Valen menatap punggung suami yang menghilang di balik pintu. Angga tidak pernah menghargai sedikit saja perhatian tulus yang selalu istrinya berikan.
Ketika hilang? Baru menyadari, begitulah manusia.
Air mata kembali menetes dari kedua kelopak mata Valen, ia memukul dadanya pelan. Ia terduduk dia atas lantai, rasa dinginnya lantai menusuk hingga ke dalam tubuhnya.
Kenapa harus dia yang menderita? Hidupnya sudah susah sedari kecil, dan setelah dewasa ia harus kembali menelan pahitnya berumah tangga.
Sebelum menikah semua sikap manis Angga hanya sandiwara belaka, Valen yang menyadari akan hal itu jelas sangat terluka. Betapa teganya Angga membodohinya selama ini, lalu memerangkapnya dalam pernikahan bodoh ini.
Tidak ada Angga yang baik, lembut, penyayang, perhatian, tidak kasar, dan mencintainya, semua itu hanyalah akal-akalan Angga menjebaknya. Betapa bodohnya Valen percaya begitu saja.
Valen mengusap matanya secara kasar, ia berdiri lalu menghirup napas dalam-dalam sebelum memasuki kamar, dia butuh sedikit meredam amarahnya yang terpendam. Bagaimanapun Valen memiliki perasaan, dia tetaplah wanita biasa juga bisa marah.
Valen memutar gagang pintu, Angga sudah terbaring di atas kasur, suaminya itu telah berganti pakaian menjadi memakai pakaian tidur.
Tanpa mau berkata banyak Valen memilih tidak membuka suara. Ia ikut membaringkan tubuhnya di sisi kanan Angga, menarik selimut hingga ke dada lalu memejamkan mata menuju alam mimpi yang setidaknya lebih indah.
***
Alarm berbunyi, Valen menggeliat pelan lalu membuka matanya perlahan, mematikan alarm ponsel miliknya yang cukup mengganggu.
Valen memilih duduk sesaat, melihat ke arah Angga yang masih tertidur pulas. Ia menyibak selimut lalu bergegas melakukan rutinitasnya.
Ia melirik jam tangannya, jam 4 dini hari. Ia mulai memotong wortel, kol, daun sup dan bumbu-bumbu lainnya.
Valen kembali melihat ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah enam. Setelah selesai menyajikan makanan di atas meja makan, Valen bergegas menuju kamar.
Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Valen mengguncang pelan lengan suaminya itu hingga Angga membuka mata.
“Apa?” katanya dengan ketus.
“Sudah setengah enam kak. Waktunya siap-siap.”
Tanpa berkata banyak Angga beranjak dari atas kasur lalu meninggalkan Valen tanpa kata setelahnya. Valen menghela napas lalu mengelus dadanya. “Sabar... Sabar.”
Valen memilih menunggu di meja makan, derap langkah kaki Angga terdengar, Valen memilih berdiri lalu menatap suaminya yang hanya menatap lurus ke depan.
“Kak?”
Angga berhenti lalu menoleh ke arah Valen. “Apa lagi?”
Valen tersenyum tulus. “Makan dulu, aku sudah buatkan sup kesukaan kakak.”
Angga terkekeh, namun setelah itu ia kembali melangkah kakinya menuju pintu utama rumah mereka. Valen terbengong di tempatnya, setelah merasa sadar dengan terburu-buru Valen mengejar Angga yang sudah jauh di depan.
Dengan napas tersengal-sengal, Valen menarik pelan tangan Angga. “kak?” Angga menepis tangan Valen, membuat dada Valen mendadak sesak.
Valen mendongakkan wajahnya lalu menatap lelah ke arah suaminya itu, ia menarik tangannya yang menggantung di udara.
Satu tamparan mendarat di pipi kanan Valen, kedua mata Valen memanas, ia memegangi pipinya dengan perasaan hancur.
“Berhenti mengusik hidupku!” Angga mendorong tubuh Valen hingga terjatuh ke lantai, jari telunjuknya menunjukkan tepat ke wajah Valen yang sedang menatapnya. “Kau hanya wanita yang tidak punya malu. Berulang kali di kasari tetap tidak mengerti!” Angga berbalik, membuka pintu lalu meninggalkan Valen yang sedang terisak pilu.
Angga memegangi dadanya di depan pintu. Suara tangisan Valen masih terdengar oleh telinganya, isakannya begitu menusuk hati, mungkin wanita itu sudah sangat lelah.
Sekali lagi hati Angga menolak dirinya untuk terus berbuat jahat. Angga rasanya ingin memarahi dirinya sendiri, dia pria dan terus-menerus melukai seorang wanita.
