Bab 26

Hari Sabtu. Jalanan Kota Bandung ramai dengan kendaraan. Hujan semalam menyisakan mendung yang masih setia menemani hingga menjelang siang. Udara dingin seperti menembus kulit meski sedang berada di dalam mobil.

Setelah mendapat pesan semalam, benar saja, kepalaku penuh dengan apa yang harus aku lakukan, pakaian apa yang harus aku kenakan. Seperti kembali pada masa remaja yang sedang jatuh cinta. Meski aku tidak pernah merasakannya. Ibu yang berkunjung ke kamar pun akhirnya ikut membantuku. Sedikit malu, tapi akhirnya aku menceritakannya pada ibu. tidak banyak yang ibu katakan, beliau hanya memintaku untuk menjadi diri sendiri dengan membuat nyaman segala hal yang akan kulakukan.

Aku memilih tampilan seadanya. Celana kulot putih, t-shirt hitam panjang, dan rompi yang senada dengan bawahan. Setelah berbincang panjang lebar dengan iu di rumah, Abra meminta izin untuk mengajakku keluar. Aku tidak tahu jika ibu sangat akrab dengan Abra. Layaknya berbicara dengan Bang Rafka saat di rumah. Bagaimana laki-laki ini bisa semudah itu akrab dengan ibu.

"Kamu lagi mikir apa?" Aku mengangkat sebelah alis.

"Kening kamu dari tadi berkerut." Aku menarik kepala saat tangan Abra menyentuh keningku.

"Enggak ada mikir apa-apa."

Mengalihkan pandangan pada jalanan. Aku mulai menghitung pohon-pohon yang terlewat, mencoba menenangkan hati yang berdebar. Hitungan pohon ke tiga puluh, hujan kecil-kecil jatuh lebih dulu menyentuh kaca jendela mobil. Disusul kawanan hujan yang lebih deras namun tetap lembut. Tidak berisik. Semesta bicara tanpa suara. Kaca mulai terasa dingin saat aku menyentuhnya. Saat aku tidak lagi mengenali barisan bangunan di sisi jalan, aku menoleh pada Abra.

"Kita mau ke mana?"

"Ke rumah ayah."

"Ha?"

Ayah? Apa maksudnya... oh tidak. Aku mulai bergerak gelisah di kursi penumpang.

"Ketemua ayahku, mau?"

"Kamu tanya begitu saat aku sudah ada di dalam mobil kamu?" Tawanya mengalun merdu di telingaku. Tapi dadaku semakin berdebar mendengar jawabannya. Aku tidak menyiapkan apapun untuk bertemu dengan ayahnya.

"Aku enggak bawa apa-apa, Ba!"

"Iya, kamu enggak bawa?"

"Kenapa tiba-tiba begini coba?"

"Enggak perlu bawa apa-apa, Bell."

"Kita mampir dulu deh. Beli apa gitu. Ayah kamu sukanya apa?"

"Kenapa jadi bingung begini sih. Enggak perlu bawa sesuatu. Cukup kamu aja."

Jawaban Abra tidak membuatku tenang sedikit pun. Hujan di luar juga tidak berhasil membuatku tenang seperti biasa. Ini lebih hebat dari petir di malam hari. Ya Tuhan. Kenapa tiba-tiba begini? Bibirku merapalkan mantra yang diajarkan Bang Rafka.

Satu dua tiga, ada empat ada lima. Apapun yang ada di depan sana, Bella akan baik saja-saja.

Abra yang sedang mengemudi tertawa dengan satu tangannya menutup bibir. Apa ada yang lucu di luar?

"Satu dua tiga, ada empat ada lima. Apapun yang ada di depan sana, Bella baik saja-saja."

Aku terkejut saat Abra menirukan mantraku. Bagaimana bisa dia tahu?

"Mantra untuk apa itu, Bell?" lalu disusul tawa, kali ini dia tidak menahannya.

Apa sekarang aku juga mengucapkan isi pikiranku dengan keras? Ya Tuhan. Aku menutup seluruh wajahku dengan telapak tangan. Rasanya seperti terbakar.

Suasana hening menemani perjalanan, tidak ada percakapan yang terjadi. Di luar hujan masih berlanjut. Suasana jalanan Kota Bandung menjadi lebih lambat saat hujan mulai deras. Aku memandang luar. Mendung abu-abu menggantung luas. Kata ibu hujan akan turun lebih lama dibanding dengan awan yang berwarna lebih gelap. Malam ini Bandung akan lembab.

Aku mendengar suara penyiar radio. Saat aku menoleh, Abra sedang memilih stasiun yang bisa didengarkan.

"Tidak apa kan?"

"Hmm."

Lima belas menit berlalu. Mobil Abra tidak lagi berada di jalan besar. Laju mobilnya juga berjalan dengan pelan. Bukan masuk di gang sempit, hanya saja ada banyak anak-anak yang berlari bermain dengan sisa-sisa hujan yang mulai reda. Suara tawanya terdengar riang saat aku menurunkan kaca jendela.

