Saat pulang sekolah, aku berjalan keluar gerbang utama untuk ke persimpangan tempat biasa aku menunggu angkutan umum, jalan sendirian karena Dwi dan Sari masih ada urusan di sekolah. Aku memang selalu naik angkutan umum kalau pulang sekolah, karna pak Toyo pasti sudah mangkal di daerah Malioboro, kasihan kalau harus jauh-jauh jemput aku ke sekolah untuk antar kerumah.
Sesampai aku di depan gerbang ada satu motor yang mendekat mensejajari, seketika aku berhenti melangkah, motor itu juga ikut berhenti di sampingku, ternyata itu adalah si anak baru! Sedikit terkejut juga aku dibuatnya. Mau apa dia?
"Hai, kamu Araya kelas 2 IPA 1??" Tanyanya dengan nada yang lembut, sedikit logat Bandung dapat ku dengar.
"Iya, kenapa?" Jawabku dengan sejuta tanya di kepala.
"Enggak, takut salah." Tandasnya ringan, sepertinya dia sedang tersenyum, nampak dari lengkung mata miliknya disebalik helm full-face yang ia kenakan. Membuahkan kernyit tipis di dahiku. "Ooh, iya." entah kenapa aku hanya bisa bilang begitu.
"Aku duluan ya??" katanya kemudian, kujawab hanya dengan sedikit senyum dan anggukan kecil mempersilahkan.
"Apaan sih, gak jelas banget! Tiba-tiba nanya aku benar Araya atau bukan, memangnya siapa lagi di sekolah ini yang namanya Araya? Ya cuma aku, jadi mana mungkin salah! Halah! Pasti modus, kebaca banget! Basi! Eh, tapi dia kan anak baru, bisa jadi dia memang gak tau? Ah entahlah, kenapa juga jadi aku yang pusing?" Gerutuku dalam hati bertubi-tubi. Pikiranku seperti disibukkan dengan apa yang baru saja dilakukan si anak baru itu sampai-sampai aku tidak sadar bahwa angkot yang aku tunggu sudah datang.
"Dek, naik gak? Dek!" Seru sang supir agak mengeraskan suara sebab aku tak kunjung dengar panggilannya.
"Eh, iya iya mas." Jawabku sedikit terkejut lalu buru-buru masuk ke dalam mobil angkutan yang nampak penuh penumpang tersebut.
Setelah duduk di angkot pun aku masih saja memikiran kelakuan si anak baru itu, apa sih maksudnya? Biasanya orang akan ngajak kenalan di situasi seperti tadi, ini malah hanya bertanya namaku tanpa niat memperkenalkan dirinya sendiri, yakin banget dia kalau aku tahu namanya sehingga dengan pede-nya dia tidak mau menyebutkan namanya sendiri—ya walaupun memang aku sudah tau—tapi kau pasti paham maksudku kenapa aku jadi bingung, iya kan?! Dia sok kegantengan kan?!
Sampai di rumah aku langsung masuk kamar, ganti baju kemudian makan siang ditemani si bibi. Ketika sedang asik makan dan ngobrol dengan bi Marni, telepon di ruang tengah berdering, si bibi yang beranjak angkat telepn terus enggak lama datang lagi padaku dan memberi tahu kalau telepon tadi dari Arif.
Duh! Malas, tapi enggak mungkin bohong kalau aku lagi di Mars, dia pasti tau.
"Iya Rif?" Sapaku saat gagang telepon sudah menempel di telingaku.
"Kok tau aku yang telepon?" Guraunya.
"Hehe ... iya, si bibi bilang."
"Yah, udah aku bilang telepon dari Polisi padahal ke bibi mu ... Hahaha."
"Hehe ... dia enggak bisa bohong, nanti dosa katanya."
"Hehe ... iya deh, tadi aku telepon Hp kamu tapi enggak diangkat jadi telepon ke rumah, ganggu gak?"
"Ooh ... iya, Hp nya ku tinggal di kamar, enggak kok ada apa?" Ucapku bohong. Padahal sih iya! Ganggu!
"Oh ... pantesan hehe, enggak apa-apa pengen telepon aja, lagi apa Ray?" Arif ceria sekali seolah dia sedang menghubungi pacarnya saja, aku merasa tidak nyaman. Dia sungguh tidak peka.
Duh!
"Ooh ... kirain ada yang penting, aku lagi makan." Jawabku sesingkat mungkin.
"Ada yang penting sih, hehe. Mau ngajak kamu ke toko buku nanti sore rencananya, bisa gak Ray?"
"Hmm ... ya udah jam berapa?"
"Jm 5-an aja biar gak macet." Suaranya terdengar lebih girang 120% dari sebelumnya.
"Iya." Kujawab datar
"Nanti aku jemput kalo gitu, jam 4 ya."
"Ya."
Setelah bicara di telepon dengan Arif, aku melanjutkan makan lagi dan sudah enggak selera. Sebenarnya aku sangat malas pergi, ingin dirumah saja nonton TV, tapi enggak enak kalau nolak terus ketika dia ajak, biar bagaimanapun dia masih kawan sekelasku dan bisa dibilang selalu bersikap baik. Bukannya aku memberi harapan, aku hanya tidak mau memutuskan hubungan pertemanan mengingat dia juga bersikap biasa saja, bahkan setelah ku tolak. Lalu apa benar kalo aku harus bersikap memusuh-musuhi atau menjauh? Enggak kan, kamu setuju kan?
