Bab 28

Duduk berhadapan dengan beberapa tamu mengelilingi meja kayu bertaplak linen di tengah-tengah pesta bermandikan cahaya dan dan bunga mawar. Aku dan Abra menikmati hidangan salah satu meu prasmanan gubuk, batagor.

Setelah akad dilaksanakan pagi hari, acara berlanjut dihari yang sama pada siang hari. Dua manusia yang menjadi oraang penting setelah ibu dan Bang Rafka. Panji dan Athena berdiri menyambut tamu-tamu yang hadir. Senyum bahagia menghiasi wajah keduanya sejak acara akad selesai.

Gaun pengantin greyish brown melekat indah di tubuh Athena dengan setelan jas warna senada yang dikenakan oleh Panji. Seperti arti namanya, Dewi Kebijakasanaan, penggambaran itu semakin terlihat jelas dengan tema gaun yang dipilihnya dan mahkota kecil yang menghiasi kepala semakin memperlihatkan kecantikannya.

"Kamu kenal sama laki-laki yang berdiri di ujung sana?" Aku mengikuti arah pandang mata Abra.

Seorang laki-laki berpakaian kasual berdiri diam diantara para tamu undangan. Aku tidak mungkin salah mengenalinya. Tapi aku juga tidak yakin apakah aku benar. Pande berdiri diam dan memandanga ke arah meja yang sedang kutempati.

Sejak kapan Pande berdiri di sana? Meski sejak tadi merasa diawasi, aku tidak menduga jika ternyata Pande yang mengawasi kami. Tidak ada siapapun di sampingnya. Apa mungkin dia datang sendiri, tapi siapa yang mengundangnya. Panji? Athena tidak mengenalnya.

"Kamu kenal sama dia. Sepertinya pandangannya tertuju ke kamu."

"Mungkin teman Panji atau Athena."

"Kamu yakin?"

Aku tidak yakin Abra akan percaya dengan jawabanku. Tapi diam menjadi jalan terbaik sebelum aku semakin jauh menunjukkan keterkejutanku di hadapannya. Aku memasukkan kembali batagor ke dalam mulut. Saat aku menoleh kembali, Pande sudah tidak lagi berdiri memperhatikan meja kami dan aku bisa bernapas lega. Abra juga terlihat melanjutkan makanannya.

"Aku izin ke toilet sebentar."

"Perlu aku temani?"

"Kamu lanjutin aja makannya."

"OK"

Selalu begini. Keberadaan Pande berhasil membuatku bingung dan bertingkah aneh. Perasaan takut masih saja membayangiku, meski tidak sebesar sebelum pertama kalinya aku bertemu dengannya di kafe. Kenapa semua ini seperti belum selesai? Aku memerhatikan bayangan wanita di dalam cermin. Berbicara dengan dirinya.

Kau harus bisa menghilangkan perasaan takut itu, Bell. Semua sudah berlalu, semua sudat terlewat jauh.

Memastikan tidak ada yang aneh, aku kembali menata riasan di wajah sebelum kembali ke meja.

"Apa kabar, Bell?"

Aku terperanjat saat suara itu menyambutku di luar. Pande berdiri menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan satu kaki menahannya.

"Kuharap kamu baik-baik saja."

Aku mencoba mengabaikan keberadaan Pande dengan berlalu melewatinya. Aku hanya perlu menutup telinga untuk membuatku tetap tenang dan sampai pada meja dimana Abra berada. Tapi langkahku terhenti.

"Apa aku begitu menakutkan, Bell?"

"Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Sebentar saja."

"Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu benar-benar memaafkanku. Tidak lebih."

"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku memaafkanmu?"

"Tapi sikapmu tidak menunjukkan ucapanmu?"

Aku tidak akan memutar tubuhku untuk melihatnya. Cukup dengan suaranya saja yang sudah membuatku berdiri gemetar.

"Bell?"

"Apa yang kamu mau?"

"Aku tahu, apa yang aku lakukan di masa lalu mungkin tidak akan termaafkan. Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa saat semua yang kulakukan sama sekali tidak ada artinya. Semua waktuku habis dengan kegiatan diluar sana hingga aku bertemu dengan seorang gadis yang sederhana dan selalu menghargai hal-hal kecil, dan itu kamu. Kamu adalah orang yang mampu membuatku merasa berarti."

"Dan semua yang kamu lakukan sama sekali bukan berasal dari hatimu. Kamu hanya mencari kesenangan untuk menyenangkan hati yang luka. Lalu saat semua kembali normal, kamu melempar sesuatu yang membuatmu hidup kembali. Apa kamu pikir aku ini barang? "

"Aku tahu aku salah, tapi..."