"Kita sampai."

Aku mulai berkeliling memandang rumah-rumah di kanan dan kiri. Jelas rumah Abra berada di lingkungan yang menyenangkan. Ada banyak anak-anak yang bermain permainan tradisional di sekitar rumah. Seperti menghidupkan kembali masa-masa kecil yang hari ini mulai tergantikan dengan permainan teknologi.

Ke dua lututku bergetar saat menginjakkaan kaki di halaman rumah dengan desain Fasad Mediterania.

"Are you okay?"

"No," tapi Abra tetap menarik tanganku memasuki pintu rumahnya. Kenapa Tuhan mengabulkan doaku secepat ini.

Aku berhenti.

"Kenapa?"

"Pulang aja deh."

"Sebentar aja," Abra berhenti sejenak "tenangin diri kamu dulu baru kita ketemu ayah."

Ruang tamu itu terlihat luas dengan dinding putihnya. Tidak banyak barang yang mengisi. Hanya ada sepasang sofa, meja kecil disudut ruangan, dan beberapa lukisan aquarel bertema kopi mengisi dinding. Mataku menemukan satu etalase kaca yang berisi alat pembuat kopi manual. Salah satu yang kutahu namanya adalah syphon dengan bentuk dua tabung atas dan bawah.

Aku masih mengamati alat pembuat kopi ketika Abra memanggilku dari belakang. Memintaku untuk mengikutinya.

Aku menemukan laki-laki paruh baya sedang duduk di gazebo sudut taman dengan buku di tangannya. Takzim sekali membaca setiap hurfnya. Di sampingnya secangkir minuman yang belum kutahu apa isinya, menemani kegiatannya. Tidak ada siapapun selain kami, itu pasti ayah Abra.

"Selamat sore ayah. Abra membawa teman baru." laki-laki paruh baya itu hanya menoleh dengan diam. Tapi kedua matanya memandang kami secara bergantian. Tatapannya begitu dingin, tidak lama kemudian, laki-laki paruh baya itu kembali menekuri buku di tangannya. Takzim melanjutkan bacaannya.

Kakiku perlahan mendekatinya. Dua langkah dari jarakku berdiri, aku tahu cangkir itu berisi kopi.

Where She Went-Gayle Forman

Itulah judul buku yang sedang ada di tangan ayah Abra. Tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, turun ke bawah, begitu seterusnya hingga halaman berikutnya. Aku berdiri lebih dekat dengan ayah Abra dan mengulurkan tangan.

Lagi-lagi tatapan dingin itu menangkap mataku. Aku harus menelan ludah saat tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Perlahan tangan itu menyambut uluranku.

Hangat. Itulah perasaan yang kudapat saat telapak tangan ayah Abra menyambutku. Aku seperti merasakan kehadiran ayah disampingku. Hal selanjutnya yang tidak kusangka adalah, ayah Abra menangis.

"Ayah." Abra tergesa menggeser tubuhku saat mendekati ayahnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa beliau menangis? Sisanya, aku hanya bisa terdiam karena terkejut dengan kejadian itu. Yang kutahu Abra kembali dan duduk disampingku setelah mengantar ayahnya beristirahat.

"Apa aku berbuat salah. Mengapa ayah kamu menangis?" Abra menggeleng pelan.

"Bahkan sebelumnya tidak pernah seperti itu. Ayah tidak pernah menangis saat bertemu seseorang. Hari ini aku melihatnya menangis setelah bertahun-tahun hanya diam dan melamun. Dunianya hanya berisi kopi dan membaca buku. Setahun setelah ibu pergi, hanya itu yang dilakukan ayah."

"Kamu tidak pernah membawa ayah kamu ke rumah sakit?"

"Tidak berhasil. Aku tidak tahu jika ayah akan bereaksi seperti itu. Maaf untuk kekacauan yang terjadi."

"It's okay."

Situasi ini sulit untuk dipahami. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ayah Abra.

"Kamu baik-baik saja, Ba?"

"Tidak."

"Iya, kita tidak pernah baik-baik saja. Bahkan semua penghuni bumi hari ini sedang tidak baik-baik saja. Masing-masing orang dengan masalahnya. Hanya saja porsinya berbeda-beda. Bukan kamu saja, beban tidak akan terasa jika tanpa pundak. Maka boleh saja kamu merasa semua beban terasa menumpuk dalam pundakmu. Mungkin jika beban kau letakkan pada doa, akan terasa lebih ringan."

"Artinya?"

"Semua masalah datang dari Tuhan untuk menguji manusia. Maka hanya Tuhan yang bisa membantumu. Kamu memiliki tangan dengan dua pilihan. Pertama mengangkat tangan untuk berdoa dan yang kedua mengangkat tangan untuk menyerah. Tapi kuharap kamu memilih yang pertama."

"Yah, kuharap juga begitu."