Part 5 (Rasa Manis)

"Kau mau yang mana?" tanya Angga sambil mengambil beberapa pakaian yang menurutnya cocok untuk Valen kenakan.

Valen senang Angga terlihat antusias memilihkan pakaian untuknya, namun apakah sikap Angga akan benar-benar berubah, atau hanya ilusi semata untuk kembali melukai hatinya lebih dalam.

Angga berbalik, menatap Valen yang sedang menatap lurus ke depan. Sedari tadi Angga sibuk berbicara, dan Valen malah asik melamun. Angga melambaikan sebelah tangannya tepat di depan wajah Valen hingga istrinya itu mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Kau melamun?" tanya Angga yang sebenarnya sudah dapat ia jawab sendiri melihat gelagat Valen saat ini.

Valen menundukkan kepalanya. "Maaf kak," sesalnya sambil meremas kedua tangannya.

Secara spontan Angga mengusap puncak kepala Valen hingga membuat istrinya itu mendongak, menatap Angga dengan keterkejutan. Angga buru-buru menarik tangannya namun ia tidak lupa tersenyum lembut setelahnya. "Aku tidak akan memarahimu," ucap Angga selembut mungkin.

Angga mengangkat baju-baju di dalam genggaman. "Kau mau yang mana? Atau kita ambil semua saja?" tanyanya yang terlihat kebingungan.

Valen menggeleng. "Aku mau yang ini sama yang ini aja kak," balasnya cepat.

Kening Angga mengerut. "Cuma dua?" Secepat mungkin Valen mengangguk. "Apa aku terlihat sangat perhitungan?" tanya Angga kesal.

Valen kembali menggeleng. "Untuk apa beli baju banyak-banyak kak, di lemari pakaian bajuku masih bagus-bagus kok, masih sangat layak pakai," tuturnya.

Angga menghela napas lelah. "Semua baju ini aku beli saja, aku tidak butuh pendapatmu," kata Angga pada akhirnya.

Ketika Angga hendak melangkah, Valen dengan cepat menarik pelan lengan Angga hingga suaminya itu berbalik ke arahnya. "Apa lagi?" tanya Angga dengan sebelah alis terangkat.

"Bajunya jangan dibeli semua kak, sayang uangnya," ucap Valen pelan.

Ekspresi Angga berubah datar. "Aku yang bayar, bukan kau kan?" geram Angga hingga membuat nyali sekaligus hati Valen menciut.

Segera Angga berbalik menuju meja kasir meninggalkan Valen yang hanya mampu terdiam. Sebelah tangannya menekan dadanya yang mendadak sesak.

Kedua matanya memanas, ke mana hilangnya Angga yang bertutur lembut saat pertama kali mereka bertemu.

Terlalu lama dengan hayalannya hingga Valen tidak menyadari Angga sudah berdiri di hadapannya dengan empat paper bag di tangannya.

"Sampai kapan kau mau berdiri di sini?" tanya Angga kesal. Namun ketika Valen mendongak dengan mata berkaca-kaca membuat Angga membatu, mungkin saja kata-katanya sudah melukai hati istrinya itu.

Angga meletakkan paper bag di tangannya di atas lantai. Kedua tangannya menyentuh pundak Valen lalu meremasnya pelan. "Apa kata-kataku terlalu kasar?" tanyanya dengan raut wajah bersalah.

Valen tersenyum tipis. "Tidak," balasnya singkat. Angga menghela napas kasar. "Aku..." Angga menutup mulutnya rapat-rapat, untuk mengucapkan kata maaf rasanya sangat berat.

Angga menunduk, lalu mengangkat papar bag itu ke dalam genggamannya. "Ayo, kita pulang," ajaknya.

"Biar aku bantu kak," tawar Valen melihat tangan Angga yang penuh.

Helaan napas Angga kembali terdengar. "Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri," tolak Angga secara terang-terangan.

Valen kembali memilih diam dan mengikuti langkah Angga dari belakang. Tiba-tiba Angga berhenti, dan Valen tidak bisa menghindari hingga menubruk punggung suaminya itu.

Angga berbalik memasang wajah lelah. "Apa kita tidak bisa jalan beriringan?" tanyanya lemah.

"Bisa kak," jawab Valen cepat. Angga terdiam sesaat sebelum menyodorkan paper bag di tangan kanannya ke hadapan Valen, dengan sigap Valen mengambil ahli belanjaan miliknya itu.

