I've never been a father, but I know how its feels to be his daughter.
Hidup terus berlanjut sampai Tuhan mengizinkan tubuh kita untuk merebah, berakhir. Sebelum waktunya tiba, kita hanya bisa mengikuti rencana Tuhan pada setiap sudut dan titik hidup kita. Ketika aku kehilangan ayah aku tahu, aku juga kehilangan nasihat dan kebersamaannya, dan yang harus aku lakukan adalah tetap mengingatnya. Bagaimana menyimpan sisa kehangatannya untuk membantu saat aku merindukannya.
Dua pohon bungur di pekarangan rumah sibuk menerbangkan mahkota bunganya. Meliuk pelan dengan tiupan angin sebelum jatuh merebah di atas rumput jepang. Hal paling menyenangkan, entah mengamati merekahnya bunga, guguran daun di tanah, mendongak pada ranting yang meranggas, terasa setiap bagian tanaman bungur mengetahui fungsi dan waktunya. Saat bersemi, saat merimbun hijau, saat mempersembahkan mahkota bunga meruah, hingga gugur dan memberi kesempatan daun baru memulai dharmanya. Seperti peneguh janji, untuk segala sesuatu yang ada waktunya, menjadi bagian dari misteri pesona gugur bungur.
"Neng, makan dulu." Bi Rasti memanggil dari belakang.
"Nanti aja, lagi nanggung ini."
"Ndak bisa diselesaikan nanti setelah makan siang aja?"
"Enggak, duluan aja sama ibu. Nanti Bella makan sendiri enggak apa."
Bukan perkara selesai nanti atau Putri ang. Selama apapun aku berada di depan calon lukisan ini, rasanya mustahil aku bisa menyelesaikannya saat itu juga. Setiap kali mengingat senyum dan tatapannya, perasaan kehilangan itu semakin terasa.
Sketsa di kanvas semakin terlihat jelas saat aku menyapukan cat diatasnya. Pada tubuh yang dulu selalu kupeluk dalam segala ketakutan. Postur badan yang tegap selalu berhasil membuatku tenggelam dalam kehangatannya. Dan dalam rengkuhnya selalu kutemukan rasa nyaman.
Aku meninggalkan ruang lukis dan membawa segala perlengkapannya setelah berjam-jam hanya duduk mengamati. Perasaan rindu itu mungkin akan terobati jika aku berada pada tempat dimana aku selalu menemukan obatnya. Rumah pohon kami.
Bandung selepas ashar terasa lebih hangat. Dari dalam rumah pohon ini aku menemukan beberapa sarang burung diantara ranting-ranting dan daun yang rindang. Satu diantaranya sedang disusun burung kecil di keteguhan lengan pohon. Tubuhnya dibawa terbang mencari rumput-rumput kering, membawanya kembali dan menyusunnya melingkar dengan paruh kecilnya.
"Dek, ada tamu buat kamu," suara bang Rafka terdengar dari bawah. Aku mngintipnya dari atas melalui jendela kecil.
"Ngapain kamu disini?"
"Turun aja dulu, Bell." Mereka berbincang sebentar.
"Enggak mau."
Setelahnya bang Rafka menyeringai dari bawah. Aku tidak tahu apa yang dikatakannya pada Abra, tapi sejenak kemudian ia berlalu dan Abra menaiki tangga menuju rumah pohon.
"Mau ngapain?"
"Naik."
"Iya, mau ngapain sih?" Abra hanya tersenyum tipis. Aku membiarkannya dan berusaha kembali bagaimana menyelesaikan lukisan di hadapanku Putri ang. Rasanya mulai kesal, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan pada kanvas ini. Ulang tahun ayah tiga hari lagi, tapi aku tidak bisa menyelesaikan lukisan wajahnya hingga hari ini.
"Sketsa wajah siapa itu?"
"Ayah."
"Oh. Jadi yang Rafka maksud tadi kamu lagi sibuk ngerjain lukisan ini?"
"Emang si abang ngomong gimana?"
"Lagi sibuk ngegambar di belakang."
Aku mengangguk diam. Cat air yang beberapa jam lalu kutuang mulai mengering di atas palet, dan aku masih tidak tahu harus bagaimana. Rumah pohon dan sisa kenangan didalamnya ternyata semakin membuatku kehilangan cara untuk melukis. Semua kenangan kami datang menyerang setiap hari ulangtahun ayah akan tiba.
"Aku tidak tahu harus kubuat seperti apa rupa ayah. Haruskah kubuat ia tersenyum lebar, tegas atau apa. Rasanya aneh setiap kali aku mencoba membuatnya tersenyum. Seolah aku memaksanya bahagia atas diriku, tapi kenyataannya aku belum bisa membuatnya bahagia. Dan ayah tidak pernah suka dilukis."
"Berapa lama kamu menyelesaikan lukis ini?"
"Aku berharap dua atau tiga hari lukisan ini berada di kamarku dalam keadaan baik dan sempurna. Tapi entahlah, aku tidak yakin dengan itu."
"Akan kubuat lukisan ini selesai besok."
"Kamu bisa ngelukis?"
"Enggak. Tapi setidaknya aku akan membuatmu menyelesaikan projek besarmu ini besok. Kamu percaya?" Aku menggelengkan kepala, lebih karena tidak mengerti apa yang ia bicarakan.
