Saat kita memutuskan untuk sembuh, kita pasti sudah melewati satu hal yang mungkin begitu menyakitkan. Hingga tidak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali memilih untuk menyerahkannya pada penghiburan diri dengan kalimat, semua akan baik-baik saja. Mungkin ada banyak kalimat yang akan kita dengar untuk menguatkan kita. Hingga kalimat yang sama akan menjadi hal biasa untuk didengar, tanpa makna.
Pada suatu saat, seperti halnya plester, kita harus melepasnya, dan mungkin memang akan terasa sakit. Tapi kemudian semua akan berakhir dan kita merasa lega. Angin dan kekuatan dalam diri kita akan membantu mengeringkan. Bekasnya akan mengingatkan kita, luka yang hadir pernah begitu sakit, tapi akhirnya luka juga akan sembuh, bahkan mungkin jika sembuh adalah tentang kematian.
"Abang?"
"Hmm"
"Dua ponakan Bella udah tidur yah?"
"Udah."
"Kalau mbak Putri, lagi ngapain?"
"Enggak tahu."
"Kok abang enggak tidur?" Kali ini bang Rafka memandangku dengan mata memicing. Aku kembali diam.
Aku selalu iri dengan orang-orang, yang selalu bisa memejam ketika badannya baru saja merebah. Kenapa aku tidak bisa demikian? Kenapa setiap kali aku ingin memejamkan mata, ada banyak pikiran buruk yang menyerangku?
Ada banyak pola dan rutinitas yang disarankan agar bisa tertidur cepat. Tapi, lagi dan lagi, upaya yang mereka sarankan tidak pernah berhasil. Aku hanya akan berguling memutar tubuh. Bahkan dalam hitungan ke lima setelahnya, pikiran-pikiran buruk dengan cepat memenuhi kepala. Terus begitu, rasanya badan yang lelah bukan hal utama untuk tidur, tetapi pikiran yang lelah dipenuhi segala ketakutan yang menjadi alasan mataku memejam.
Salah satu hal yang sesekali kami lakukan dulu adalah duduk melingkar di atas karpet yang ayah gelar di halaman depan rumah. Seperti yang saat ini sedang aku lakukan, perbedaannya kali ini aku hanya ditemani bang Rafka.
Aku memandang langit yang terlihat ramai. Ada banyak gugusan bintang yang menampakkan dirinya, atau mungkin mendung yang sedang malas menampakkan diri. Suara hewan malam mulai terdengar dari kejauhan.
"Mas!" Teriak mbak Putri dari depan rumah. Bang Rafka segera bangkit dan menghampiri mbak Putri yang sepertinya kerepotan dengan kedua anaknya. Entah, aku sedang tidak ingin menggoda keduanya.
"Abang masuk dulu," katanya dengan telunjuk yang berputar, "apapun yang ada di kepala kamu, simpan dulu. Abang sepertinya akan perang." Aku mengangguk dan tertawa kecil. Baginya mendengar tangisan kedua anaknya adalah perang.
"Gih, sana masuk, biar komandan enggak marah-marah."
Tiga langkah setelah bang Rafka memasuki rumah, seseorang membunyikna klakson dari depan pagar rumah. Jam yang tertera di ponsel menunjukkan pukul delapan malam. Siapa yang bertamu pada jam segini?
"Hai, Bell?" Abra muncul dari balik pintu pagar setelah aku membuka kuncinya.
"Lagi ada perlu sama abang?"
"Enggak ada."
"Terus?"
"Ini enggak disuruh masuk dulu?"
"Ngapain malem-malem ke rumah anak perempuan? "
"Emang rumah ini kamu yang beli?"
"Bukan."
"Berarti bukan rumah kamu dong?"
"Tapi kan... ah sudahlah. Masukin mobilnya dulu. Kalau ada perlu sama abang atau ibu, masuk aja."
"Jangan lupa tutup lagi pintunya," aku berteriak sambil lalu.
Saat kembali dan meraih cangkir, kopi yang sebelumnya kubuat telah sempurna dingin setelah memeluk angin. Aku meletakannya kembali, sedikit enggan meminumnya dalam kondisi dingin. Tidak ada yang bisa kulakukan dengan duduk berdiam di luar. Tapi aku juga tidak tahu apa yang akan kulakukan di kamar.
Aku tersenyum ketika mengingat lukisan potret ayah telah selesai kukerjakan. Mungkin aku beruntung dengan pergi bersama Abra. Tidak menduga hanya dengan obrolan, aku bisa menyelesaikannya. Ada begitu banyak sifat ayah yang mirip dengan Om Wira. Kehangatan dari setiap nasihatnya membuatku merasa kembali dekat dengan ayah.
