Part 8 (Pertemuan Ketiga Kalinya)

Angga masih tidak percaya memegangi pipinya yang terasa panas, sedangkan istrinya itu terlihat sangat ketakutan.

"Kenapa Valen? Ini aku," ucap Angga sambil menggeser tubuhnya untuk mendekat.

Valen berteriak histeris. "Jangan mendekat." Tubuh Angga mendadak kaku. "Kenapa? Kau hanya mimpi buruk," beritahu Angga mencoba menjelaskan.

"Tidak! Kakak berusaha membunuhku, jangan mendekat," isaknya pilu.

Angga bergerak gesit, memeluk erat-erat tubuh Valen yang memberontak. "Aku tidak mungkin membunuhmu, itu hanya mimpi."

Valen berteriak histeris tubuhnya menjadi kaku, napasnya semakin sesak, dekapan Angga terasa sangat menakutkan.

"Aku bukan wanita murahan," isak Valen terluka.

"Ya, kau bukan wanita murahan, berhentilah berkata seperti itu," ucap Angga sambil mengusap puncak kepala Valen yang mulai terkendali.

Pelukan Valen semakin mengerat memeluk pinggang Angga. "Kalau aku salah tolong jangan siksa aku kak," ucapnya takut-takut.

Seketika tubuh Angga menegang, entahlah dirinya seperti tidak bisa menjanjikan sesuatu hal yang mungkin saja bisa terjadi di kemudian hari.

***

Laura memasang ekspresi kesal sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Valen tersenyum canggung, menatap dengan rasa bersalah. Wajar saja sudah cukup lama dirinya tidak mengunjungi Laura, satu-satunya sahabat yang Valen miliki.

"Aku minta maaf," sesal Valen pada akhirnya.

Laura mengerucutkan bibirnya. "Sepertinya kau tidak merindukanku, kejam sekali!" gerutu Laura dengan raut kesal. "Padahal aku selalu menunggumu," tambahnya.

"Aku benar-benar menyesal, maafkan aku Laura," ucapnya sekali lagi.

"Apa kau dilarang keluar oleh suamimu itu, bahkan nomormu sudah lama tidak aktif. Kau harusnya memberitahuku di mana rumahmu, aku sangat khawatir membayangkan sikap kasar suamimu itu Valen," ucap Laura sambil menepuk pelan bahu Valen. Wajar saja, Laura sudah menganggap Valen seperti kakak kandungnya sendiri.

Senyuman tipis tercetak di wajah Valen. "Kau baik-baik saja, kan?" tanya Laura sambil mengamati wajah bahkan seluruh tubuh Valen, memastikan tidak ada memar atau bekas luka di sana.

"Tentu saja. Sikap suamiku sudah banyak berubah, dia sangat baik akhir-akhir ini," beritahu dengan ceria.

Kedua alis Laura saling bertautan. "Benarkah?" tanyanya seakan tidak percaya.

"Kau sedang tidak berbohong, bukan?" tuduh Laura yang tidak dengan mudah percaya dengan ucapan Valen. Valen terlalu baik dan selalu menyembunyikan kesedihannya.

Valen menggenggam jemari Laura. "Aku sedang tidak berbohong Laura, percayalah."

Laura menghela napas lega. "Syukurlah." Setelah itu Laura langsung merentangkan kedua tangannya lalu memeluk erat-erat Valen ke dalam dekapannya.

"Kalau pria brengsek itu kembali menyakitimu, aku akan menghabisinya. Kau punya aku Valen, jangan menyimpan bebanmu sendirian," beritahu Laura sambil menepuk pelan bahu sahabatnya itu.

"Hm, terima kasih Laura," balasnya penuh rasa haru.

"Laura, di mana kunci mobilku?" Suara pria itu tiba-tiba menggema mengisi seluruh ruangan.

Mereka saling melepaskan pelukan lalu berbalik menatap ke arah suara. Wajah pria itu terlihat terkejut sama halnya dengan wajah Valen saat ini.

"Kamu?!" ucap pria itu lebih dulu.

Kening Laura mengerut sambil menegakkan tubuhnya. "Kalian saling mengenal?" tanyanya penasaran. "Di mana, kau mengenal sahabatku Justin?" Rentetan pertanyaan kembali Laura layangkan hingga membuat pria bernama Justin itu terlihat kesal.

"Bisakah kau diam sebentar Laura, kau sangat berisik!"

Laura mendengus. "kalau begitu kunci mobilmu akan aku tahan," ancam Laura sambil tersenyum.

Justin memutar bola matanya saking merasa jengkel. Tanpa banyak bicara Justin mengambil posisi duduk di sisi kiri Valen sambil menatap lekat-lekat wajah wanita di hadapannya saat ini.

Laura yang merasa jengkel menarik Valen untuk berdiri dan berlindung di balik tubuhnya.

