Ada beberapa hal dalam hidup ini yang tidak bisa kita paksakan, meskipun itu untuk sebuah kebaikan. Manusia adalah letak semua permasalahan dan ujian hidup. Sebagai makhluk yang ber-Tuhan, sudah seharusnya kita bergantung kepada-Nya. Lewat tangan-tangan manusia lain, Tuhan menitipkan solusi atas masalah yang terjadi pada kita. Namun lebih seringnya kita yang tidak cerdik melihat petunjuk-Nya. Kita terlalu fokus pada masalah kita, seolah-olah kitalah yang paling menderita.
Setelah berdiskusi dengan ibu, ada satu hal yang kulupakan dan ayah selalu mengingatkan saat menghiburku. Bahwa cara terbaik melupakan hal terburuk adalah dengan menerima semua yang telah terjadi.
Kurasa itu benar. Setiap kali kita mencoba melupakan, secara bersamaan kita mengingatnya setiap hari. Pikiran kita dipenuhi dengan motivasi untuk membuang semua hal-hal buruk.
Kutipan penulis yang kubaca mungkin benar. Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami.
Berkali-kali pun kita memaksa lupa, pada kenyataannya akan percuma. Karena semua yang kita alami tersimpan dalam kepala. Saat kita bisa menerima, maka kita pasti bisa melupakan.
Seminggu berlalu. Aku lebih sering menemui Om Wira, ada atau tidaknya Abra di rumah. Tentu aku harus mendapat izin dari ibu, Bang Rafka dan Abra sebagai pemilik rumah. Meski bukan seorang dokter yang bisa menulis resep obat, saat melihat Om Wira, aku merasa ada perasaan sama yang kurasakan.
Sehari setelah peristiwa di belakang rumah, aku seperti melihat itu pada diriku saat ayah pergi. Mungkin rasa kehilangan itu tidak sama besar dengan apa yang kurasakan, karena ibu dan Bang Rafka selalu mendampingiku, menggantikan peran ayah untukku.
Berbeda dengan Om Wira dan Abra, dua lelaki yang mungkin tidak tahu bagaimana cara menghibur sesama. Semua tersimpan dalam diri masing-masing. Seperti benang kusut yang digulung asal yang tidak tahu bagaimana cara mengurainya.
Setekah bepikir lama semalaman, hari ini aku memutuskan untuk menemui Om Wira kembali. Abra bersiap ke pabrik saat aku turun dari mobil di halaman rumahnya. Kami berbincnag sebentar sebelum akhirnya Abra pamit dan mengatakan bahwa ayahnya berada di gazebo dengan kopi dan buku barunya.
Aku menatap langit setelah menemukan Om Wira.
Langit hari ini bersahabat baik dengan bumi. Meski jam sudah berada di angka sembilan, tapi gumpalan awan membantu meneduhkan bumi dengan bantuan angin. Bunga-bunga di taman belakang rumah ini membantu paru-paruku bersahabat lebih baik lagi dengan aromanya.
"Selamat pagi om," aku menunggu seperti biasa.
"Iya." Itu adalah hal baik.
Abra berkali-kali mengirim pesan padaku dan bercerita bahwa ayahnya sudah mau menjawab pertanyaannnya dengan 'ya' dan 'tidak'. Aku tersenyum membacanya. Bahkan ibu sempat curiga saat tidak sengaja melihatku.
"Baca buku apa?"
Tidak ada jawaban, tapi Om Wira menunjukkan sampulnya.
The Pilgrimage — Paulo Coelho.
Sebuah buku tentang perjalanan untuk mencapai pengetahuan diri, kebijaksanaan, dan penguasaan spiritual. Aku pernah membacanya. Salah satu paragraf yang berisi perkataan tokoh Petrus dalam buku yang kuingat,
"Gejala awal kita berada dalam proses membunuh impian adalah keterbatasan waktu. Orang-orang tersibuk yang pernah aku kenal dalam hidupku selalu memiliki cukup waktu untuk semua hal. Mereka yang tak pernah melakukan apa pun selalu merasa letih dan tak memperhatikan pekerjaan mereka yang berbeban sedikit. Mereka sering mengeluh hari terlampau singkat. Sebenarnya, mereka hanya takut berjuang dengan sekuat tenaga."
Apa itu sesuai dengan kondisi anak-anak saat ini? Mungkin.
Aku tidak tahu apa selera buku bacaan Om Wira, mungkin buku itu cukup untuk membantunya menyibukkan diri. Namun, setelah kuperhatikan kembali, bukan buku yang menjadi perhatiannya. Dibalik halaman itu terdapat satu lembar foto yang disembunyikan.
"Om sudah makan?"
"Ya."
Om Wira diam memperhatikan foto di tangannya. Sebuah foto yang memperlihatkan kebahagiaan laki-laki dan perempuan dalam baju pengantin. Mungkin itu adalah masa pernikahannya dengan istrinya, ibu Abra. Aku memanggilnya kembali.
"Hari ini Bella mau ke makam ayah. Harusnya bareng-bareng sama ibu dan abang, tapi Bang Rafka lagi ke luar kota."
"Om tahu enggak. Saat pertama lihat om di rumah ini, Bella ngerasa dekat lagi sama ayah. Bella bisa merasakan kalau ayah masih hidup, dekat dengan Bella lagi."