Apa ini salahnya yang ingin tetap membalaskan dendam? Lalu bagaimana dengan Katy, wanita yang ia cintai yang harus mati di tangan Aileen.
Suara tangisan Valen semakin kuat, dada Angga bergemuruh, rasanya hatinya juga ikut terluka. Angga tahu Valen melakukan semuanya dengan tulus, namun setiap mengingat Valen adalah penyebab utama dalam meninggalnya Katy, membuat Angga marah.
Angga ingin meneriaki takdir yang seolah mempermainkannya. Kenapa harus serumit ini, dan kenapa rasanya untuk memaafkan itu sangat sulit?
Angga bergegas melangkah saat dirinya sudah tidak sanggup lagi mendengar suara Valen yang terus menyebut namanya dengan lirih.
***
Angga harus berkutat dengan pekerjaan selama delapan jam, dan satu jam istirahat. Tubuhnya sangat lelah, terlalu banyak masalah proyek yang cukup membuat kepalanya ingin meledak.
Angga melirik jam tangannya, sudah pukul tiga sore. Ia mulai membereskan berkas-berkas di atas meja.
Rasanya setelah lelah seharian ia butuh bermain sedikit, tiba-tiba wajah Valen terlintas membuat seringai jahat tercetak di wajahnya yang tampan.
Angga semakin semangat untuk pulang, di mana mainannya itu berada. Setelah rapi Angga bergegas keluar dari gedung bertingkat sepuluh itu, turun dengan menggunakan lift. Selama di dalam Lift Angga memilih menyanyikan lagu kesukaannya sambil memainkan sebelah kaki hingga menimbulkan bunyi yang sedikit menganggu.
Membayangkan setibanya di rumah, Valen akan menyambutnya lalu dengan jahatnya ia akan kembali menyiksa wanita itu.
Namun tiba-tiba Angga tertawa, betapa jahatnya dirinya saat ini. Belum apa-apa dia sudah merencanakan hal jahat untuk istrinya sendiri.
Baru tadi pagi ia merasa sedikit menyesal, lalu sekarang Angga ingin mengulangi perbuatannya lagi. Tidak berprinsip.
Angga melangkah pelan ke arah mobilnya. Kedua matanya sedikit menyipit saat cahaya matahari cukup menusuk ke mata. Panasnya terik matahari yang masih cukup terasa membuat Angga sedikit mempercepat langkah kakinya.
Setiba di dalam mobil, Angga segera mengemudikan mobilnya. Ia kembali menyanyikan beberapa lagu hingga akhirnya ia sampai di depan rumahnya yang megah.
Tanpa mau repot-repot memasuki mobilnya ke dalam garasi, Angga meninggal mobilnya begitu saja, tidak perlu khawatir karena ada Pak Danu yang akan memarkirkan mobilnya dengan benar.
Tubuh Angga menegang saat mendengar suara merdu mengalun indah dari arah dapur. Ia melangkah mendekat, semakin mendengar suara yang sangat ia kenal itu beralun lirih. Hatinya tertusuk, Valen menyanyikan lagu dengan begitu lirih. Ia tersenyum masam. Apakah saat ini Valen sedang mengeluarkan isi hatinya melalui lagu yang dinyanyikannya.
Angga merasakan sesuatu yang panas menjalar di seluruh tubuhnya saat suara serak Valen terus bernyanyi, pertanda istrinya itu tengah menahan tangisan yang siap terdengar sebentar lagi, dan benar saja, Valen terdiam lalu terisak pelan.
Angga memundurkan tubuhnya, berbalik arah lalu melangkah cepat menuju kamar. Ia membuka kamar mandi dengan gerakan kasar, membuka pakaian dengan asal lalu berdiri di bawah shower dengan air menyala.
Kepalanya sangat pusing. Ia ingin berhenti namun dendam itu terus menahannya untuk berbuat jahat. Kenapa takdir begitu jahat membuat Angga menjadi manusia yang kejam tanpa perasaan.
Dengan emosi yang membuncah ia menumbukkan tangannya ke dinding, meneriaki dirinya sendiri. Kenapa dia bisa sekejam itu dengan wanita selemah istrinya.
Kenapa katy harus meninggal dan Valen lah penyababnya. Kenapa? Kenapa dunia begitu kejam, mempermainkan Angga hingga pria itu berubah menjadi monster yang mengerikan bagi Valen.
Tubuhnya mendadak lemas, Angga terduduk dengan kepala tertunduk dengan gemercik air yang terus-menerus membasahi tubuhnya dari atas.
