“Hamil?” Mimik wajah Angga mendadak pucat.
Wajah Valen berseri-seri. “Iya kak, tadi udah aku cek pakai testpack, dan hasilnya positif,” ucapnya gembira.
“Bagaimana bisa?” Kening Valen mengerut.
“Maksudnya apa kak?” tanya Valen bingung.
“Kenapa kau hamil? Aku belum siap,” ucap Angga datar. Kening Valen semakin mengerut. “Belum siap?” ucap Valen terluka.
“Ak-u, aku gak tahu mau bilang apa, aku pusing,” balas Angga sambil memijat keningnya yang mulai berdenyut.
Kedua mata Valen berkaca-kaca. “Bukankah hubungan kita baik-baik saja, lalu kenapa kakak tidak ingin memiliki anak dariku,” ucapnya penuh kekecewaan.
Angga menggeleng. “Aku tidak bilang tidak ingin mempunyai anak darimu, hanya saja aku belum siap, apa kau tidak mengerti Valen?”
Valen tersenyum tipis. “Kalau belum siap? Seharusnya kita tidak tidur bersama!” tandasnya.
Angga mengeram. “Aku tidak ingin ribut!” balasnya kesal.
Valen bergerak mundur, menjauhi Angga yang masih tetap berdiri pada tempatnya. “Kakak memang tidak pernah berubah, aku hanya boneka kakak, bukan?”
“Tolong mengerti aku Valen, aku hanya sedang syok saat ini, kehamilanmu terlalu mendadak.”
Wajah Valen mendadak datar. “Kapan aku tidak mengerti? Pernah gak aku melukai kakak dengan kata-kataku? Selama ini aku yang terluka, bukan kakak! Apa kehamilanku menjadi masalah dalam hidup kakak? Bahkan papa dan mama ingin segera memiliki cucu, lalu apa yang salah? Kenapa seakan semua yang ada pada diriku salah di mata kakak!” tutur Valen penuh penekanan, dadanya naik turun saking marahnya.
Angga mengacak rambutnya. “Aku tidak ingin ribut, mengertilah Valen.”
Valen terkekeh pelan. “Baiklah, kalau gitu kita gugurkan saja?” Angga terlihat syok mendengar perkataan Valen, bahkan matanya nyaris terbelalak dengan sempurna.
"Apa kau sudah gila Valen?" bentak Angga dengan tangan terkepal erat.
"Ini yang kakak inginkan, bukan?" tuntut Valen dengan mata memerah.
Angga menggertak giginya. "Aku rasa kau tidak mengerti bahasa yang aku katakan Valen!"
Valen tersenyum tipis. "Ya, aku selalu tidak mengerti dengan jalan pikiran kakak!" balas Valen dengan nada menantang.
Angga dengan nada tinggi kembali bersuara. "Cukup, aku tidak ingin bertengkar Valen!"
"Kakak selalu menang, aku akan selalu mengalah," balas Valen untuk kedua kalinya dengan berani.
"Diam!" teriak Angga pada akhirnya.
***
Valen termenung dalam lamunan, Laura yang berada di sisi kiri Valen tidak berhenti menepuk pelan punggung sahabatnya ini.
“Apa harus berkata apa lagi Valen? Suamimu itu tidak pernah berubah. Kau selalu tersakiti, alangkah baiknya kau tidak bersama dengannya.”
“Aku mencintainya,” ucap Valen dengan bodohnya.
“Lalu apa dia mencintaimu? Bahkan dia saja sulit menerima anak yang kau kandung!” ucap Laura dengan kesal.
“Aku akan bertahan Laura, suamiku pasti akan berubah. Bukankah akan ada hari bahagia setelah penderitaan yang panjang.”
Laura menggenggam tangannya erat-erat saking kesalnya. “Tidak ada yang seperti itu. Kau harus mencari kebahagiaanmu sendiri, tidak perlu terus-menerus merasakan penderitaan, semua yang kau lalui sangat tidak adil!” beritahu Laura kesal, mencoba membuka pikiran Valen yang seakan tertutup rapat.
“Bercerai, maksudmu?” tebak Valen sambil menatap manik mata sahabatnya itu dengan tatapan terluka.
“Jangan menatapku seperti itu,” balas Laura yang dengan cepat memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Jawablah Laura,” pinta Valen dengan nada lelah.
Laura menggenggam sebelah tangan Valen dengan kedua tangannya. “Tidak perlu khawatir, kau memiliki aku Valen, kau tidak sendirian.
Kalau berpisah adalah pilihan terbaik, maka lakukanlah,” beritahu Laura setenang mungkin. Berusaha memberi jalan keluar terbaik terhadap sahabatnya ini.
“Lalu bagaimana dengan bayiku?” tanya Valen dengan tatapan kosong. Genggaman tangan Laura semakin mengerat. “Ada aku, kita bisa membesarkan sama-sama, kau tidak perlu khawatir Valen.”
Valen memijat keningnya. “Aku tidak tahu Laura, maafkan aku.”