Aku menghela napas pelan. Senang rasanya, aku bisa memberikan kado yang tidak pernah ayah inginkan. Meski harus membutuhkan wakut yang lama untuk menyelesaikan, setidaknya itulah harga terbaik untuk mengabadikan segalanya tentang ayah.
"Kopi?" Abra datang membawa dua gelas. Aku menerimanya dengan tersenyum.
"Jangan dianggurin, keburu dingin kopinya," ucapnya saat mengambil duduk disampingku. Sesaat aku ingin mengusirnya, tapi sisa kebahagiaan lukisan membuatku tersenyum kecil padanya. Membiarkannya meneguk kopi ditangannya dan menggeser posisiku.
"Kamu yang bikin kopi?"
"Enggak."
"Bohong. Bi Rasti enggak pernah bikin kopi yang rasanya kayak gini."
"Enak 'kan?"
"Em hm. Thank you, ya."
Aku meneguk kembali kopi ditangan. Menyenangkan rasanya ketika cairan hitam pekat itu sampai pada perutku. Angin berhembus lembut, membawa kicau binatang malam yang semakin ramai.
Lagu yang dinyanyikan dengan bergeming sampai pada telingaku. Ketika aku menoleh, Abra sedang memejamkan mata dan begreming. Aku tahu lagu itu, lagu yang biasa ayah nyanyikan ketika tahu aku sedang bersedih. Dengan lirih aku mengikuti irama dan menyanyikannya.
Bright you now,
In a future scenario, you might be hurt.
Shining finger!
Grab your dream!
I still think I get a chance!
Untuk waktu yang tidak lama, kedua bola mata kami bertemu. Rasa debar itu kembali kurasakan. Bersamaan kelelawar yang terbang rendah di atas kepala, suasana canggung dengan cepat mengganti rasaa debar menjadi malu. Aku berdehem pelan untuk mengusirnya.
"Dulu, ibu sering menyanyikannya ketika aku beranjak tidur. Diatas pangkuannya, ibu mengusap lembut rambutku dan bernyanyi, hingga lelap menjemputku, membawaku pada malam-malam damai," Abra terus bercerita tentang ibunya. Tidak ada air mata dan wajah murung. Ia bercerita dengan perasaan senang dan bahagia. Darinya, aku yakin, Abra telah merelakan semua yang terjadi pada hidupnya.
Mungkin untuk sampai pada tahap ikhlas adalah ketika kita bisa menerima semua yang hilang, bukan untuk meminta kembali bahkan memaksa melupakannya. Tapi ikhlas adalah bagaimana kita mengingat apa yang pernah kita miliki sebagai bentuk menghargai dan untuk terus bersyukur. Pertama, bahwa Tuhan dengan begitu baik meminjamkan kita pada apa yang kita anggap berharga sebelum akhirnya pergi. Kedua, ikhlas mungkin adalah tentang upaya kita untuk mendapat pengganti yang sama baik atau bahkan untuk yang lebih baik.
"Terima kasih."
"Untuk?"
"Menyelesaikan lukisan ayah."
"Kamu mungkin bisa berterima kasih pada pak Wira," jawabnya diiringi tawa renyahnya.
"Iyaah, lain hari mungkin aku akan menjenguknya."
"Siapa yang izinin kamu main ke rumah?"
"Eh... kenapa?" aku bertanya dengan sedikit terkejut.
"Serius amat sih, biasa aja dong," aku mendesis pelan atas responsnya. Ada kalanya Abra bersikap diam, serius, dingin, cuek dan jail.
Kami terdiam cukup lama. Kembali menikmati langit dan kopiku yang telah dingin.
"Ada beberapa versi yang menceritakan kisah dari Orion, rasi bintang yang ada di langit sana. Satu diantaranya adalah, ketika Orion jatuh cinta kepada Merope tapi mendapat penolakan dari ayahnya, yang akhirnya ia harus mati di tangan Artemis."
"Bella!"
"Hmm"
"Aku tidak tahu alasan apa yang bisa membuat kamu percaya, berada disampingmu adalah harapan yang tidak tahu bermula dari mana. Aku tahu ini mengejutkan, tapi apa boleh aku meminta sedikit celah untuk masuk?"
Abra benar, ini begitu tiba-tiba terdengar ditelinga.
"Maksudnya?"
"Aku yakin kamu bukan orang bodoh. Kamu bisa memikirkannya, dan aku tidak akan memaksa jawaban itu malam ini. Dan apapun jawaban kamu, semoga aku tidak berakhir seperti Orion."
"Becandanya enggak begitu juga, dong." Abra tersenyum lembut.
"Terima kasih, Bella." Aku mengangguk sebagai respons.
Untuk kali ini, aku harus tahu setiap batas yang boleh dan tidak untuk aku masuki. Aku tidak ingin tergesa melabeli segalanya hanya untuk sekadar perngiburan diri dan pengganti. Aku ingin semua benar-benar sesuai pada tempat dan waktunya.