Angga bertindak cepat, menarik lembut tangan kiri Valen yang kosong ke dalam genggamannya. Valen terlihat terkejut namun tidak berselang lama ketika Angga menarik pelan tangan istrinya itu.

"Apa kau mau es krim?" tanya Angga saat tidak jauh dari tempat mereka berjalan ada sebuah toko es krim.

"Mau," sahut Valen kegirangan. Angga tersenyum tipis, saat berpacaran dulu, Angga cukup mengenal baik Valen sangat menyukai segala macam es krim, istrinya itu tidak mungkin menolak.

Setelah mengantre, Angga mendapatkan satu cup besar es krim. "Ayo," ajak Angga lagi. Kedua mata Valen tidak berhenti melirik ke arah kantong berisikan es krim miliknya.

Kedua matanya beralih menatap wajah Angga dari samping. Apa suaminya itu hanya berniat mempermainkannya.

Angga menaruh belanjaan milik mereka ke dalam bagasi mobil. Angga kembali tersenyum melihat kantong berisikan es krim milik Valen.

Ketika membuka pintu mobil lalu memasang seatbelt dan menghidupkan mesin. Angga baru menyodorkan kantong berisikan es krim itu ke hadapan Valen yang terlihat menunggu sedari tadi.

Tanpa banyak bicara Valen membuka es krim dalam cup besar itu. "Ah, es krim banyak sekali. Perutku akan meledak," katanya girang.

Selama perjalanan Valen tidak berhenti berkata, wah enaknya, lezat sekali, manis banget, ah sukanya. Valen terlihat sangat menyukai es krim pemberian suaminya itu.

Valen menoleh ke arah Angga. "Kakak mau?" tawarnya dengan senyuman lebar.

Angga melirik dari sudut matanya. Melihat sendok di tangan Valen, bekas bibir istrinya itu. Seketika pikiran Angga menjadi kacau, Angga menggeleng kepalanya, mengusir pikiran negatif di dalam pikirannya.

"Yasudah kalau kakak gak mau," katanya lemah. Angga mengerjapkan matanya. "Boleh," kata Angga buru-buru.

Kedua mata Valen berbinar, menyendokkan es krim itu lalu menyodorkan ke arah mulut Angga. Angga segera membuka mulutnya lalu mengecap rasa manis yang sangat kentara.

"Terlalu manis," ucap Angga sambil melirik wajah Valen yang menunggu reaksinya.

"Namanya juga es krim kak," balas Valen sambil terkekeh pelan.

Angga meminggirkan mobilnya. Valen terlihat bingung. "Kenapa berhenti kak?"

Kedua mata Angga tidak bisa berhenti menatap bibir Valen yang basah. Pikirannya jadi kacau dan tidak bisa berkonsentrasi mengemudikan mobilnya.

"Ya es krimnya manis, tapi lebih manisan lagi bibirmu," ucap Angga vulgar.

Tanpa banyak berkata, Angga dengan cepat menarik wajah Valen lalu mengecup intens bibir istrinya itu. Kedua mata Valen membulat, sedikit terkejut dengan sikap Angga yang terlihat terang-terangan berkata manis.

Angga memejamkan matanya, mengecap rasa manis es krim sekaligus rasa manis bibir istrinya bersamaan. Ketika Angga membuka matanya, ia bisa langsung menatap kedua bola mata Valen yang menatapnya lekat-lekat.

Angga tersenyum sebelum kembali menutup matanya, kembali mengecap bibir Valen dengan hati-hati. Mengingat baik-baik bagaimana rasa manis itu membuat dirinya melayang.

Ketika napas keduanya nyaris habis, barulah Angga melepaskan tautan bibirnya. Mengusap puncak kepala Valen sebelum kembali menjalankan mobilnya.

"Kita lanjutkan di rumah," kata Angga sambil mengedipkan sebelah matanya.

Valen terbatuk di tempat duduknya. Es krim di atas pangkuannya mulai mencair, entah berapa lama Angga menciumnya, wajah Valen memanas mengingat kejadian barusan yang sangat intim di tepi jalan di dalam mobil bersama suaminya sendiri.

Wajah Valen bersemu merah saat Angga menjauhkan wajahnya lalu mengusap bibir Valen.

"Aku tahu kalau rasa bibirmu lebih manis," ucap Angga tanpa sungkan atau merasa malu.

Valen memalingkan wajahnya ke arah jendela, mengabaikan Angga yang mulai menghidupkan mobil lalu kembali fokus ke arah jalan raya.

Jantung Valen berdebar kencang, suaminya itu memiliki banyak cara untuk membuatnya melayang.

Bersambung...