Hari ini sekolah tidak belajar seperti biasa karena ada seleksi peserta lomba cerdas cermat yang akan dikirim sebagai wakil sekolah kami ke sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta, jadi semua kelas sibuk mempersiapkan dan mendukung wakil dari kelas masing-masing, tak terkecuali kelasku yang diwakili oleh Arif, Yuni, dan Mona mereka bisa dibilang juara 3 besar di kelasku.
Aku? Cuma langganan masuk 5 besar, tapi meski begitu, aku sudah cukup bersyukur. Mamah dan Ayah juga sudah cukup bangga, memang orang tuaku tidak pernah memaksakan anak-anaknya harus berprestasi dalam hal akademis, karena menurut mereka, bakat dan minat anak itu berbeda-beda tidak bisa disamakan dan tidak boleh dipaksakan, jadi mamah dan ayahku selalu membebaskan kami ingin jadi apa, dan ingin melakukan apa asalkan masih positif dan bukan hal yang bisa merugikan orang lain.
"Ray, kemarin si Bimo kenapa pergi aja gitu?" kata Dwi bertanya padaku.
"Entahlah, Wi. Aku juga gak tau."
"Dia kayak kesel gitu Ray."
"Makanya aku juga gak ngerti, Wi. Emang kita salah apa?"
"Kali aja dia cemburu Ray, liat kamu deket ke Arif," kata Sari menimpali.
"Hah?! Kapan aku deket ke Arif?"
"Ya kemaren kamu kayak gak mau Arif salah paham gara-gara dia ngomong soal calon pacar, wkwkwk."
"Astaga, emang keliatannya kayak gitu? Aku kan jaga perasaan kamu, Sar."
"Hah? Kenapa harus jaga perasaanku?" tanya Sari kebingungan.
"Loh, bukannya kamu suka Bimo, Sar?" jawabku yang sama bingungnya.
"Ahahahahah, enggaklah! Aku bukan beneran suka yang jatuh cinta gitu Raya, wkwkwk. Suka aja liat cowo ganteng tuh kayak cuci mata, bukan ngarep jadi pacarnya juga, eh tapi kalo dia mau aku gak nolak sih hahahah." Sari tampak geli mendengar ucapanku tadi.
"Hah?! Aku kira kamu serius suka sama dia."
"Ish! ya enggaklah, Aku tuh emang nge-fans aja sama cowo ganteng, hahahah." Terpingkal dia.
"Hahahaha, jadi kamu mikir Sari naksir Bimo jadi enggak enakan gitu kemaren?" kata Dwi padaku.
"Iya tauuu ... kalau Arif mah aku enggak peduli mau mikir apa dia." Cemberut aku jadinya. Menyesali sikapku kemarin.
"Wkwkwkwk, salah sendiri." Sari menertawaiku.
Aku cuma bisa manyun sebal bercampur menyesal karena tak dari awal tanya ke Sari, akh! Jadi kepikiran kan apa dia kesal padaku sebab sikapku tempo hari? Tak tahulah!
Aku, Dwi, dan Sari lanjut jalan menuju Aula, sedangkan Galih sudah sedari awal disana karena dia anggota OSIS dan punya tanggung jawab sebagai panitia acara, disana sudah ramai sekali oleh anak-anak kelas lain yang punya tujuan sama dengan kami yaitu mendukung perwakilan dari kelas masing- masing, bahkan kursi untuk penonton pun sudah hampir penuh, beruntung kami dapat kursi di bagian pojok aula yang walaupun jauh dari perwakilan kelas kami yang ikut lomba tapi yang penting masih bisa nonton.
Sari mendorong sedikit sikunya ke lenganku dan memberi tanda untuk melihat ke arah yang dia isyaratkan. Ternyata dia menunjukkan Bimo yang sedang duduk bersandar di kursi peserta lomba mewakili kelasnya bersama 2 orang temannya.
"Gile Ray, ternyata pinter si Bimo, udah ganteeng ... pinteeer ... perfecto! Ku dukung kamu 2000% jadian sama dia!" cecar Sari tanpa kuduga.
