Anak Baru

Aku sudah janji akan cerita padamu siapa Bimo itu, dan disinilah awal cerita itu.

Tahun 2008

Pagi di bulan juli dan sedang tidak hujan, aku berangkat kesekolah naik becak pak Toyo, becak langganan ku kalau pergi kesekolah karena jarak sekolahku tidak terlalu jauh dari rumah. Pak Toyo orang yang baik dan ramah, beliau sudah tua kira-kira umurnya sudah 50 tahunan lebih, tapi masih kuat mengayuh becak tua nya.

Kadang-kadang beliau tetap narik becak walaupun sedang tidak enak badan karena beliau tidak punya anak laki-laki yang bisa menggantikan untuk narik becak, anak pak Toyo semuanya perempuan dan tidak mungkin untuk mengayuh becak seperti beliau, jadilah beliau tetap bekerja meskipun sedang kurang sehat.

Tapi hari ini beliau sedang sehat dan sedang senang karena katanya anak kedua beliau menang lomba Matematika tingkat SMP dan dapat beasiswa melanjutkan sekolah di SMA favorit, aku ikut senang dengar cerita pak Toyo karena ku pikir tidak sia-sia kerja keras beliau narik becak seharian untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Aku jadi berfikir kalau aku harus banyak bersyukur lahir dari perut mamah dan jadi anak ayah karena untuk hal kebutuhan aku tidak perlu khawatir dan selalu berkecukupan, tidak pernah kekurangan uang jajan, tidak kesulitan kalau ingin beli novel keluaran terbaru meskipun harganya masih mahal, dan bisa bayar SPP sekolah tanpa kesulitan. Alhamdulillah.

Aku bersenandung kecil di atas becak pak Toyo sambil menikmati pagi yang tentram di Yogya, aku suka!

Jam 7.00 tepat aku sampai di sekolah seperti biasanya, setelah membayar ongkos becak pak Toyo dan mengucapkan terima kasih aku langsung masuk ke sekolah dan segera menuju kelas ku, memang belum terlalu ramai karna masih pagi. Teman-temanku pasti juga belum datang, mereka selalu datang sesaat sebelum bel masuk berbunyi dan kalau mereka datang pagi, itu bisa dibilang sebuah keajaiban. Ada yang beda dengan kelasku pagi ini, jadi lebih sedikit heboh dari biasanya.

"Rayaaa! ada anak baru pindahan dari Bandung, guanteng tenaaan!" Sari yang baru saja masuk kelas langsung histeris ngomong denganku seperti baru saja tau kalo ternyata habis makan itu kenyang.

"Ooh, aku kira sekolah diliburkan. Aku udah hampir senang," kataku.

"Idiiih ... ini lebih seru dari libur sekolah Ray! Sekarang di sekolah ada pemandangan bening! Hahaha," katanya kegirangan seperti baru saja menang kuis di TV.

"Aah ... setiap hari juga ada pemandangan bening," sahutku malas.

"Opo??"

"Itu, kaca jendela kan pemandangan bening."

"Aahh ... kamu belum liat orang nya sih, makanya biasa aja gitu."

"Yaelah, aku enggak bakal se-heboh kamu kalaupun nanti lihat orangnya." Untuk pernyataan ku yang terakhir itu betul, aku tidak heboh seperti Sari walaupun sudah lihat tampangnya si anak baru.

Dari yang kudengar, namanya adalah Bimo Gentama Raya, orangnya memang ganteng seperti kata Sari, tapi sepertinya tidak banyak ngomong kayak begundal-begundal yang seringkali terdengar ribut setiap sudah ngumpul, pindahan dari Bandung dan tidak sekelas denganku, dia di kelas 2 IPA 3. Hanya sebatas itu yang ku tau, tidak tertarik untuk mencari tahu lebih jauh.

Mungkin aku seperti pencitraan, tapi memang nyatanya dulu aku tidak tertarik untuk mencari tahu lebih jauh, karena saat itu kupikir untuk apa tahu kalau aku juga tidak akan banyak berinteraksi dengan dia, kami juga tidak sekelas jadi aku tidak punya kewajiban untuk serba tahu tentangnya.

Sewaktu istirahat aku memilih makan di kantin sekolah dengan Dwi dan Sari, kami sedang malas ke warung mbah Rimbi untuk makan gudeg karena letak warungnya yang ada di luar area sekolah, jam istirahat hari ini sudah mepet sebab kami terlambat keluar setelah menyelesaikan soal biologi terlebih dahulu. Tak lama Arif menyusul dan bergabung dengan kami.