Aku kemudian mandi dan siap-siap karena sudah jam 3, biar cepat-cepat pergi jadi bisa cepat pulang. Tepat jam 4 Arif datang dengan Mini Cooper-nya berbarengan dengan Mamah dan Irin yang baru pulang dari kirim paket buat saudaranya mamah yang di Sumatera, aku pamit untuk pergi pada mamah, begitu pula Arif.
Sampai di toko buku, aku langsung saja jalan sendirian untuk cari buku bagus, barangkali ada. Aku memang suka baca buku, buku apa saja yang penting aku suka dengan isinya.
Buku tentang Desain Grafis karna aku suka Desain, Fotografi dan juga hal-hal berbau seni biasanya sangat betah kubaca karena menarik.
"Ray, ini bagus nih bukunya." Arif mendekat sambil menunjukkan sebuah buku tebal dengan sampul Hardcover coklat tua berbingkai ukiran warna emas di sudut atas dan bawah bukunya dan bertuliskan 'Politik dan Hirarki Kekuasaan'.
"Hmm ... kamu suka baca buku berat kayak gitu, Rif?"
"Ya lumayan lah ... isinya bagus nih, nambah wawasan soal politik. Bapakku juga bacaannya buku kayak gini dan sering ngajak aku diskusi, hehe"
"Oh ... Ya udah kalau suka beli aja, Rif," kutanggapi dengan datar sembari kembali fokus pada deretan buku pada rak di hadapanku.
"Iya, edisi baru nih Ray, di perpus rumahku hampir lengkap edisi-edisi sebelumnya, bapakku cuma bisa ngobrol dan diskusi masalah kayak gini sama aku Ray, saudaraku yang lain sih, enggak ada yang ngerti." Dia bicara sembari membolak-balik buku coklat tua itu, seolah dia pikir tindakannya itu akan nampak mempesona. Maaf, tapi aku enggak tanya, Rif.
"Ooh ... bagus dong, jadi deket sama Bapakmu." Aku memilih membolak-balik halaman buku yang kini ku genggam sembari menanggapinya, tak mengindahkan tindakan tebar pesonanya barusan.
"Iya, seru sih kalo diskusi soal ini." Aku hanya manggut-manggut, tak ingin menanggapi. Ini yang aku bosan dari Arif, selalu mencoba terlihat 'Wah' di mataku, berusaha mendapat nilai dariku, tapi aku tidak peduli! sekali lagi, TIDAK PEDULI!
Ingin sekali ku katakan padanya untuk bersikap sewajarnya dan jadi diri sendiri, enggak usah sok intelek segala. Huh! Kamu harus tau dia sering sekali bicara masalah mobilnya, usaha yang sedang dia coba rintis dengan Bapaknya, koleksi buku-bukunya karna dia tau aku suka baca buku, lalu cewek-cewek yang mendekati dia dengan tujuan agar aku cemburu atau berpikir bahwa dia banyak yang mau, aku tidak peduli, sekalipun Britney Spears yang naksir dia! Aku tidak peduli tentang uang dan kekayaan bapaknya yang sering dia banggakan, aku bukan perempuan matre yang melihat orang dari hartanya, apalagi uang bapaknya, harusnya dia tahu itu.
"Rif pulang yuk, sudah maghrib. Aku belum Sholat." Sudah bosan setengah mati aku bersama dia.
"Sholat di mushalla aja Ray, kan ada di lantai dua, masa pulang sekarang kita kan baru aja keluar." Lihatlah dalihnya itu agar bisa lebih lama bersamaku.
"Iya, tapi aku bilang nya sama Mamah cuma sebentar."
"Sampai jam 8-an juga gak apa-apa, kan belum terlalu malem juga, Ray." Kekeuh sekali dia.
"Ya sudah aku ke Mushalla dulu kalau gitu."
"Oke, tau jalannya kan, mau aku anterin?"
"Gak usah."
Menyebalkan! Aku langsung berjalan dengan cepat sembari menghentak-hentakkan kaki karena jengkel dengan orang itu selain karena takut kehabisan waktu Maghrib juga. Sampai di Mushalla aku langsung menunaikan ibadahku. Ketika aku selesai dan mulai beranjak keluar dari mushalla, coba kamu tebak siapa yang berpapasan denganku disana? Iya! Si anak baru, si Bimo itu, yang aneh itu, ia nampak baru saja keluar dari mushalla yang diperuntukkan untuk jamaah laki-laki.
"Eh! Raya?" Dia terlihat sedikit kaget dan langsung menyapa ku waktu berbalik.
"Iya." Entah kenapa aku sedikit ... salah tingkah?
"Lagi main? Kamu sama siapa?" Tanyanya sekaligus.
"Sama Arif tadi. Mau nyari buku," kujawab seadanya. Masih tidak mengerti kenapa aku jadi seolah kesulitan menguasai sikapku.
"Oh, ya sudah aku langsung ya?" Maksudnya dia mau duluan keluar, dengan gestur menunjuk ke arah depan.
"Iya." Aku mengangguk, ikut beranjak dari mushalla setelah kira-kira ia sudah berjarak 30 langkah di depan.
Setelah itu aku cepat-cepat kembali ke Arif dan mengajaknya pulang, dia tetap enggak mau segera pulang, tapi aku paksa dengan bilang kalau aku capek belum istirahat seharian ini. Pada akhirnya dia mau, tapi dengan syarat makan dulu di resto sebelah toko buku itu, aku tentu saja menolak dengan bilang ingin makan di rumah saja karena mamah berpesan seperti itu. Akhirnya kami langsung pulang setelah kami membayar buku-buku kami masing-masing.