Bab 30

Bandung selepas hujan selalu terasa menyenangkan. Kesejukannya berhasil mendinginkan isi kepala, setidaknya itu bagiku. Ketika melukis tidak berhasil meredakan cemas dan khawatir, sisa hujan menggantikan peran. Ruang di dada dipenuhi sesak, dan aroma hujan turut serta mendamaikan gelisah saat aku menghidunya perlahan.

Sudah tiga hari Abra menghilang tanpa berkabar. Dia juga tidak mengirim pesan meski hanya sekadar menanyakan kegiatanku. Membuatku memikirkan kembali kejadian sewaktu di pesta Panji. Meski ibu berkata kemungkinan Abra sedang sibuk, tapi hatiku seolah berkata bukan itu alasannya. Aku tidak bisa lagi menyelesaikan lukisanku karena hal ini. Semua yang kukerjakan seperti tidak ada rasanya. Panggilan masukku selalu berakhir di kotak suara. Ia seolah sengaja menyembunyikan diri, atau aku yang terlalu berlebihan.

Aku mendengar helaan napas yang sengaja kuciptakan. Perasaan bersalah seperti sedang mengikutiku. Tapi aku tidak tahu apa yang salah.

"Flat white coffee nya, kak."

"Terima kasih."

Setelah tidak tahu apa yang aku tuang pada kanvas, aku memutusukan untuk meninggalkan galeri dan memenuhi kepala dengan aroma kopi. Suasana coffee shop yang berjarak tiga puluh menit dari galeri cukup ramai dengan pengunjung. Ada banyak orang dengan stelan kantor duduk melingkar pada meja-meja kayu dengan kudapam masing-masing di depannya. Sibuknya para pelayan sedikit menghiburku. Berkali-kali lonceng di atas pintu juga berbunyi bersamaan hilir-mudik pelayan yang mengantar pesanan.

"Aku berencana untuk bertemu denganmu esok hari, tapi ternyata kamu disini." Laki-laki yang sedang memenuhi kepalaku berdiri dengan sehat di depanku. Dua kantong entah berisi apa memenuhi kedua tangannya. Dia terlihat baik-baik sajaa.

"Sebentar, aku ke belakang dulu," katanya dengan mengangkat kedua tangannya lalu berlalu. Apa aku tidak sengaja datang di salah satu coffee shop nya? Tidak lama Abra kembali dan duduk di depanku.

"Abra?"

"Hi, udah lama disini?"

"Satu jam yang lalu, mungkin."

Rasanya aneh setelah melihat Abra tiba-tiba berada di depanku, setelah dua hari aku menggerutu tidak jelas. Pertanyaan yang sebelumnya kudaftar sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk keluar dari mulutku. Keberadaanya cukup membuatku tahu bahawa Abra baik-baik saja.

"Apa aku secara tidak langsung datang di salah satu kafemu?"

Suara tawa renyahnya terdengar di telingaku sebelum akhirnya menjawab, "ya, dekat dengan galeri kamu 'kan?". Aku mengangguk pelan.

"Belum pengin pulang?"

"Yahh, setelah seorang laki-laki menghilang tiba-tiba dan aku kehilangan selera dengan lukisanku. Apalagi yang bisa kulakukan selain ini," aku mengangkat Caffè mocha di tanganku. "Belum tentu juga di rumah akan bisa tidur."

Lonceng berbunyi sekali lagi. Hari sudah beranjak malam ketika Abra muncul. Serambi Cafe—yang baru kutahu ternyata milik Abra—semakin ramai oleh orang-orang baik yang memesan dengan meja ataupun take away. Latar musik yang diputar semakin terdengar nyaman di telinga.

"Kamu apa kabar?"

"Baik."

"Syukurlah." Kami terdiam kembali. Sesekaali Abra mengangguk, tersenyum ketika seorang pegawai menyapa melewati meja kami. Gelas flat white menjadi objek permainan tangan. Sesekali aku juga memainkan ponsel.

"Kita ke sana sebentar yuk?"

"Kemana?"

"Ke meja bar."

"Mau ngapain?"

"Aku kasih tahu kamu cara bikin kopi kesukaan kamu." Tanpa meminta persetujuanku, Abra menarik tanganku menuju meja bar kafe.

Abara benar. Aku mulai tertarik dengan alat-alat di meja bar seorang barista ketika semua berawal dari kebiasaan mengunjungi coffe shop, aku juga mulai penasaran bagaimana seorang peracik kopi menyeduh kopinya sehingga senikmat ini kita minum bukan. Selama ini aku hanya cukup mengetahuinya melalui sebuah artikel.

Di balik meja bar berdiri beberapa barista yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Abra memasuki pintu kecil di balik meja bar yang diletakkan di sisi kanan pintu masuk kafe. Aku mengamati tangan yang begitu terampil membuat kopi. Ayunan tangannya terlihat begitu ringan saat membuat art diatas seduhan.

