Vandalis menjengkelkan!

Aku masih bertanya-tanya perihal kelakuan kak Laras tadi padaku, benar-benar gak ngerti dengan sikapnya yang tiba-tiba memusuhi aku, sampai di kelas pun Dwi dan Sari tidak henti-hentinya ngomel kesal gara-gara kejadian tadi, aku bisa maklum kenapa mereka begitu, sebab aku memang jarang sekali atau bahkan tidak pernah bermasalah dengan siapapun.

Hari ini tidak ada kegiatan lain setelah seleksi lomba cerdas cermat, jadi sekarang kami sudah diperbolehkan pulang, kami yang sudah lelah lahir-batin bersorak-sorak mendukung perwakilan kelas kami tentu saja semangat beres-beres untuk segera pulang.

Ada yang sudah janjian pergi main ke mall bareng, atau pergi jajan cari makanan enak di dekat alun-alun selatan, kalau aku sudah punya janji dengan novel-novel ku yang baru dibelikan ayah kemarin, novel yang aku pengen dari sebulan yang lalu, aku hanya akan maraton membaca mereka sambil mesra-mesraan dengan kasur dan bantal guling ku hari ini.

"Ray, mau pulang?" tanya Arif yang baru datang entah dari mana.

"Iya Rif, kenapa?" Balasku.

"Oh, enggak, mau ngajak pergi makan bareng sih ... bisa gak?" ajaknya.

"Duh, gimana ya Rif, aku sudah punya rencana hari ini ... maaf ya."

"Rencana? mau pergi bareng anak kelas IPA 3 itu?" katanya tiba-tiba.

"Hah? Siapa? Aku gak mau pergi kemana-mana, mau langsung pulang kok."

"Ooh ... aku kira mau pergi dengan orang itu, aku cuma mau bilang kalo bisa kamu gak usah dekat-dekat sama dia, nanti kamu bisa kena masalah juga, kamu kan tau dia anaknya nakal, sering kena strap sama Pak Baroto."

Sebelum aku jawab omongan si Arif, Sari sudah menyela duluan, mungkin dia memperhatikan kami ngomong dari tadi. "Hissh ... apaan sih Rif, terserah Raya dong mau deket sama siapa juga, emang kamu siapa nya Raya ngelarang dia deket-deket sama orang."

"Ya bukan gitu, Sar, aku kan khawatir aja, soalnya selama ini Raya kan gak pernah bermasalah di sekolah, takutnya jadi kena imbasnya juga dia." balas Arif.

"Kamu khawatir Raya kena masalah apa khawatir Raya diambil dia? modus aja kamu sih," Dwi ikutan ngomong.

"Kenapa harus takut, aku yakin Raya gak suka cowok yang nakal modelan anak baru itu, ya kan, Ray?" kata Arif percaya diri.

"Yaelah Rif, jadi cowok yang Raya suka tuh menurut kamu yang kayak gimana? Kayak kamu? Kayaknya enggak deh." Sari mulai dengan mulutnya yang pedas asal ceplos.

Aku langsung menengahi pembicaraan mereka sebelum terjadi perang dunia ke-tiga. "Udah heh! ngapain jadi ngeributin masalah aku sih. Udah ah mau pulang aja. Oh iya, gak boleh su'udzon sama orang, Rif, dan dengan siapa aku mau dekat itu urusanku," kataku sambil menggendong tas ransel dan beranjak keluar kelas.

"Ray, aku anter pulang ya?" tawar arif.

"Gak perlu, aku pulang sendiri aja,"tolakku yakin.

"Ray bareeeng!" kata Dwi dan Sari kompak. Kujawab hanya dengan ayunan tangan ke udara, gestur khas untuk mengajak orang lain.

Dwi dan Sari akhirnya ikut main kerumahku, dan pas sekali mamah sudah selesai masak waktu kami sampai rumah, jadi tanpa ba bi bu langsung kami lahap makanan yang ada di meja makan, kami kelaparan karena tidak makan di kantin tadi dan hanya beli gorengan.

Setelah makan kami kembali ke kamarku dan alhasil rak buku disana mereka obrak-abrik untuk cari novel yang mau mereka baca. Jam 5 sore akhirnya mereka pamit pulang, menyisakan aku yang harus membereskan dan menyusun kembali rak buku yang sudah ompong karena isinya dikeluarkan semua oleh dua orang yang tidak bertanggung jawab.

Aku lalu mandi setelah membereskan kamarku, hari ini gak ada sms ataupun telepon dari si anak baru. Eh? kenapa juga aku kepikiran itu? Syuh ... syuhh!! pergi pikiran-pikiran yang gak jelas, mending aku bikin susu hangat dan nonton teve dari pada mikirin hal aneh-aneh.

—000—

Sekolah sudah lumayan ramai waktu aku sampai disana pagi ini, iya aku datang sedikit kesiangan gara-gara tidur larut setelah maraton novel baruku, seru! Alhasil aku telat bangun pagi.