Arif ini teman sekelas kami, sudah suka padaku dari mulai kelas satu tapi aku tidak punya rasa yang sama padanya, padahal dia anak orang kaya, royal, dan wajahnya juga tidak jelek, banyak yang suka ke dia tapi tidak termasuk aku. Yah, perasaan memang tak bisa dipaksakan. Kami ngobrol apa saja sambil makan, Arif juga ikut nimbrung, tapi seolah lebih ingin mengobrol hanya denganku.

"Ray, aku baru beli buku kemaren, kamu mau minjem gak? Bagus deh," tanyanya padaku.

"Ooh ... buku apa, Rif?" balasku.

"Bisa dibilang novel lah, genrenya juga romantis-psikologis gitu. Seru pokoknya."

"Oke, nanti kalo aku sedang ingin baca aku pinjam."

"Nanti bilang aja kalau mau pinjam, Aku juga ada buku The Lord of the Rings yang masih versi english Ray, serinya lengkap. Ada tuh di perpustakaan rumahku, kalau mau besok aku bawain ke rumah kamu Ray," tawarnya semangat.

"Hah?! Gak usah Rif, novel ku masih banyak banget di rumah yang belum kebaca," —tapi bohong—aku cuma malas kalau dia main ke rumahku.

"Oh ya sudah, pokoknya kalo kamu pengen pinjam bilang aja ya, nanti aku bawain."

"Iya Rif, makasih." Sedikit ku perlihatkan senyum yang sengaja kubuat-buat.

"Iya deeh ... Raya aja terus yang diajak ngomong," protes Dwi.

"Tau nih Arif, berasa obat nyamuk kita ya, Wi!" timpal Sari.

"Ya abisnya, emang kalian paham kalo aku ngobrol masalah buku?" Si Arif mulai sok eksklusif.

"Ya ngobrol yang lain dong masa ngobrol buku mulu, kayak enggak ada topik lain aja selain buku, enggak seru amat jadi orang. Raya juga bosen kali nanggapainnya," sergah Sari, dia memang orang yang ceplas-ceplos.

"Raya kan suka baca, karna aku punya banyak buku bagus di rumah, enggak ada salahnya aku tawarin dong, iya kan Ray?" Ocehnya menanggapi ucapan Sari, menyeret-nyeret aku. Bikin bete. "Hehehe ... iyaa," jawabku sekenanya.

Begitulah dia selalu berusaha mendapat perhatian dariku, terkadang itu bikin risih. Aku bukan ge-er tapi itu faktanya, bahwa dia memang selalu berusaha mendapat nilai dariku. Aku bahkan enggak tau bagaimana sebenarnya sifat asli Arif karena dia selalu berusaha terlihat bagus dan selevel lebih tinggi dibanding cowok-cowok yang lain di hadapanku.

Jengah mendengar ocehan caper-nya Arif, Aku mulai mengalihkan pandangan ke sekeliling kantin siang itu, juga melihat ke arah sekumpulan anak laki-laki di sudut kantin sebelah sana yang sedang ngobrol ramai sekali, kebanyakan aku tidak begitu paham topik yang mereka bicarakan, game lah, pemain sepak bola yang pindah klub, pertandingan futsal minggu lalu, ah ... banyak pokoknya. Tapi ada satu hal yang cukup menarik perhatianku, si anak baru itu sedang ngobrol dengan mereka sambil memegang gelas es teh nya dan asik sekali seperti dengan kawan lama tanpa terlihat canggung sedikitpun. Aku kira dia orang yang tidak banyak bicara, ternyata tidak juga dan bisa mudah akrab dengan yang lain.

Hal lain yang membuat aku juga merasa heran yaitu banyaknya murid perempuan yang terlihat berusaha untuk cari perhatian padanya, seperti lalu lalang di depannya atau sengaja berbicara dengan suara keras supaya kedengaran, bahkan langsung nimbrung mendatangi segerombolan siswa laki-laki itu. Yah, aku paham sih kenapa cewek-cewek itu melakukan hal itu, dia memang tampan dan sepertinya cukup ramah, hanya saja menurutku bisa jadi anak baru itu malah jadi terganggu atau risih dengan pandangan-pandangan yang ditujukan padanya? Karena kalau aku jadi dia, aku akan merasa seperti itu.

Dengan Arif yang tidak henti-hentinya mendekati aku saja rasanya aku sudah capek, apalagi harus meladeni banyak orang yang menjadikan dia seperti topeng monyet karena di tontonin dan dilirik-lirik seolah dia hiburan gratis.

Sari juga suka padanya sih, heboh seperti pagi tadi. Tapi kalau Sari aku bisa jewer kupingnya jika dia berani berbuat norak seperti apa yang dilakukan anak-anak cewek yang lain.

Ah! Sudahlah, kenapa jadi aku yang pusing.