Dua jam setelahnya, aku sudah berada di rumah Abra. Ketika Om Wira ditemani Bi Parmi mengobrol di teras depan dengan cangkir putih di tangannya.
"Kok ayah sama bibi di luar? Masuk yuk."
"Kok sama Bella?"
"Hallo om. Tadi Abra main ke rumah Bella, eh sekarang tiba-tiba ngajak Bella kesini."
"Om apa kabar?"
"Baik"
"Alhamdulillah. Bella senang melihat om semakin sehat."
Bi Parmi pergi ke dapur meninggalkan aku dan Om Wira di teras berdua setelah Abra berpamitan ingin mengecek laporan kafe yang kami ambil sebelum tiba di rumahnya. Suasana lingkungan rumah Abra terasa sepi, tapi aku tidak merasakan sunyi di dalamnya. Lingkungan rumah ini terasa lebih hidup dibanding ketika aku duduk di teras depan rumah sendiri.
Om Wira sedang menikmati kudapan dan secangkir minuman. Aku tidak tahu untuk alasan apa Abra membawa kesini dan meninggalkanku berdua dengan ayahnya.
"Bella sudah makan malam belum?"
"Eh, sudah om. Tadi makan camilan di mobil Abra."
"Makan dulu gih di dalam, ada Bi Parmi yang bantuin."
"Enggak usah om, Bella masih kenyang kok."
Aku menggaruk leher bingung. Om Wira terlihat semakin baik dari terakhir kali aku berkunjung ke rumah ini. Seperti melihat kembali kehidupan dari sorot matanya yang dulu kosong. Dan sepertinya perubahan itu memiliki sisi baik dan buruk untukku. Baik karena aku melihat Abra yang terlihat bahagia ketika memgirim pesan tentang kesehatan ayahnya. Tapi juga buruk dalam keadaan seperti ini, ketika aku merasa canggung dan bingung untuk memulai obrolan.
"Bella udah kenal lama sama Aa?"
"Maksudnya, Abra om?"
"Belum lama sih om, ada apa?"
Aku mendengar helaan napas keras keluar dari Om Wira. Perasaanku mulai tidak nyaman setelah mendengarnya. Apa ada sesuatu yang salah antar aku dan Abra?
"Ayah tidak pernah memperhatikan Aa setelah kepergian ibunya. Ia berusaha sendiri menjalani hidup tanpa Ayah, meskipun ia berada didekatnya. Beruntung Bi Parmi selalu menemaninya, mengurus semua keperluan rumah. Apa selama Bella kenal sama Aa, ia pernah bercerita sama Bella?"
"Abra tidak pernah bercerita tentang keluarganya. Ia terlihat seperti anak tertutup, Bella tidak berani bertanya lebih jauh. Takutnya Abra merasa kalau Bella terlalu jauh memasuki wilayah hidupnya. Tapi, selama kenal dengan Abra, Bella tahu Abra adalah orang yang baik dan tegas. Abra juga bersikap baik pada orang-orang disekitarnya. Setidaknya itu yang Bella lihat dari Abra."
"Terima kasih, karena mau berteman dengan Aa." Om Wira tersenyum hangat saat mengatakannya. Dan senyumnya lebih lebar saat menatap mataku, yang membuatku harus berkedip beberapa kali lebih cepat.
"Aa akhir-akhir ini sering cerita tentang Bella." Aku menoleh dengan cepat saat Om Wira mengatakannya dengan pelan.
"Sering om?"
"Bella yang hobi melukis, sopan, ceria, hangat," Om Wira berhenti dan menoleh padaku "dan Bella yang cantik, Bella yang selalu membuat orang lain nyaman berada disampingnya."
Aku tidak tahu seberapa merah kedua pipiku saat ini, tapi rasa panas itu berhasil membakar keduanya.
"Ayah dan ibu pasti bangga dengan Bella."
"Menurut om, apa yang bisa membuat orang tua bangga pada anaknya." Senyum itu kembali membuatku bergetar. Om Wira meneguk kembali teh dan memperbaiki posisi duduknya. Aku menunggu saat beliau hanya diam dan memperbaiki jaketnya, meski tidak berantakan.
"Ada banyak hal yang bisa membuat orang tua bangga. Saat Bella sukses dalam pekerjaan, tentu itu menjadi sebuah kebanggaan. Tapi kebanggaan seorang ayah untuk anak perempuannya adalah ketika putrinya mampu berdiri di atas kakinya sendiri dengan tegak. Tidak takut menjadi berbeda dengan orang lain, anak perempuan yang kelak akan menjadi wanita mandiri dengan pilihannya sendiri. Anak perempuan yang memiliki kecantikan hati lebih dari kecantikan rupa.
Aa juga bercerita, kalau Bella tidak pernah bisa jauh dari keluarga. Bella yang sayang dengan anak-anak panti. Bella yang tahu bagaimana mengubah dan menghibur hati yang mendung kembali ceria. Bella punya itu, Bella yang tidak hanya cantik rupanya, tapi juga cantik hatinya."
Apa Tuhan sedang meminjamkan ayah untuk menghiburku.
"Bella boleh peluk, om?"
"Bella kangen sama ayah." Aku tidak bisa lagi menahan air mata yang memaksa jatuh sejak mendengar jawaban Om Wira. Ya Tuhan, rasanya seperti kembali mendengar nasihat-nasihat ayah di rumah pohon kami.
Saat akhirnya Om Wira merangkulku, aku tahu, malam ini ayah datang padaku.