Aku berjalan agak terburu menuju kelasku tapi eits! tunggu! ku mundurkan langkahku kembali menuju mading besar yang tergantung di dinding koridor depan dekat koperasi sekolah.

Hah?! Apa-apaan ini?!

Kenapa cerpenku bisa dicoret-coret gini? cerpen yang aku buat susah payah minggu lalu sebagai setoran untuk rubrik hiburan mading sekolahku, sekarang terlihat mengenaskan, iya! Sudah tak bisa dibaca, dan cuma tulisanku saja yang dirusak, artikel lain yang ada di mading semuanya masih mulus terjaga di tempatnya kecuali punyaku.

Akh! Kerjaan siapa sih ini?! Selamat! Sukses bikin Moodku pagi ini buyar.

Aku turunkan cerpen yg sudah tercoret-coret itu agar tidak merusak isi mading yang tadinya sempurna, nanti aku akan bilang pada ketua ekskul soal ini.

Pagi yang menyebalkan! Kuseret kakiku yang malas menuju kelas, pagi ini aku super jengkel.

"Muka kenapa, Ray, ditekuk aja?" tanya Sari.

"Nih, liat." sambil ku sodorkan cerpen yang aku tulis untuk mading sekolah.

"Astagaa ... ini siapa yang bikin jadi gini, Ray?" kata Dwi kaget.

"Aku juga gak tau, Wi, pas aku liat tadi udah kayak gini."

"Nanti kita lapor sama ketua Eksjur (ekskul jurnalistik) aja Ray, aku temenin, ini udah kelewatan nih, anak lain bisa seenaknya ngakses mading gini." kata Dwi padaku.

"Iya, Wi, aku juga kesel ... udah capek- capek bikin malah dirusak gini, jadi mau nangis."

"Sabar Ray, kita cari tau nanti siapa biang keroknya," hibur Dwi.

"Iya, Wi, jahat banget sama karya orang," kataku masih gak terima.

Waktu istirahat, Aku, Dwi, dan Sari pergi ke kelas ketua eksjur untuk mengadukan permasalahan cerpenku, namanya Rina, anak kelas IPA 3, iya ... sekelas dengan si anak baru. Rina ini orangnya cekatan dan kritis pokoknya cocok sekali jadi ketua untuk eksjur.

"Rin, bantuin Raya nih, cerpennya minggu kemaren di rusak orang," sembur Dwi tanpa basa-basi.

"Hah!? Dirusak gimana? Kan mading dikunci, kuncinya aja sama aku," balas Rina.

"Ya gak tau, ini buktinya udah kayak gini sampe gak bisa dibaca lagi."

"Ya ampun! Kurang ajar banget nih! kok bisa ya?"

"Madingnya gak kekunci tadi Rin pas aku liat ini, makanya bisa langsung aku turunin," maksudku cerpen yang sudah dicoret-coret itu yang ku turunkan.

"Wah, kampret! pasti ada yang bobol kuncinya Ray! nanti aku bilang sama bu Mala biar diselidiki Ray."

"Oke Rin, makasih ya, maaf ini jadi gini nanti aku bikin yang baru deh, Rin."

"Santai kali ah, gak usah dibikin yang baru, bikin buat minggu depan aja, yang ini udah terlanjur juga dan bukan salah kamu Ray, gak usah minta maaf," katanya menenangkan aku.

"Tau nih, si Raya, kenapa jadi kamu yang minta maaf padahal kamu yang dijahatin." tak habis pikir Sari. Aku jawab hanya dengan mengerdikkan bahu.

"Yuk ke kantin aja lah," ku bilang pada yang lain.

"Ayoklah," jawab mereka serempak, sudah seperti paduan suara.

Di kantin seperti biasa aku pesan bakso dengan es teh manis, sebenarnya kepalaku seperti mau pecah mikirin siapa yang sudah ngerusak cerpenku, gak ada satu pun orang yg bisa aku curigai karena ya buat apa? Apa faedahnya dia nyoret-nyoret mading? Kayak gak punya kerjaan. Yasudahlah, biar waktu yang menjawab siapa pelakunya.

Benda dalam kantongku terasa bergetar pendek, ada pesan masuk yang kemudian segera ku lihat isi pesannya.

> Si Anakbaru:

[madingnya kenapa ray?]

Hah? Tau darimana dia?

> aku:

[gak papa, cuma ada yang iseng ngerusak cerpenku di mading]

> Si anakbaru:

[udah tau siapa?]

> aku:

[belum]

> Si anakbaru:

[mau dibantu nyari tau?]

> aku:

[gak usah, nanti Rina yang ngurus sama bu Mala]

> Si anakbaru:

[oke, kalo ada apa-apa kasih tau aku]

> aku:

[iya makasih]

Cepat-cepat ku habiskan semangkok bakso di hadapanku karena bel masuk akan segera berbunyi. Ku biarkan rasa jengkel itu mereda saat ini, kata orang biar gak cepat tua.