Bab 29

Setelah menyelesaikan kelas melukis, Tante Asih mengajakku berbincang tentang anak-anak panti sambil berkebun. Aku baru menyadari ada satu anak yang tidak hadir selama kelas melukis. Sepasang orang tua ternyata telah mengadopsinya dan membawanya pulang.

Siang bergulir menuju sore, ketika kami menyelesaikan kegiatan kami.

Aku memasuki mobil sambil tersenyum tipis.

"Terima kasih," kataku pada Abra yang dijawab dengan anggukan.

Saat mengetahui aku datang dengan mobil online, Abra menawarkan untuk mengantarku pulang ketika ia datang berkunjung. Mobil menembus jalanan Kota Bandung yang ramai dan akan semakin ramai saat jam pulang kantor. Abra megemudi dengan diam tidak seperti biasanya. Mungkin ia hanya ingin fokus dengan kemudinya.

Bandung di sore hari terasa lebih dingin. Paris van Java ramai oleh kendaraan dan para pejalan kaki. Cahaya matahari menyiram bangunan-bangunan dan sudut-sudut di sepanjang Jalan Braga. Gedung-gedung ikonik dengan gaya artdeco hingga kafe dan coffee shop eksentrik semakin terlihat menarik.

Kami meninggalkan mobil dan memilih untuk menikmati sore dengan berjalan kaki. Ada banyak orang berlalu-lalang memasuki dan meninggalkan gerai. Bangku-bangku yang disediakan juga terlihat penuh oleh pejalan kaki yang beristirahat. Aspal terlihat lebih hitam karena hujan, terasa lembab tapi itu bukan masalah.

Meninggalkan sudut jalan menuju sisi lainnya, kami duduk pada salah satu bangku setelah melihat sepasang remaja meninggalkannya. Ditemani roti yang Abra dapat dari toko roti tua yang ada di Jalan Braga ini. Dan dua gelas kopi manual brew yang kupesan take away dari salah satu coffee shop.

"Croissant or puff pastry?"

"Croissant, please." Aku menerima sepotong roti setelah Abra mengambil satu gelas dari tanganku. Kami menikmati roti dan kopi di tangan masing-masing.

Suasana seperti ini selalu berhasil mengundang banyak hal untuk bisa dipikirkan. Seolah setiap cabang yang pernah pupus kembali bersemi lagi dalam kepala. Tapi suasana pedesterian kota Bandung membuatku menikmati semuanya, bahkan untuk hal-hal yang menyakitkan sekalipun. Aku tersenyum untuk beberapa hal yang melintas dalam kepala. Dan kopi membantuku menikmati segala kenangan yang tersimpan rapi. Satu pesan dari Pande melintas.

"Sampai jumpa, Bell. Suatu saat ketika aku kembali untuk berkunjung, kuharap kamu lebih baik dari hari ini. Akan ada banyak cerita yang kuharap juga bisa kau bagi denganku, apapun itu. Berjanjilah untuk hidup dengan baik. Melukis dan tuangkan segala kisah dalam kanvas putihmu."

Aku berjanji untuk memaafkannya. Dan benar saja, semua menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pesan yang dikirim melalui email itu masuk satu minggu setelah pesta pernikahan Panji. Dan aku semakin tersenyum ketika notifikasi pesan masuk di ponsel, Athena mengirim sebuah gambar saat dirinya tiba di Lombok.

"Kenapa senyum-senyum?"

"Temanku yang minggu lalu menikah, mengirim gambar."

"Oh." Jawaban singkat Abra membuatku semakin bertanya. Sudah sejak tadi, dia hanya diam. Kupikir suasana sore ini menjadi alasan keheningan diantara kami. Setelah kuperhatikan lagi, Abra diam lebih karena sesuaatu beban.

"Sesuatu sedang mengganggu pikiranmu?"

"Kenapa?"

"Entahlah, aku seperti merasa kamu lebih banyak melamun, tapi bersamaan juga kamu seperti sedang memikirkan sesuatu."

"Apa ada masalah di coffe shop?"

"Tidak. Terima kasih karena sudah bertanya," ia menggigit kecil lagi roti di tangan kanannya lalu mendorongnya dengan satu tegukan kopi. Tatapannya beralih ke sisi kiri dan aku mengikutinya.

Langit sedang menyajikan karya terbaiknya dibalik celaah-celah gedung dan tiang lampu kota. Bola langit sebentar lagi akan tenggelam dalam beberapa menit. Mendung tipis menyelimuti, membuatnya terlihat lebih jelas.

"Apa yang cocok untuk sesuatu yang ada di sana?" Abra bertanya dengan menunjuk langit yang semakin merah. Aku diam, memikirkaan sesuatu yang sedari tadi juga menjadi topik besar dalam kepalaku.

"Waktu. Sesuatu akan berakhir indah jika telah tiba waktunya. Sama seperti senja, ketika hujan menghilang, mendung hitam menghilang, yang tersisa hanya matahari dengan awan tipis yang akan membuat langit terlihat mewah. Semua ada waktunya. Sebentar lagi kemewahan itu juga akan menghilang, tapi setidaknya aku berhasil menyimpan keindahannya. Mengumpulkan senja-senja lain esok hari dan sisa waktu yang masih Tuhan titipkan untukku."

Aku mendengar udara yang diambil dengan keras hingga dadanya terangkat, lalu menghembuskannya hingga kedua bahunya merendah.

