Reuni

Hari ini di pertengahan April, aku mendapat kabar dari sosial media bahwa lusa akan ada reuni SMA di yogyakarta.

Aku langsung dilema untuk memutuskan datang atau tidak, mengingat aku kini tinggal di Bandung dan memutuskan membuka sebuah Agency Advertising beberapa tahun lalu, sehingga membuatku sangat sibuk setengah mati.

Namaku Araya shofi Hasan, biasa dipanggil Araya atau Raya terserah kau mau panggil apa. Aku kakak dari adik perempuan ku namanya Irina adzani Hasan, ibuku memanggil dia Irin, jadi aku ikut memanggilnya demikian.

Ibuku punya nama yang bagus yaitu Diatri Suwartini, kami memanggil beliau Mamah dengan (h) dan ayahku Hasan Abidin, kami panggil ayah atau terkadang komandan.

Iya benar, memang nama kami sengaja menggunakan nama ayah, kata beliau biar orang-orang tau kalau kami ini anaknya ayah.

Kami pindah ke Bandung sudah cukup lama, semenjak lulus SMA, tadinya tinggal di Yogyakarta dikarenakan dulu saat aku SMP ayahku di pindah tugas kesana, ayahku seorang Tentara yang pensiun muda karena terkena stroke 5 tahun lalu, tapi kini sudah membaik dan sudah bisa berjalan lagi, ku harap bisa lekas sembuh.

Aku masih bimbang memutuskan akan pergi atau tidak, aku yakin kamu juga pernah merasakan hal ini, dilema memutuskan akan hadir atau tidak di sebuah reuni dengan sebab apapun. Tapi aku putuskan untuk pergi setelah ngobrol dengan mamah karena kata beliau menjaga silaturahmi itu baik. Memang mamah ku orang yang berfikiran terbuka dan jago masak, masakannya enak, apalagi sambel telornya.

Aku putuskan berangkat besok menggunakan pesawat agar hemat waktu dan sempat jalan-jalan dulu.

Sampai di Yogya, aku langsung menuju hotel yang sudah ku booking sebelumnya, kemudian memberi kabar mamah dan ayah bahwa anak nya sudah sampai dengan selamat.

Sebenarnya aku rindu dengan kota ini, apalagi dengan gudeg mbah Rimbi yang dulu berjualan di dekat sekolah ku, banyak juga mahasiswa yang makan disana karena enak dan juga murah, tapi sekarang beliau sudah meninggal karena sakit jadi sudah tidak jualan lagi, warungnya juga sudah tidak ada. Mbah Rimbi sangat ramah, pernah beliau berkata padaku,"Ndok, kamu ini cantik yo..."

"Hehe ... Makasih mbah ..." sahutku tersenyum sipu.

"Pasti banyak yang suka ya," timpal beliau lagi dengan guyonan yang membuat senyumku semakin lebar menahan tawa.

"Hehe..iya mbah banyak yang suka minta uang, hahaha" jawabku asal.

"Hahaha...masa minta uang."

"Hehe..iya mbah sama minta kue, mungkin dipikir aku kaya," selorohku menimpali.

Kujawab sambil ketawa, Mbah Rimbi juga ketawa. Waktu itu beliau masih sehat dan masih semangat seolah berumur 26 tahun, tapi setelah sakit beliau sudah tidak lincah seperti sebelumnya.

Setelah setahun di diagnosa sakit apa ya, paru-paru? iya itu kalau tidak salah, beliau tidak lagi aktif berjualan dan warungnya tutup.

Aku kemudian menghubungi kawan SMA-ku Dwi, dengan tujuan untuk pergi reuni bersama dan ia menyanggupi tanpa banyak syarat dan tetek bengek lainnya. Aku jadi lega.

Esok hari, kira-kira jam 3 sore aku janjian dengan Dwi di sekitar malioboro karena cukup dekat dengan hotel dimana aku menginap untuk kemudian pergi bareng ke tempat acara reuni berada.

"Rayaaaaa!"

"Iiih, ngagetin aja kamu, Wi pake teriak-teriak."

"Hehe, iya aku kangen udah lama gak ketemu kamuuu!" Sorainya dengan wajah sumringah dan rentangan tangan, bersiap memelukku.

"Iya Dwi, aku juga kangeen, hehe." kusambut peluknya dengan gestur serupa.

Kami berpelukan untuk saling lepas rindu karena sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu, dulu aku juga beda kampus dengannya, meski masih sering berkirim kabar melalui sosial media dan sejenisnya.

"Ayo berangkat sekarang aja Ray, nanti telat, acaranya jam 4 to," ujarnya sembari mengurai pelukan rindu tadi.

"Ayo, Wi. Tapi Bayu mana?" tanyaku dengan kepala celingukan mencari keberadaan pria bernama Bayu yang merupakan suami Dwi.

"Bayu nanti nyusul katanya, lagi ada perlu dengan temannya." Senyum Dwi tampak ketika menjawab pertanyaanku. "Ooh ..." Aku manggut-manggut.

"Kamu udah konfirmasi kalo dateng kan, Ray?"

"Astaga! Kayaknya belum Wi, kemarin masih bingung dateng atau enggak soalnya."

