. Hatiku menghangat saat mendengarnya bercerita tentang kisah kami. Tidak ada hal yang harus membuat Athena marah. Karena memang seperti itulah aku dan Panji berteman. Kami seperti saudara. Dan cerita itu berlanjut tentang persiapan pernikahan mereka.

"Bagaimana denganmu, Bell?" Panji bertanya setelah menyelesaikan ceritanya.

"Aku?"

"Dekat sama siapa sekarang?"

BUM!!

"Enggak ada."

"Yakin? Tapi mata lo berkata sebaliknya."

"Ih gaya banget. Sekarang pakai lo gue ya."

"Udah lama kali, Bell. Cuma pas sama lo aja dulu ngomong aku kamu." Kalimatku tertelan saat nada dering panggilan masuk dari ponsel Athena berbunyi. Beberapa menit kemudian, meja panjang itu menemaniku yang duduk sendiri.

Orofi Café semakin ramai dengan pengunjung. Pertanyaan Panji juga membuat kepalaku ramai dengan banyak pertanyaan. Perasaan itu semakin jelas setelah diterjemahkan oleh akal dan hati. Jatuh cinta. Tapi aku tidak tahu apakah itu benar.

Aku takut jika ini hanya bentuk dari harapan-harapan yang tidak memiliki tempat. Bukankah seringnya manusia yang jatuh cinta selalu menghubung-hubungkan segalanya hingga menjadi satu tali utuh. yang mungkin akan sulit diurai kembali. Logika akan membenarkan segalanya hingga manusia benar-benar terjerat dalam ikatan itu.

Semakin aku memikirkannya, semakin menggumpal rasa itu. Semua perlakuan dan ucapannya yang terekam dalam kepala seperti menjadi pupuk. Membuat perasaan itu tumbuh dan berkembang, sedang satu bagian dalam sudut hatiku masih tidak ingin meyakininya.

Aku tersentak oleh getar ponsel yang ada di saku celana. Satu notifikasi pesan masuk di layar kunci.

Abra.

Dadaku berdebar kembali setelah membaca pesan darinya.

Dulu kupikir Pande adalah laki-laki pertama yang mungkin akan kukenalkan pada ayah, tapi setelah masalah terjadi dia tidak kembali untuk mencoba memperbaiki. Mungkin karena aku memang bukan tempatnya untuk pulang.

Aku harus mulai memikirkan semuanya dengan hal yang sederhana. Mungkin benar, seiring berjalannya waktu sakit dan luka akan sembuh dengan sendirinya meski tetap meninggalkan bekasnya. Aku hanya perlu melihatnya hingga aku bosan dan rasa sakit dari bekas itu sama sekali tidak membuatku menangis.

Untuk semua hal yang akan terjadi di depan, aku akan membiarkanya terjadi seperti jalan cerita yang Tuhan tentukan. Karena sesungguhnya waktu adalah teman yang paling misterius meski setiap hari aku bersamanya. Tidak ada cerita yang akan dibagi waktu hingga kita mengalaminya dan saat itulah waktu mendongengkan kisahnya.

Dibentangan langit malam, perlahan mendung mengubur bintang. Mungkin hujan akan turun kembali. Sayang sekali. Pementasan raja malam harus selesai lebih awal dan aku harus pulang. Semoga langit masih menyediakan panggung untuk esosk hari. Ibu juga sudah berkali-kali mengirim pesan.

Malam ini sebelum tidur, kepalaku mungkin akan penuh dengan sepasang calon pengantin yang sedang berbahagia dan juga pesan dari Abra. Tidak apa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua akan baik-baik saja.