"Stay put."

"Kamu tahu berapa lama aku harus berpura-pura semua akan baik-baik saja. Aku berusaha keras menolak bahwa aku pernah mengenalmu. Kamu tidak tahu, karena kamu hanya menginginkan rasa senang pada dirimu sendiri."

Berharap tidak ada siapapun yang melihatku berada di sini dalam keadaan yang tidak dapat kugambarkan seperti apa. Aku mengutuk Pande yang dengan berani mengikutiku.

Ketika semua yang kukira sudah hilang, ternyata hanya bersembunyi dalam hatiku.

"Bella..."

"Maaf, sungguh aku tidak akan mengganggumu lagi, kuharap ketika langkah kakiku semakin meninggalkanmu aku juga mendapat maaf tulus untukku."

Pelukan Pande semakin erat dipunggungku, bersamaan sesak dan air mata yang kurasakan. Aku berjanji akan memaafkannya.

Lebih mudahnya memberi nasihat pada orang lain. Tapi yang mudah dikatakan begitu sulit untuk dilakukan diri sendiri. Aku tidak bisa menyembuhkan diriku hanya karena aku mampu menyembuhkan orang lain. Seolah semua yang kukatakan adalah bentuk perlindungan atas setiap luka yang mungkin akan orang lain dapatkan. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah semua ini terjadi.

Pande melapas pelukannya dan memutar tubuhku.

"Aku berterima kasih kepada Rose karena darinya aku tahu bahwa kau baik-baik saja dengan semua kegiatanmu di sini. Aku harus menyiapkan diri untuk bertemu denganmu."

Rose. Sudah lama aku tidak mendengar kabarnya.

Apa itu artinya Rose tahu jika...

"Iya. Aku yang meminta Rose untuk menemuimu. Seseorang yang memesan lukisan di galerimu adalah permintaanku. Terima kasih dan maaf. Apapun yang terjadi di sini, aku berharap kau akan bahagia dan selalu baik-baik saja."

"Laki-laki yang bersamamu, dia orang baik."

"Abra?"

"Ya. Maaf jika aku lancang mencari informasi tentang kehidupannya. Aku hanya berharap kamu menemukan seseorang yang membuatmu bebas. Pergilah. Dia akan menjadi tongkat yang membuatmu semakin kuat. Pergilah. Aku harus segera berangkat?"

"Berangkat?"

"Pesawatku tiga jam lagi. Ah, Rose juga berpesan bahwa dia sangat merindukanmu, apalagi si kecil."

Langkah kakinya berlalu dari hadapanku. Tas kecil dipunggungnya menjadi hal terakhir yang kulihat sebelum menghilang dari pandanganku.

"Aku memaafkanmu."

Aku tersenyum untuk pertama kali setelah bertemu dengannya. Semua sudah berakhir, benar-benar berakhir. Perasaan berat itu sudah kehilangaan bebannya, yang tersisa hanyalah kelegaan. Tidak ada lagi rasa benci dan amarah untuknya.

Aku tersentak saat seseorang menepuk bahuku.

"Syukurlah kamu baik-baik saja. Hampir tiga puluh menit kamu berada di sini?"

"Ah maaf. Ada sedikit masalah, but it's okay. Semua baik-baik saja."

"Begitu? Baik, kita kembali ke meja."

Mobil kami melaju di tengah jalanan kota Bandung yang padat. Abra menyetir dengan tenang. Lampu jalan satu per satu menyala ketika hari akan berlalu. Titik-titik lampu gedung beradu dengan warna langit yang terlihat merah. Ini adalah sambutan paling baik.

Sekali lagi aku menatap ke depan sebelum menjatuhkannya pada Abra. Aku tahu apa yang Pande katakan benar. Abra adalah laki-laki baik dan aku berterima kasih pada Tuhan karena memberiku kesempatan bertemu dengannya.

Sekali lagi aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Jika saja setiap manusia bisa menata jalannya masing-masing, aku yakin, bumi akan dipenuhi dengan keegoisan. Tuhan selalu bekerja dengan baik atas setiap kehidupan manusia.

Ketika ketidaksengajaan yang terjadi dalam hidup kita adalah kesengajaan yang Tuhan ciptakan, akan mengajarkan kita tentang memahami dan memaknai, untuk kemudian mensyukurinya. Disanalah letak anugerah Tuhan.

Tuhan, terima kasih telah menuntunku hingga hari ini.