Part 7 (Bimbang)

Berhari-hari Angga merasa tidak tenang, dirinya merasa di hantui, oleh sikapnya yang berubah drastis terhadap istrinya itu.

Sudah beberapa hari ini Angga selalu memimpikan sosok Katy di dalam mimpinya menggunakan gaun hitam yang begitu gelap di pandang mata.

Katy seakan menuntut Angga untuk membalaskan rasa sakitnya dan merasa kesal dengan keputusan yang Angga ambil saat ini.

Tidak tahan terus di hantui oleh bayang-bayangan mantan kekasihnya itu, Angga segera memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Kini Angga berdiri lama di depan gerbang pemakaman memakai pakaian serba hitam, topi menutupi kepalanya dan tidak lupa kaca mata hitam bertengger indah di sela hidung mancung miliknya.

Pertama kali Angga menarik napas dalam-dalam sebelum memilih melangkahkan kaki. Jejeran gundukan tanah berjejer dengan rapi dan terawat.

Angga berhenti di salah satu gundukan tanah itu yang kini sudah rapi di bentuk dengan rerumputan hijau berukuran kecil tipis-tipis, dan tidak lupa batu nisan berbentuk kotak di bagian atas dengan nama Katy Gautama.

Seulas senyuman tipis tercetak di wajah Angga saat dirinya memilih berjongkok dia sisi gundukan tanah itu. Sebotol air di tangannya ia buka lalu mulai menyiramkannya.

Tidak akan ada yang tahu bahwa Angga sedang menatap tempat peristirahatan mendiang kekasihnya itu dengan tatapan sayu, air mata itu mengalir secara bersamaan dengan air yang terus ia siramkan secara perlahan di atas tanah itu.

Jemari Angga meremas kuat botol yang kini kosong di tangannya, isakan itu mulai terdengar hingga menyayat ke ulu hati.

"A-ku mulai memperhatikannya Katy," ucap Angga serak pada akhirnya.

Jemari Angga bergantian meremas rerumputan halus yang menghiasi tempat peristirahatan Katy.

"Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya frustrasi.

"Kenapa kamu terus datang ke mimpiku? Apa aku memilih jalan yang salah Katy?" Lirih Angga dengan mata terpejam.

"Aku tidak sanggup terus menyiksanya, itu sama saja aku melukai diriku sendiri," lanjutnya dengan suara yang semakin serak.

"Berikan aku jawaban Katy, kumohon," pintanya lelah.

"Berhentilah menghantuiku Katy, aku lelah. Hidupku terasa sangat berat, apa kamu bisa mengerti perasaanku Katy?"

Kedua kaki Angga melemas hingga akhirnya ia terduduk di atas tanah tanpa alas. Angga hanya memilih diam sambil menatap batu nisan milik kekasihnya itu.

Langit mulai menggelap, namun Angga seakan tidak berminat untuk beranjak dari posisinya. Dirinya hanya terus-menerus menatap batu nisan Katy dengan tatapan sayu.

Langit semakin gelap, hingga akhirnya ponsel miliknya berbunyi hingga beberapa kali. Kedua bola mata Angga dapat melihat jelas nama Valen di layar ponselnya.

"Halo," sapa Angga lebih dulu.

"..."

"Ada apa?"

"..."

"Kau tidak perlu khawatir!"

"..."

"Aku akan segera pulang," sahut Angga.

"..."

"Ya."

Angga berdiri dari posisinya, menepuk celananya yang berpasir. Melangkah tanpa menoleh ke belakang, hanya sakit yang akan Angga dapatkan saat dirinya berbalik.

Angga melanjutkan mobilnya dengan kecepatan penuh. Di lirik jam tangan di tangan kirinya, jam 9 malam, Valen pasti menunggunya saat ini. Memikirkan hal itu membuat Angga semakin mempercepat laju mobilnya.

Setibanya di rumah, Valen sudah menunggu di depan pintu utama dengan mengenakan gaun tidur miliknya. Angga segera keluar dari dalam mobil lalu menatap cemas ke arah Valen yang terlihat sedikit memucat.

"Kenapa menunggu di luar?" tanya Angga sedikit marah setelah menyentuh tangan Valen yang terasa lebih dingin.

Sebelum Valen menjawab, Angga lebih dulu membuka suara. "Jangan begini lagi, kau membuatku khawatir," cemasnya. Secepat kilat Valen mengangguk patuh. "Aku minta maaf kak," sesalnya.

"Tidak apa-apa, ayo masuk," ajaknya sambil merangkul pundak Valen.

"Bajumu tipis sekali, seharusnya kau memakai jaket tadi," ceramah Angga tidak tahan melihat wajah pusat sang istri.