"Apa yang terjadi setelahnya?"

"Kita mungkin bisa menikmati bintang, mungkin hujan, mungkin juga lagit tanpa keduanya. Hanya gelap."

"Lalu?"

"Lalu, kita bisa menikmati semuanya, apapun yang sedang langit sajikan."

"Jika kamu dihadapkan dua pilihan, apa yang akan kamu lakukan?"

"Menghitung satu per satu kemungkinan terbaik dan terburuk dari masing-masing pilihan."

"Jika yang kamu pilih salah?"

"Setidaknya aku sudah memilih, apapun yang terjadi di depan adalah apa yang memang Tuhan rencanakan. Itu yang dikatakan ayah kepadaku."

"Apa kamu akan menyesal?"

"Menyesal mungkin iya, tapi ayah selalu mengajarkan, mungkin dari kesalahan itu kita menemukan sesuatu yang harus kita perbaiki. Ini memang klise, tapi bukankah melalui kesalahan Tuhan selalu mengajarkan hal baru setelahnya?"

"Iya, kamu benar." Kami saling diam. Aku memikirkan sesuatu yang baru saja kukatakan. Pada kenyataannya, Tuhan memang akan memberikan hal baik untuk setiap kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan. Dan ayah mengatakan, hal baik itulah yang akan mengajarkan kita untuk lebih baik jika kita mampu membacanya.

"Kopi dan teh. Mana yang akan kamu minum lebih dulu?" Pertanyaan Abra semakin random. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dia ketahui melalui pertanyaan-pertanyaan itu.

"Aku akan mengambil teh, tapi bukan berarti aku akan mememinum keduanya secara bersamaan."

"Ke...," aku menghentikannya sebelum dia berhasila menyelesaikan kalimatnya, "Abra, stop! Sebenarnya apa yang ingin kamu ketahui dari semua pertanyaan kamu?"

"Kenapa?"

"Kamu hari ini aneh. Tidak, maksudku sejak aku memasuki mobil kamu sampai kita duduk di sini. Apa sesuatu sedang mengganggumu?"

"Lebih baik kamu mencari musala. Aku akan menunggumu di kedai seberang."

Aku berjalan menuju salah satu kedai, memesan kopi sekali lagi. Dari balik kaca jendela, tidak air Tuhan turun, ternyata hujan yang menyambut malam. Seperti embun deras dipagi hari, langit menjatuhkan airnya dengan begitu lembut dan kecil. Jatuhnya tidak menimbulkan suara, hanya wujud yang akan tetap membasahi setiap sudut Jalan Braga malam ini.

Abra kembali tidak lama setelahnya, berlari dengan menjadikan denim abunya sebagai penutup kepala. Tiba di depanku, tangannya sibuk mengibaskan celana dan baju untuk mengusap air hujan yang menempel, meski akhirnya itu membuat bajunya semakin basah.

"Kamu mau pesen kopi?"

"Enggak deh, kita cari makan di tempat lain."

Mobil kami meninggalkan padatnya Jalan Braga. Wajah Abra terlihat lebih santai daripada sebelumnya, dan aku senang melihatnya.

Tiga puluh menit setelahnya, mobil kami berhenti tidak jauh dari kedai bakso di kawasan Asia Afrika. Setelah berdebat kecil tentang makanan pinggir jalan paling enak, akhirnya Abra menurutiku untuk menikmati semangkuk bakso langgananku dan Bang Rafka.

"Cobaik deh, pasti kamu suka."

"Beneran enak?"

"Cobain aja dulu."

Satu gigitan besar masuk ke dalam mulutnya, ia diam sebentar dan sisa gigitan pada sendok menyusul setelahnya.

"Gimana?" Abra mengangguk dengan menyesap kuah bakso. Kami menghabiskan satu porsi mangkok bakso dan segelas es jeruk dengan tenang.

Setelah perut merasa nyaman, kami melanjutkan perjalanan untuk mengantarku pulang.

Di tengah perjalanan Abra berkata, "Soal tadi aku minta maaf. Mungkin pertanyaanku agak sedikit aneh. Lupakan saja. "

"Em hmm. OK."

Mendekati kawasan rumah, Abra kembali bertanya, "Laki-laki yang ada di pesta itu, teman kamu ternyata." Aku terkejut setelah mendengar kalimatnya. Dari mana Abra tahu tentang hal itu?

Setelah mengatur debar jantung, aku berhasil menjawab pertanyaannya, "kata siapa?"

"Maaf jika aku lancang."

"Kamu mendengar pembicaraan kami?" Aku berharap Abra akan menjawab tidak, tapi yang kulihat setelahnya ia mengangguk. Hal lain yang kuharap tidak dilakukan Abra adalah, bahwa ia hanya sekadar mendengar tanpa melihat kami. Tapi aku tidak memiliki keberanian untuk bertanya.

Sisa perjalanan kami habiskan dengan keheningan. Abra tidak lagi bertanya atau mengatakan sesuatu tentang peristiwa itu, dan aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak punya alasan untuk menjelaskan apapun tentang masa lalu yang memang sudah selesai.

"Salam untuk ibu. Aku jalan langsung."

Dan malam itu berlalu dengan dingin. Hujan kembali menjadi hal yang tidak kuinginkan. Masa laluku memang telah selesai, tapi aku tidak tahu jika itu menjadi sesuatu yang akan mengganggu.