"Hei! Tatapanmu sangat tidak sopan Justin!" tegur Laura dengan mata melotot.

"Apa? Aku tidak melakukan hal yang tidak senonoh. Bersihkan otakmu itu lebih dulu adik kecilku," balas Justin tidak mau kalah.

"Kunci mobilmu di kamarku, di atas meja. Pergilah!" usir Laura dengan tatapan kesal.

Justin memicingkan matanya. "Kau semakin menyebalkan Laura," cibir Justin tanpa ampun.

Laura mengangkat bahunya tanda tidak peduli.

"Pergilah!" usirnya sekali lagi.

Bukannya beranjak dari tempatnya duduknya, kedua mata Justin secara terang-terangan menatap Valen yang terlihat sesekali menatap dan menundukkan kepala.

"Kamu masih mengingatku nona?" tanya Justin sesantai mungkin.

Valen yang sedang menundukkan kepalanya segera mendongak lalu tersenyum tipis.

Bagaimana bisa Valen melupakan pria baik di hadapannya saat ini.

***

Tepat seminggu yang lalu, Valen berbelanja seperti biasa di supermarket yang lokasinya tidak jauh dari rumah.

Mengingat sabun dan kebutuhan rumah mulai menipis, pada hari itu walaupun hujan turun, Valen tetap bertekad berbelanja.

Berbekal payung dan jaket tebal menutupi tubuh ringkihnya Valen berjalan kaki menuju supermarket. Setidaknya malam ini Valen bisa membuat sup tulang, makanan favorit Angga.

Sekitar satu jam Valen asik memutari isi supermarket, akhirnya Valen harus pulang dengan tiga kantor plastik besar.

Cuaca di luar semakin buruk, sesekali petir menyambar. Siapa saja yang mendengarnya pasti akan terkejut saking kuatnya, bahkan kilatan putih terlihat jelas di atas langit.

Pada akhirnya Valen memilih menunggu sebentar di depan supermarket sambil memegang payung dengan belanjaan diletakkan di atas lantai yang mulai basah.

Langit semakin menggelap, Valen melirik jam tangan murah di tangannya menunjuk pukul 4 sore hari. Langit lebih terlihat gelap, tidak seperti biasanya, hujan seperti tidak akan meredah malah akan semakin memburuk.

Dingin semakin menusuk ke tulang-tulang, namun melihat tiga kantong besar yang harus dia bawa sampai rumah, seperti cukup berat dan akan sangat sulit. Ingin menghubungi Angga namun Valen rasa dirinya hanya akan merepotkan suaminya itu.

"Permisi?"

Valen menoleh, di sana pria itu tersenyum dengan ramah.

"Apa kamu sedang mengalami kesulitan?" tanya pria itu sambil melirik kantong berisikan belanjaan milik Valen.

Valen tersenyum canggung. "Ah, tidak kok," elaknya sesopan mungkin.

"Tidak usah sungkan. Apa kamu perlu tumpangan? Cuacanya sedang tidak mendukung, kalau kamu mau, kamu bisa ikut bersamaku, aku akan mengantarmu sampai ke rumahmu," tawarnya selembut mungkin.

Kening Valen mengerut menatap pria di hadapannya penuh selidik, terlihat sangat mencurigakan. "Tidak perlu, terima kasih."

Valen hendak mengangkat belanjaan miliknya namun dengan cepat Justin menahan tangan Valen hingga membuat kedua mata Valen membulat. "Apa yang kamu lakukan?!"

Justin mengeluarkan dompetnya, lalu menarik satu kertas berwarna gold. "Perkenalkan nama saya Justin Wilson, CEO BW Internasional. Haha, apa wajahku terlihat seperti seorang penjahat nona?"

“Oh ya, dan kita pernah bertemu sebelumnya, waktu itu kita saling bertabrakan, apa kamu ingat?” ucap pria itu sambil tersenyum, namun Valen dengan cepat menggeleng. “Maaf, aku tidak ingat.”

“Ah baiklah, bagaimana kamu mau aku antar pulang, atau kamu masih mengira aku seorang penjahat yang tampan?” lanjut pria bernama Justin itu.

Valen terdiam sesaat sebelum tersenyum canggung. "Aku tidak bermaksud seperti itu," elaknya. Justin tertawa pelan. "Sepertinya memang seperti itu, bukan?"

"Aku akan mengantarmu, hujannya sangat deras," beritahu pria itu sambil menatap jalanan yang penuh dengan genangan air.

Valen masih terlihat ragu. "Aku bukan orang jahat, tenanglah," ucap pria itu sambil tersenyum.

Valen tersenyum. "Apa aku tidak merepotkan?" tanyanya hati-hati.

"Bukankah sesama manusia harus saling membantu nona?"

Valen menarik napas sesaat. "Maaf merepotkanmu."

Bersambung...