Pandanganku menjelajah pada keseluruhan alat mesin kopi yang tertata rapi di meja bar. Di ujung meja bar terdapat Grinder, alat penggiling kopi untuk menghasilkan secangkir kopi yang enak dibutuhkan biji kopi yang segar. Dari sekian banyak mesin kopi, hanya kattle dengan leher angsa yang akrab denganku.

Seorang pelanggan menghampiri meja untuk membayar pesanannya. Aku baru menyadarinya bahwa kasir kafe ini adalah seorang gadis. Rambut cokelatnya tertutup dengan topi bisbol yang senada dengan seragam kafe. Ia menyapaku ketika berbalik dan menubruk pandanganku yang kubalas dengan anggukan. Sepertinya kami seumuran.

"Eh." Aku terkejut saat tangan Abra mengalungkan apron padaku.

"Biar enggak kotor bajunya." Suasana terasa canggung ketika orang-orang Abra memandang kami. Aku menghentikan tangannya yang sedang mengaitkan tali dibelakangku.

"Aku bisa melakukannya sendiri. Terima kasih."

"Ok, sekarang kita mulai dengan mesin kopi yang akan kita gunakan untuk membuatnya."

"OK"

"Kamu tahu apa itu latte art?"

"Espresso susu dengan gambar diatasnya."

"Seni latte adalah cara menyiapkan kopi dengan menuangkan susu panas pada secangkir espresso dan menciptakan pola atau desain di permukaan latte. Sekarang kita akan membuatnya tanpa mesin yang bisa kamu coba di rumah."

"Kita siapkan dulu aerolatte milk frother, minipresso, termos stainless steel dan microwavenya. Kamu buat foam susunya dan aku akan menyiapkan espresso."

"Ih enggak tahu, gimana caranya?"

"Nih, kamu tuangin susu ke dalam termos lalu tutup rapat dan kocok termos dengan cepat sekitar satu menit hingga susunya berbusa. Tuangin susu dalam cangkir ini dan panaskan ke dalam microwave selama 30 detik. Ingat ya."

Selama aku menyiapkan foam susu, Abra menyiapkan espresso dengan sesekali menanggapi pertanyaan dari pegawainya. Telingaku sedikit ngilu ketika mereka menanyakan tentang hubungan kami yang ditanggapi dengan senyuman Abra yang tiddak kutahu apa arti dari senyuman itu.

Aku terbatuk ketika tiba-tiba pandangan Abra berputar kearahku. Ia menghampiri dengan menepuk punggungku lembut.

"You okay?"

"Yup."

"Ok. Sekarang kita racik keduanya. Kamu liat punyaku dulu, nanti kamu juga coba di gelas kamu." Aku mengamati tangan Abra yang sedang berputar-putar membentuk sesuatu di gelasnya. Meski aku tahu dia pandai membuat kopi, tapi pemandangan ini menjadi objek yang begitu menarik untukku. Ketika aku dapat menyaksikan langsung tangannya yang terampil dengan alat-alat kopinya.

"Sekarang giliran kamu."

"Aku enggak bisa, Ba."

"Coba aja dulu." Aku mulai mengingat dan melakukan irama tangan yang dilakukan Abra meski sedikit bergetar. Aku meletakkannya saat gelasnya telah penuh. Abra dan beberapa orang di meja bar memandang ke arahku.

"Keren, teh. Cukuplah sebagai pemula," salah satu barista berkata dengan mengangkat jempol.

"Tidak buruk. Sekarang kamu bawa dan aku anterin pulang."

"Apronnya lepas dulu." Aku membuka ikatan tali di balik punggungku. Meja bar kembali dengan kegiatannya saat aku bersiap.

"Nuhun, saya pulang dulu teman-teman."

"Mari, teh. Hati-hati."

"Saya pamit dulu, kalian berberes setengah jam lagi."

"Siap, kang."

Mobil yang dikendarai Abra memasuki lingkngan rumah. Meski belum beranjak tengah malam, tapi suasana lebih cepat sepi ketika udara semakin dingin. Selama di mobil aku tidak bertanya kemana menghilangnya Abra selama tiga hari, dan ia juga tidak bercerita. Aku tidak akan menanyakan sesuatu yang tidak ingin ia ceritakan.

"Kira-kira kamu besok mau kemana?"

"Emm, stay di rumah. Ada satu lukisan yang harus kuselesaikan."

"Kenapa?"

"Enggak ada. Aku langsung jalan ya. Selamat malam Bella."

Mobilnya berlalu setelah aku memasuki pagar. Aku menghabiskan sisa latte dengan duduk di teras. Perasaan bersalah yang kurasakan sebelumnya masih tersisa. Tapi aku mencoba membuangnya. Aku harus memikirkan lukisan yang belum kuselesaikan hampir dua minggu.

Abra. Laki-laki dan rahasianya.