Ekspresi datar, sorot mata setajam ujung tombak, tatapan yang senantiasa menindas membuat Valen merasa tertekan.
Tidak ada senyuman, pagi, siang, bahkan malam hari sekalipun. Tangisan Valen bagaikan alunan melodi yang syahdu terdengar di telinga Angga.
Cekikan yang terus menghantui Valen selama bertahun-tahun. Ia harus bertahan atas dasar cinta tanpa arah.
Betapa bodohnya Valen bertahan dalam hubungan yang begitu merugikan dirinya, di mana titik untung bagi dirinya? Kenapa tidak lari, bertahan seperti orang bodoh.
Menikah di usia muda di saat Valen menginjak usia ke-20 tahun dan menikah dengan pria bermuka dua, bahagia di awal lalu menderita di akhir, pria kejam tanpa perasaan yang tidak lain suami Valen sendiri.
Merasakan kerasnya kehidupan adalah bagian terbesar di dalam hidup Valen. Berdiri tanpa adanya penyangga, rasanya sangat sulit, bahkan hanya untuk menarik napas sekalipun.
Katakanlah Valen salah satu wanita naif yang ada didunia ini! Terdengar kejam namun itulah kenyataannya. Mencintai suaminya dengan berharap besar dengan kata - kata cinta.
Menjijikkan, dengan sangat sabar Valen menghadapi suaminya yang bertingkah seenaknya. Suaminya memang memiliki wajah tampan, kaya - raya, memiliki otak yang Jenius, apalagi dengan kariernya yang gemilang, CEO Group E.Wijaya di umurnya yang ke-22 tahun. Wanita mana yang tidak menginginkan pria semacam ini. Erlangga Wijaya, nama pria itu.
Namun balik lagi, memiliki temperamental yang buruk, egois, sombong, apa yang ingin wanita harapkan dari pria yang seperti ini?
Sungguh, Valen wanita yang terlalu naif dengan cintanya itu!
***
Valen tersadar dari lamunannya, saat terdengar suara pintu berdecit. Suaminya itu melangkah masuk tanpa menoleh ke arahnya.
Angga terlihat berantakan, baju kerja yang lusuh, dasi yang tidak terpakai dengan benar, dan lengan baju suaminya itu sudah tergulung hingga ke siku.
Valen berdiri dari posisi duduknya, mengulas seutas senyuman yang tulus kepada suaminya itu. Namun apa balasannya? Angga melewati Valen begitu saja.
Sakit? Jawaban sangat.
Ingin rasanya Valen berteriak mengeluarkan unek-uneknya. 'Aku di sini kak, seharusnya kakak melihatku.' Namun lagi-lagi Valen hanya bisa mematung dan terdiam di tempatnya tanpa melakukan apapun.
“Minumlah dengan perlahan kak.” Angga berbalik dan menatap tajam ke arah Valen. Tidak pernah ada kata benar yang terucap dari bibir wanita itu.
Valen tetap tersenyum walaupun saat ini Angga menatapnya dengan sorot mata yang memojokkan.
“Pergilah!” usir Angga dengan kasar sambil mengibaskan sebelah tangannya.
Valen kembali tersenyum untuk ketiga kalinya. Terlihat tolol, namun Valen tetap melakukannya dengan tulus. “Apa kakak ingin aku buatkan air hangat untuk mandi?”
Angga menggerakkan giginya, lalu kembali menatap Valen lebih tajam dari sebelumnya. “Apa kau tuli?!”
Valen mengambil langkah mundur, lalu menatap takut-takut ke arah Angga yang terlihat sangat marah dengan kedua mata memerah.
“Seharusnya kau tahu bukan, aku tidak suka kau bantah! Apa kau ingin aku menampar mulut lancangmu itu?” teriak Angga sekuat-kuatnya sambil mencekram bahu Valen hingga istrinya itu meringis.
Angga mendorong kasar bahu Valen. “Dasar wanita murahan!” tanpa perasaan Angga mengatai istrinya itu tanpa belas kasihan sama sekali.