"Abra pernah cerita kalau om itu baik banget, sabar tapi juga tegas dalam waktu yang bersamaan. Sama seperti ayah Bella, orangnya tegas banget. Setiap Bella salah, maka Bella harus bertanggungjawab dengan apa yang dilakuin.
"Ibu sayang banget sama ayah. Saat ayah pergi dulu, ibu tidak menangis, kecuali saat mengunjungi makam ayah. Ibu tidak mau ayah berat disana saat melihat ibu harus menangis, maka yang ibu lakuin adalah berdoa untuk ayah." Om Wira tetap diam. Tapi aku tahu beliau mendengarkanku.
"Ibunya Abra cantik ya om."
"Ya. Cantik." Om Wira tersenyum setelah mengatakannya.
"Pasti rasanya bahagia banget bisa menjadi istri om, punya anak yang sabar, baik dan sopan seperti Abra."
Satu bulir air mata jatuh membasahi buku, membentuk pola di halamannya. Satu per satu air mata menyusul, membuat jejak di pipi Om Wira. Tapi saat itulah keajaiban terjadi. Dalam tangisnya, dengan lirih Om Wira bercerita tentang istrinya. Sesekali tangannya menyentuh dadanya, berhenti dan mengusap air matanya.
Aku belum pernah melihat wajah ibu Abra secara langsung, bahkan sekadar foto nya baru hari ini aku melihatnya. Tapi rasanya seperti sudah lama mengenal beliau melalui cerita Om Wira. Beliau mengisahkan pertemuannya dan perjalanan-perjalanan indahnya. Hingga tiba saat penyesalannya, beliau tidak ada disamping istrinya yang saat itu sedang sakit. Cerita itu berakhir, tapi kedua matanya masih menangis.
Aku meninggalkan Om Wira ke dapur.
"Bella buatin teh camomile supaya om lebih tenang. Diminum dulu om."
Hening menemani kami. Om Wira menatap kosong ke langit yang ternyata sudah berubah menjadi abu.
Bumi segera menampung air Tuhan.
"Maaf." Aku mendengarnya berbisik lirih.
"Tante enggak mungkin marah sama om. Karena tante tahu om saat itu sedang sibuk."
"Maaf."
"Bella antar ke kamar, supaya om bisa istirahat."
Hari menjelang sore saat aku memutuskan untuk pulang. Hujan lebat menahanku di rumah Abra. Setelah mengantar Om Wira istirahat, ditemani dengan Bi Parmi kami mengobrol tentang banyak hal. Ada banyak cerita yang kudengar dari Bi Parmi tentang ibu Abra. Bagaimana keseharianya dulu dan hal-hal menarik yang terjadi di rumah ini.
"Kamu masih disini Bell?"
"Ini mau pulang kok, tadi hujan deres banget. Lagi ngobrol sama Bi Parmi jadi lupa pulang kayaknya. Maaf ya."
"Enggak ada maksud mengusir Bell. Kalau aku tahu kamu belum pulang aku beliin makan tadi."
"Bi Parmi masak kok tadi. Kami makan bertiga dengan Om Wira."
"Ayah?"
"Hm em."
"Ayah makan di meja makan? Kamu enggak bohong 'kan?"
"Ngapain bohong sih."
Setelahnya jantungku berdebar kencang saat Abra memelukku dengan tiba-tiba. Tubuhku seperti kayu yang berdiri kaku sampai pelukan itu terlepas.
"Eh... sory Bell."
"I... ya. Sedikit terkejut."
"Aku enggak tahu kegiatan apa aja yang kamu lakuin hari ini dengan ayah. Tapi apapun itu aku sangat berterima kasih sama kamu. Hanya dalam hitungan hari mengenal kamu, ayah mengalami perubahan yang sangat besar."
"Kamu bisa berterima kasih sama ayah kamu, karena beliau mau berusaha untuk hidup lebih baik. Aku tidak memaksanya bercerita. Entah karena apa, beliau menceritakan semuanya padaku hari ini. Meski setelahnya beliau menangis hebat dan mengucapkan maaf berkali-kali. Tapi semoga hari ini akan menjadi awal yang lebih baik ke depan."
"Beliau sedang istirahat kalau kamu mau tahu. Maaf aku tidak izin masuk ke kamar ayah kamu. Tapi tadi di bantu Bi Parmi kok."
"Terima kasih Bell."
Hening. Abra memandang ke arah jendela yang menyembunyikan ayahnya.
"Satu yang harus kamu tahu."
"Apa?"
"Bukan memaksa melupakan hal terburuk untuk membuat orang lain bahagia. Ukuran bahagia bukan dari seberapa banyak melupakan hal-hal pahit dan menyakitkan yang pernah dialami. Semua dalam hidup ini adalah tentang penerimaan. Ketika orang itu mampu menerimanya, maka dia akan bahagia dan lupa pada rasa sakit itu. Suatu saat, ketika luka itu tidak sengaja dia lihat, dan dia mampu tersenyum, itulah luka yang benar-benar sembuh atas penerimaan yang dilakukannya."
Matahari menunjukkan pesonanya. Hari ini ada banyak perasaan lega yang kurasakan. Aku tidak bisa menjelaskannya satu per satu. Karena semua melebur dalam perasaan bahagia.
Mungkin kehadiran ayah semalam menjadi bagian dari apa yang terjadi hari ini. Setelah melihat Om Wira, aku juga ikut belajar tentang sebuah penerimaan.
Bahwa siapa yang bisa menerima dia akan bahagia.