Laura terisak pelan, lalu langsung memeluk erat tubuh Valen yang bergetar. “Tidak perlu meminta maaf, kalau kau merasa lelah, aku akan selalu bersamamu.”
“Ada apa?” suara serak itu menginterupsi.
Dengan cepat Valen mengusap wajahnya yang basah, sebelum tersenyum ke arah Justin yang terlihat menatapnya dalam-dalam.
“Kenapa kalian menangis?” tanya Justin sambil mengambil posisi duduk di depan kedua wanita itu.
“Tidak ada, kami hanya saling melepas rindu,” jawab Laura dengan cepat.
Sebelah alis Justin terangkat sebelum tersenyum tipis. "Yaya, wanita memang seperti itu,” balas Justin di akhiri dengan cengiran.
Justin memanggil salah satu maid di rumahnya. “Tolong sajikan lemon hangat, dan beberapa camilan,” beritahunya sebelum maid itu bergerak mundur sambil menundukkan kepalanya sejenak.
Justin tersenyum tipis. “lemon hangat sangat baik untuk wanita hamil,” beritahunya sambil mengedipkan sebelah mata.
Seketika wajah Valen dan Laura menjadi pucat. “Kau menguping Justin?!” marah Laura dengan mata melotot.
“Tidak, hanya kalian saja yang tidak menyadari kedatanganku,” elaknya sambil menyenderkan kepalanya ke badan sofa.
“Seharusnya kau berbicara kalau datang!” jawab Laura dengan amarah yang nyaris meledak.
“Kalian terlalu asik bercerita, aku mana enak memotong pembicaraan kalian,” elaknya lagi.
Ketika Laura hendak menjawab dengan cepat Valen menyentuh punggung tangan Laura. “Sudahlah, tidak apa-apa.”
Laura mendelik tajam ke arah Justin yang balik menatapnya sinis. “Sudahlah Laura,” ulang Valen sekali lagi.
“Kali ini kau selamat,” ucap Laura penuh penekanan.
“Hm, takutnya,” balas Justin sambil tertawa pelan.
Setelah sekian lama berdiam diri, Justin yang sibuk dengan ponselnya, sedangkan kedua wanita itu sibuk berbincang. Ketika minuman dan beberapa camilan tersaji di atas meja, Justin dengan cepat meletakan ponselnya. Mengambil satu gelas lemon hangat dan langsung meletakkan tepat di hadapan Valen. “Minumlah,” ucapnya lembut.
Valen tersenyum membalas ucapan Angga lalu meminum perlahan minuman itu hingga habis setengah.
“Enak,” ucap Valen girang. Valen merasa seperti bebannya sedikit berkurang.
“Sekalian nih makan kuenya, kalau lagi hamil banyak-banyak makan, biar bayinya sehat, jangan lupa minum susu,” ucap Justin tulus.
“Iya,” jawab Valen kaku.
Justin menggaruk tengkuknya. “Aku membuatmu tidak nyaman ya?”
Valen cepat-cepat menggeleng. “Enggak kok, apa ekspresiku sangat menyebalkan?”
Justin tertawa pelan. “Haha, gak. Kamu terlihat sangat cantik dari sini,” jawabnya sembari mengedipkan sebelah mata, sedangkan Valen hanya tersenyum tipis menanggapi gombalan Justin.
“Aku ada di sini,” beritahu Laura yang mulai merasa jengah.
“Ya, aku tahu,” balas Justin singkat.
***
“Dari mana saja?” Pertanyaan pertama saat Valen membuka pintu kamarnya bersama Angga.
Valen memilih bungkam, melangkah menuju kamar mandi.
“Aku tanya kau dari mana saja?” tanya Angga dengan nada sedikit tinggi.
Valen berbalik dengan wajah datarnya. “Habis konsultasi, aku akan menggugurkan anak ini,” ucap Valen dingin.
Angga berdiri dari posisi rebahannya. Raut wajahnya mengeras dengan tangan terkepal.
“Kau ini kenapa Valen?” bentak Angga yang nyaris kehilangan akal.
Valen tersenyum tipis. “Kakak tidak siap bukan? Baiklah kita gugurkan saja, jangan sampai papa dan mama tahu,” ucapnya santai.
“Apa aku ada menyuruhmu menggugurkannya? Apa kau sudah mulai gila lagi Valen?!”
Valen tertawa keras sambil meneteskan air mata saking kecewanya. “Iya, aku gila, kakak puas?!”
Angga mengeram marah. “Yah, baiklah sebaiknya anak itu di gugurkan saja. Tidak ada gunanya juga aku memiliki anak bersamamu.”
Seketika tawaan Valen terhenti, wajahnya mendadak pucat, suara itu bagaikan dentuman keras di telinganya.
Senyuman tercetak jelas di wajah Valen. “Lebih baik kita bercerai saja, tidak ada gunanya juga aku bersama dengan kakak selama ini,” balas Valen tanpa ampun.
Bersambung...