Mengacak rambutnya dengan frustasi. Haruskah dia berhenti? Menerima takdir begitu saja. Mungkin ini jalan yang sudah di tentukan untuknya.
***
Valen terus tertawa tanpa henti saat bersama ibu mertuanya. Tentu saja Diana sangat menyayangi Valen, menantunya itu begitu ceria dan membuat harinya lebih berwarna.
Merangkai bunga adalah kegemaran Diana dan Valen akan dengan sangat senang menemaninya dengan sambil berbincang ringan.
“Jadi kapan mama punya cucu nih?”
Valen terdiam, raut wajahnya seketika berubah. Diana tersenyum lembut. “Kenapa?”
Dengan cepat Valen mengubah mimik wajahnya, ia tersenyum lalu menggeleng.
“Sabar ya ma, lagi di proses kok.”
Diana tersenyum masam. “Apa jangan-jangan kalian menunda untuk memiliki anak ya?”
Valen gelagapan di tempat duduknya, ia bergerak gelisah. Mencari alasan yang tepat untuk di katakan kepada ibu mertua itu.
“Tidak seperti itu ma. Kami sedang berusaha kok,” balas Valen sambil memegang sebelah tangan mama mertuanya.
Diana membalas genggaman menantunya itu dengan lembut. “Mama sudah kepingin punya cucu. Kamu bilang dong sama Angga jangan terlalu sibuk kerja,” pinta Diana dengan tatapan penuh harap, lagi-lagi Valen hanya bisa mengangguk.
Dalam hati Valen merasa bersalah karena sudah terlalu sering berbohong, cucu dari mana? Sedangkan Angga saja tidak Sudi hanya sekadar berbicara dengannya.
Valen hanya merasa dirinya menjadi istri pajangan saja. Tapi apa yang bisa ia perbuat, mungkin ini sudah jalannya. Ia hanya menunggu waktu, pasti akan ada hari yang indah, walaupun entah kapan.
Namun Valen sudah bertekad akan membicarakan hal ini dengan suaminya itu. Ia tidak bisa terus berbohong dan memberikan harapan yang mungkin tidak akan pernah terjadi.
“Ma?” lamunan Valen seketika buyar saat melihat Angga sedang melangkah ke arah mereka saat ini.
Angga tersenyum ke arah mereka. Valen tidak mau terlalu percaya diri, Angga pasti hanya sedang tersenyum ke arah mamanya, dan senyuman itu tidak akan pernah ia dapatkan.
Angga langsung berdiri tepat di sebelah Valen, merangkul pundak Valen sembari tersenyum.
Valen meringis. Suaminya itu sangat pandai dalam berperan, kenapa Angga tidak menjadi aktor saja.
Angga mengusap kepala Valen dengan lembut, tubuh Valen menegang dan hal itu sangat di sadari oleh Angga. Namun ia hanya memilih diam dan terus mengusap kepala istrinya.
“Tolong dong kalau mau romantis-romantisan jangan di depan mama.”
Angga hanya tertawa kecil. “Kayak mama sama papa gak kayak gitu aja,” sindir Angga yang langsung di tanggapi Diana dengan cengiran.
“Kalau mama sama papa beda dong,” balas Diana tidak mau kalah. Angga mengangguk. “Mama selalu benar.” Lalu Diana tersenyum puas.
Angga mengambil posisi duduk di antara keduanya. Baru saja bokong Angga menyentuh lembutnya kursi duduk di rumahnya dengan lantang Diana mengutarakan keinginannya.
“Mama kepingin cucu, kapan kamu mau kasih?”
Angga terdiam, ia melirik ke arah Valen yang memilih menundukkan kepala.
Angga menatap ke arah mamanya. “Ma, untuk dapat anak gak semudah buat kue ya ma,” balas Angga dengan nada lelah.
Diana mendengus. “Mama tahu. Tapi kamu juga usaha dong, jangan kerja terus! Gimana Valen mau isi kalau gitu!” protes Diana dengan nada tegas.
Angga menghembuskan napas berat. “Akan aku usahakan ma.”
Diana mengacungkan jari kelingking di depan Angga. Angga menatap mamanya dengan heran. “Untuk apa ma?”
Diana berdecak kesal. “Ya untuk janji kamu lah. Cepat kaitkan jari kamu ke jari kelingking mama!” titahnya tanpa bantahan. Angga menggeleng kepala. “Mama sudah tua masih juga mau buat janji dengan cara seperti ini?”
Diana mengangkat kedua bahunya. ”Cepatlah, jangan banyak protes!”
Akhirnya Angga menurut dan melingkarkan jarinya di antara jari Diana hingga membuat mamanya tersenyum puas.
Bersambung...