"Yaudah gak apa-apa lah, biasanya bakal ada kursi lebih gak sih? Hahaha," sahutnya santai, membuatku mau tak mau ikut merasa santai meski sedikit ragu.

"Yaaa ... mudah-mudahan aja sih, udah bela-belain dateng dari Bandung nih soalnya," timpalku dengan sedikit sesal, kenapa lupa konfirmasi kehadiran sebelum berangkat.

"Kayaknya sih bakal banyak yang enggak datang juga Ray karena kendala jarak, yaah ... kamu kan tau abis lulus sekolah banyak temen-temen yang pindah kota juga, kayak kamu."

"Iya Wi, aku jadi gerogi sendiri nih, soalnya udah lama banget enggak ketemu kalian."

"Hahaha ... Enggak usah pake gerogi kali Ray, ini juga cuma reuni angkatan, kita-kita aja isinya."

"Tapi tetep aja Maemunah, pasti udah pada beda kan temen-temen yang dulu sama sekarang. Bisa aja ada yang udah lupa sama aku." tandasku menyatakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. "Udahlah, masa bodo aja, ngobrol sama yang kira-kira kita kenal aja Ray. Hahahah." Dwi tertawa, membuatku ikut melakukannya.

Acara reuni itu diadakan di sebuah gedung, khusus angkatan tahun kami saja, karena ini memang hanya reuni angkatan, maka itu di adakan di gedung dan bukan di sekolah.

Jujur saja aku agak canggung dan gugup, kamu pasti tau rasanya akan bertemu lagi dengan kawan-kawan sekolah dulu yang sudah lama sekali tidak berjumpa dan mungkin kalo jadi aku, kamu juga akan merasa seperti ini.

Dwi menggandeng lenganku seolah menyeret untuk segera masuk ke dalam gedung yang kutaksir sudah ramai sekali orang-orang di dalamnya, dan memang benar adanya. Seisi gedung sudah ramai oleh wajah-wajah yang sekilas ku kenali tapi juga tidak, nampaknya umur memang benar-benar jago mempengaruhi bagaimana wajah seseorang akan terlihat. Aku bertemu Sari, Galih, Nanda, Ajeng, dan semua kawan sekelasku dulu di kelas dua, mereka masih tetap baik, tetap ramah dan menyenangkan. Hanya fisik kami saja yang kini terlihat beda, wajah-wajah dewasa yang sudah ditempa hidup, tak nampak lagi gurat remaja pada diri kami kini selayaknya dulu SMA.

Kami banyak ngobrol tentang pekerjaan kami sekarang, kudengar Arif kini sudah jadi pejabat daerah di Makassar dan sudah menikah dengan orang sana. Sari dan Galih yang tidak pernah ku sangka mereka akan menjalin hubungan juga akhirnya memutuskan menikah, Dwi dan Bayu juga mengakhiri masa pacaran mereka sejak SMA dengan pernikahan walaupun dulu sering putus-nyambung.

Aku yang masih sendiri ini jadi bahan ledekan oleh mereka, rasanya sama seperti kalau bertemu dengan saudara-saudara ayah atau mamah yang juga pasti bertanya "kapan mau nikah Ray? Nanti keburu tua loh, susah punya anak, bla bla bla ..."

Eits! Aku bukannya enggak laku ya! Dari semenjak masuk kuliah di ITB pun aku sudah banyak yang naksir dan beberapa kali menjalin hubungan, tapi yaah ... kau bisa tebak sendiri akhirnya, aku tetap sendiri sampai sekarang. Belum ada yang pas yang bisa aku jadikan teman sekasur.

Meski begitu, aku benar-benar ikut senang mendengar bahwa kawan-kawan kini sudah mempunyai kehidupan yang baik.

Mereka juga menanyakan bagaimana keadaan ayah yang terkena stroke, selain itu banyak lagi kabar-kabar menyenangkan yang ku dengar, tapi aku juga sedih saat membicarakan tentang Akbar, bisa dibilang dia tidak seberuntung kami. Lalu tiba-tiba Sari bertanya tentang hal yang tidak ku prediksi sebelumnya, "Ehem ... Ray, masih inget Bimo kan?"

"Hmm ... masih kok, memangnya kenapa, Dia datang?" tanyaku sedikit gugup meski berusaha kusembunyikan.

"Katanya dia datang, tapi belum juga keliatan." Sari celingukan. "Ooh ... ya, tunggu aja," sahutku enteng—ralat, seolah-olah enteng.

"Penasaran gak sih dia kayak gimana sekarang, soalnya dia gak punya sosmed jadi gak bisa kepo deh." Sari terus saja nyerocos soal orang itu, membuatku sedikit tidak nyaman.

"Kamu nanya-nanyain dia terus nanti si Galih sewot loh," sahutku berseloroh.

"Kalo Galih sewot tinggal tak pites aja, hahah. Eh, tapi denger-denger dia baru balik ke Indonesia lagi, Ray."

"Oh ya? Aku enggak pernah dengar kabarnya lagi sih," kujawab dengan senyum canggung.

Aaahh...

Kamu harus tau siapa dia, nanti akan kuceritakan siapa yang bernama Bimo itu. Sebenarnya aku juga ingin tahu kabar orang itu, tapi sulit sekali seolah dia hilang ditelan pluto.

--@@@--