Tidak tahukah Angga saat ini hati Valen semakin terkoyak lebih lebar dari sebelumnya. Sebegitu bencinya Angga terhadap istrinya? Sampai kata-kata yang tidak pantas seperti itu pun Angga lontarkan dengan enteng dan tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Ingin rasanya Valen berteriak tepat di depan wajah suaminya itu. 'Aku ini istrimu, tolonglah hargai aku sedikit saja.’ Namun kata-kata itu kembali tertahan di dalam hatinya.
“Aku membencimu, kau wanita pembawa sial. Masalah semua bermula darimu, betapa menjijikkan dirimu!”
Valen terisak, sungguh ini penghinaan yang paling kejam selama hidupnya. Sambil terisak Valen berkata pelan. “Lalu kenapa kakak menikahi wanita hina sepertiku?”
Kedua mata Angga menggelap, menandakan pria itu sedang marah besar. Sekuat tenaga Angga mendorong tubuh Valen hingga tubuh wanita itu terpeleset ke belakang.
Betapa malangnya Valen. Ia terbaring di atas lantai dengan kepala berdenyut nyeri, sungguh ini sangat menyakitkan. Air mata Valen menetes dari sudut matanya. Valen terdiam, bahkan hanya untuk sekedar bernapas saja rasanya sangat berat. Bau darah tercium kuat, Valen semakin merasakan kepalanya berdenyut hebat.
Samar-samar Valen melihat suaminya itu bergerak menjauh tanpa menolongnya. Di mana letak hati nurani suaminya? Tanpa rasa bersalah meninggalkannya begitu saja bagaikan sampah, sedangkan sampah saja masih memiliki harga, lalu dirinya? Bagaikan ludah yang sudah di buang. Bagaimana kalau dia mati, Angga pria tanpa perasaan.
Air mata Valen tidak berhenti mengalir dari sudut mata wanita itu, hingga Valen tidak dapat menahan kedua matanya lagi untuk tetap terbuka.
Entah sudah berapa lama Valen terbaring di atas lantai dingin tanpa beralaskan apapun.
Matahari sudah berada di atas kepala, panasnya dapat membakar kulit. Namun Valen masih belum membuka matanya.
Setelah tiga puluh menit berlalu, Valen menggeliat pelan di tempatnya. Hal pertama yang Valen usaha lakukan adalah mencoba membuka matanya secara perlahan.
Hal pertama yang menembus retina mata Valen adalah cahaya matahari yang sangat menusuk. Valen menggerakkan tangannya untuk menutupi kedua mata dari silaunya cahaya. Valen kembali meringis saat merasakan kepalanya berdenyut nyeri.
Kembali berputar adegan-adegan menyakitkan itu seperti kaset rusak. Di mana pria kejam itu meninggalkan Valen tanpa rasa iba sedikitpun sebagai manusia.
Tidak hanya di kepala, Valen kini dapat merasakan bahunya terasa sakit untuk di gerakkan. Valen tertawa sumbang meratapi nasibnya, kesalahan apa yang telah ia perbuat dahulunya.
Sekuat tenaga Valen mencoba mengubah posisinya menjadi duduk lalu menyender pada dinding. Kedua mata Valen semakin memanas saat melihat darah kering yang cukup banyak di atas lantai, separah itu?
Valen mencoba berdiri lalu meraba-raba dinding sebagai penyangga.
***
Angga membersihkan dirinya, setelah rapi ia berdecak kagum di depan cermin, lalu ia melangkah mengambil tas kerja miliknya.
Membuka pintu kamar, setelah berada di depan pintu utama, Angga berputar balik, melangkah sedikit tergesa-gesa.
Angga terdiam sesaat melihat tubuh istrinya yang masih terbaring di atas lantai dan terlihat tidak berdaya.
Angga menunduk, melihat jelas wajah Valen yang terlihat pucat. Kedua mata Angga melebar saat melihat betapa banyaknya darah kering si sekitar kepala Valen.
Hati kecilnya memberontak, namun dendam tetaplah dendam, dan harus terbalaskan. Angga menegakkan tubuhnya dengan susah payah, kedua matanya tidak lepas menatap wajah Valen.
Katakan Angga kejam, namun ia tetap harus berpegang teguh pada pendiriannya. Persetan dengan hatinya yang tidak sejalan, demi Katy, Angga sanggup melakukan hal yang lebih gila lagi dari ini.