"Apaan sih Sar, ngelantur mulu deh." Aku hanya bisa menanggapi demikian sebab takut didengar siswa lain. Aku tidak suka jadi bahan pembicaraan.
Tapi, si Bimo itu Katanya anak malas, tidak suka belajar, nyatanya ikut lomba, dasar!
"Kata Bayu dia emang pinter kok, Bayu pernah lihat rapor sekolah lamanya waktu di Bandung, nilainya bagus-bagus," ujar Dwi pada kami yang masih terheran-heran.
"Sumpah?" Kata Sari.
"Iyaa! demi ... demii ... Lillahita'ala ... suer!" sumpah Dwi sambil mengacungkan kedua jarinya.
"Wah, pacar idaman wkwkwk," Sari terkekeh.
Aku baru sadar kalau sampai saat ini aku tidak tau apa-apa soal dia, justru dia yang lebih banyak tau soal aku.
Acara pun dimulai, guru yang berperan sebagai MC sudah membacakan pertanyaan-pertanyaan yang dibagi dalam beberapa segmen, membuat peserta dengan semangat bersaing untuk bisa menjawab soal sebanyak-banyaknya dengan benar, tak terkecuali tim yang mewakili kelasku. Sejauh ini mereka berhasil mendapat poin yang bagus.
Tapi ada yang aneh, kenapa si anak baru diam saja dan tidak mencoba menjawab satu pun soal yang sudah dibacakan, membuat 2 teman se-timnya kewalahan mikir sendiri. Ckckckck! Mau apa sih ini orang? Tidak bisakah dia serius sedikit saja?
Aku yang hanya nonton pun jadi sebal. Dia lihat ke arahku dan ketawa! Ketawa? Serius? Disaat begini? Dia benar-benar dipilih karena pintar kan? Atau tidak ada orang lain lagi yang bisa disuruh? Ah, gak ngerti!
"Pertanyaan selanjutnya babak rebutan! DNA bersifat asam, basa, atau netral? Dan jelaskan!"
Hening.
Semua tim sibuk diskusi untuk menemukan jawabannya, dan kesempatan diskusi hanya diberi waktu 10 detik.
Aku dan semua penonton jadi ikut hening karena tegang, tiba-tiba ada yang menekan bel, siapa? Yak, si anak baru itu dengan tenang dia mulai jawab pertanyaan. "DNA bersifat netral, karena ujung Fosfat Nukleotida bersifat asam, sedangkan Nukleotida DNA juga mengandung unsur basa sehingga bisa saling menetralkan pak."
"Benar!"
Sorak sorai para pendukung yang tidak lain adalah teman sekelasnya langsung riuh terdengar memenuhi aula. Dia cuma ketawa melihat tingkah teman-temannya, kali ini yaaahh ... aku mulai percaya kalau dia diutus karena memang mampu. Hehe.
Acara dilanjutkan kembali dan persaingan poin diantara tim sudah sangat ketat, setiap tim sudah saling mengejar poin satu sama lain. Kamu tanya bagaimana si anak baru? Yah, dia cuma jawab satu pertanyaan tadi, dan setelah itu dia hanya duduk santai diam sama seperti diawal.
"Pertanyaan terakhir! Apa yang terjadi pada tanggal 22 juni tahun 1527 di Indonesia?"
Keheningan kembali terjadi, masing-masing tim mulai kewalahan dan saling berdebat satu sama lain untuk menentukan jawaban yang akan disampaikan ke juri.
Teeet! Salah satu bel milik peserta berbunyi.
"Lahirnya kota Jakarta."
"BENAR!"
Lagi-lagi Bimo menjawab pertanyaan dengan benar saat tim lain kewalahan menjawabnya. Riuh suara penonton kembali terdengar, dengan berakhirnya pertanyaan tadi, berarti berakhir pula acara seleksi peserta lomba cerdas cermat ini, tapi sayang kelas kami tidak menjadi pemenangnya, begitu juga kelas si anak baru.