"Karena kata kakak akan segera pulang," lirihnya pelan.

Angga menghela napas. "Baiklah, lain kali jangan lakukan hal ini lagi. Kalau ingin menungguku, tunggulah di dalam rumah, paham?" Valen kembali mengangguk patuh.

"Sudah makan?" tanya Angga sambil memperhatikan wajah Valen dari atas.

Valen mendongakkan wajahnya, ada sedikit penyesalan dari sorot matanya. "Tadi perutku sakit, jadi aku makan duluan. Maaf kak," sesalnya.

Tatapan Angga menggelap. "Lain kali makan tepat waktu, tidak perlu menungguku, kau sudah dewasa tidak perlu aku ajarkan lagi."

Valen kembali mengangguk patuh. "Kakak sudah makan?" tanyanya lembut.

Angga menghentikan langkahnya. "Aku tidak lapar, aku hanya butuh istirahat sekarang. Sebenarnya aku sedang tidak dalam mood yang baik Valen, bisakah kita tidak berbicara terlalu banyak?"

Sorot mata Valen memancarkan kesedihan namun dengan cepat ia tersenyum. "Baiklah," patutnya tanpa protes.

Setelah berganti pakaian Angga bergerak cepat menuju kasur, merebahkan tubuhnya di sisi Valen yang sudah lebih dulu memejamkan mata.

Angga bergerak mendekat. "Aku akan memelukmu," beritahunya. Valen hanya memilih diam, Angga tidak membutuhkan jawaban, dan tentunya Angga bebas melakukan apapun.

Usapan di puncak kepala Valen membuat dirinya merasa nyaman dan mulai mengantuk.

"Perutmu kenapa bisa sakit, maag?" tanya Angga dengan mata terpejam.

Hening, tidak ada sahutan dari Valen. Angga membuka kedua matanya lalu menatap wajah Valen lekat-lekat.

"Sudah tidur?" Kedua alis Angga menyatu sambil menatap kedua bola mata Valen yang bergerak-gerak.

"Kau belum tidur, tidak usah berpura-pura," ucap Angga kesal sambil menjentikkan jarinya di kening istrinya itu.

Valen membuka matanya perlahan, lalu tersenyum tipis.

"Perutmu tadi kenapa sakit? Kau memiliki maag?" tanya Angga penasaran.

Valen menggelengkan kepalanya. "Hanya terlambat makan saja, sedikit terasa sakit tapi bukan maag," beritahunya.

"Lain kali jangan makan terlambat," ucapnya dengan nada perintah. Valen menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.

Jemari Angga tidak tahan untuk tidak mengusap puncak kepala Valen dengan sayang. "Istri yang penurut."

"Sesekali jalan-jalan lah bersama teman-temanmu, jangan habiskan waktumu hanya di rumah seharian," ucap Angga saat tangannya memeluk perut Valen yang terasa kecil dalam pelukannya.

"Oh iya, kau juga tidak usah diet, badanmu terlalu kurus, tidak enak dipeluk."

"Aku gak diet kak," sahutnya pelan.

"Kalau gitu perbanyak lagi makanmu, nanti akan aku kasih ATM tambahan," ucapnya tanpa ingin dibantah.

"Sudah malam, tidurlah!" Perintah Angga sebelum memejamkan matanya.

"Selamat malam kak," bisik Valen sebelum ikut memejamkan mata.

Angga kembali membuka matanya, mengecup singkat kening Valen. "Selamat malam, tidurlah!"

***

Valen bergerak gelisah dalam tidurnya, jam di dinding menunjukkan pukul 3 dini hari. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, napasnya seketika sesak.

Di dalam pandangan Valen, Wajah Angga menatapnya marah dengan kedua tangan mencekik lehernya kuat-kuat.

Kata-kata kasar kembali suaminya itu ucapkan. Valen merasa dirinya akan mati, ia mulai pasrah saat matanya mulai lelah.

Suara Angga terdengar mengerikan saat mengatai dirinya adalah wanita murahan.

Napas Valen semakin sesak, tubuhnya kejang, air mata mengalir dari sudut matanya. Bahkan Valen terlihat berusaha menarik napas.

Wajah seorang pria terlihat di dalam pandangannya sambil mengulurkan tangan, pria dengan senyuman menawan.

Angga berusaha menepuk pelan pipi Valen namun hasilnya nihil, hingga akhirnya Angga meneriaki nama Valen sekuat mungkin.

Plak

Angga terkejut menyentuh pipinya yang terasa panas, sedangkan Valen menatapnya dengan horor dengan air mata membanjiri pipinya.