Angga menghela napas lalu memejamkan matanya. Ia tersenyum kecut, setelah membuka mata ia kembali menatap Valen lekat-lekat lalu menyeringai dengan sorot mata mematikan. “Akan aku pastikan kau menyesal telah terlahir ke dunia ini.” Setelah itu Angga berbalik lalu melangkahkan kakinya menjauh tanpa menoleh ke arah Valen.
***
Valen melangkah pelan menuju dapur. Setelah beristirahat beberapa jam di dalam kamar Valen memutuskan untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Cukup dengan sosis pedas dan sawi tumis untuk mengisi perut kecilnya. Setelah selesai mengisi perut, Valen putuskan untuk membersihkan rumah suaminya yang masih berantakan sejak semalam.
Kini kepala Valen sudah rapi terlilit perban, namun ia tetap tidak mengeluh, ia melakukan tugasnya dengan baik tanpa merasa berat hati.
Valen mengayunkan tangannya, mengepel darah miliknya di atas lantai, bau amis dan aroma darah sangat tercium jelas. Tubuh Valen merinding, Angga memiliki sisi gelap yang sungguh menakutkan.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu yang jelas matahari telah menghilangkan dan telah tergantikan oleh terangnya rembulan, tidak lupa bintang-bintang kecil di atas langit.
Valen melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah pukul sebelas malam, namun Angga tidak kunjung pulang. Valen tetap cemas, benar-benar bodoh!
Valen bergumam pelan. “Apa dia tidak pulang?”
Menunggu mungkin hal yang paling melelahkan, namun Valen adalah wanita yang pantang menyerah, menunggu selama satu jam, dua jam, atau bahkan lima jam lagi, Valen akan tetap menunggu kepulangan suaminya itu.
Valen memandang lekat foto pernikahan mereka yang terpajang di ruang tamu. Sudah tiga bulan mereka menikah, dan selama itu pula Valen merasa tersiksa fisik dan batin.
Valen mulai lelah saat jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, rasanya sangat lelah, Valen butuh mengistirahatkan tubuhnya. Namun lagi-lagi Valen tidak bisa melakukan itu, Angga belum pulang, dan dia mengkhawatirkan pria itu.
Untunglah tidak lama kemudian terdengar suara pintu bergerak, dan derap langkah kaki yang terdengar jelas di telinga Valen. Valen berdiri dari posisi duduknya, lalu menatap ke arah Angga yang belum menyadari keberadaannya.
Dengan sisa tenaga yang di miliki, Valen melangkah ke arah suaminya yang terlihat sangat lelah.
“Kak?”
Angga menatap ke arah Valen dengan ekspresi datar, ia memalingkan wajahnya membuat hati Valen menciut. Namun Valen tetaplah wanita tangguh yang pantang menyerah.
“Kakak mau aku siapkan air panas?” Angga berhenti lalu menatap malas ke arah Valen, malam ini Angga hanya butuh istirahat dan tidak ingin melukai wanita itu kembali.
“Kau bisa diam? Aku sangat lelah,” ucap Angga pada akhirnya.
Valen tersenyum tulus. Seketika tubuh Angga menegang, betapa bodohnya ia selalu bersikap kasar, sedangkan Valen selalu bersikap lembut kepadanya. Namun lagi-lagi wajah Katy terbayang-bayang di ingatannya membuat hati Angga mati rasa.
Tanpa Angga sadari Valen menyentuh dengannya dengan lembut. “Pasti kakak lelah ya? Sini tasnya aku bawakan.” Angga terkejut, ia menepis tangan Valen dengan kasar. “Berhentilah bersikap baik!”
Angga mendorong pelan bahu Valen.
“Menyingkirlah!”
Valen menundukkan kepalanya. Angga tidak peduli, ia melangkah melewati Valen begitu saja.
Di dalam kamar Angga memegangi dadanya, apa ia terlalu jahat? Lalu bagaimana dengan wanitanya? Valen pantas mendapatkan ini semua.
Kenapa semuanya terasa seberat ini, Angga ingin memaafkan namun rasanya sangat sulit.
Wanita yang ia cintai harus mati di tangan wanita sialan itu, dan Angga tidak membalaskannya, Katy pasti tidak akan tenang di alam sana. Apapun yang terjadi, Valen harus menderita.
Bersambung...