Aku yang merasa sebal awalnya karena mengira dia hanya main-main saja, sekarang merasa apa ya?! Bangga? Senang? Puas? Ah entahlah ... apapun itu aku merasa sedikit lebih tau soal dia, bahwa dia memang orang yang berbeda dari kebanyakan orang dan punya cara berfikir yang unik pula.
Setidaknya aku bisa bilang dia tidak sedang marah padaku gara-gara kemarin.
Kuacungkan jempol padanya saat dia melihatku, dia hanya ketawa disana. Sari dan Dwi juga sedari tadi heboh setelah lihat aksi si Bimo —yang kata mereka— berhasil menjawab pertanyaan di saat-saat kritis.
--@@@--
Acara seleksi sudah selesai, aku dan kedua temanku yang dari tadi terus aja ketawa untuk obrolan yang tidak jelas sedang jalan untuk kembali ke kelas kami, di tengah jalan tiba-tiba ada seseorang yang seperti sengaja menubruk bahu kanan ku dari belakang dengan keras sampai aku sedikit terhuyung kedepan.
"Aduuh!"
Orang itu berhenti di depanku dan menoleh ke belakang, ternyata kak Laras, Geng kelas 3 yang katanya anak orang kaya, ayahnya punya usaha garmen besar di Surabaya, dan dia keturunan Chinese-Jawa yang punya wajah khas keturunan yaitu cantik dan kulit putih, itu kenapa dia termasuk murid paling populer di sekolah, siapa yang tidak tahu kak Laras di SMA Teladan. Kamu juga tau kan, karena sudah beberapa kali ku singgung nama kak Laras sebelumnya.
"Ups ... sorry kirain tembok!" Kata kak Laras padaku diiringi tawa kedua temannya yang setia mengikuti kak Laras kemana-mana.
Mereka lalu pergi begitu saja dengan memalingkan wajahnya dan berjalan sambil terus tertawa seolah-olah ingin memberi kesan mereka menilaiku remeh. Kamu pahamkan? Seperti adegan khas di sinetron-sinetron.
"Tembok ... tembok! tu mata dipake liat kemana? Jereng kali tu orang, kita jalan di tengah koridor begini bisa dikira tembok!" amuk Sari pada kak Laras yang sudah jauh berjalan dan pasti tidak dengar.
"Udah ah biarin, Sar enggak usah nyari masalah," ucapku menenangkan.
"Dia yang cari masalah Ray, ih kamu malah diem aja sih!" kesal Sari.
"Iya Ray, kalau dia ngelakuin sesuatu lagi ke kamu, tenang aja kita bakal bantuin kamu, jadi enggak usah takut sama dia," kata Dwi yang juga emosi ikut menimpali.
"Aku bukannya takut, cuma malas cari ribut, udah lah yuk ke kelas."
"Awas aja kalo masih bertingkah, senior sih senior tapi jangan gitu juga kali, emang Raya salah apa coba?! cih!" Sari masih ngomel.
"Iya Sar ... iyaaa ... udah yuk ah, malu diliatin nih," kataku sembari menggaet lengan kedua sahabatku ini agar segera berjalan menuju kelas.
Oh iya, apa aku sudah cerita padamu kalau kak Laras adalah cewek paling Most Wanted di sekolah? Yap! Semua siswa cowok di sekolahku rata-rata pernah mendekati kak Laras, ya walaupun lebih banyak yang di tolak, dia hanya mau dengan cowok yang menurutnya se-level dengannya, klise seperti harus kaya, atau ganteng atau gaul yaaah ... yang seperti itulah.
Dan aku anak yang sangat biasa saja di sekolah yang bahkan selama ini mungkin dia enggak pernah tahu kalau aku ini ada, tapi hari ini dia sengaja seperti ingin mencari masalah dengan ku.
Oke, aku tidak paham apa salahku? Apa aku pernah menyiram seragamnya pake es teh? Seingatku enggak. Apa aku pernah menginjak kakinya? Kayaknya tidak pernah. Apa aku pernah menyelupkan kaos kaki bekas di baksonya? Enggak mungkin! Itu berlebihan.
Ya intinya aku merasa tidak punya salah apapun, kenapa tiba-tiba dia begitu padaku?
Hei! Coba kasih tahu aku!