Part 11 (Sikap kasar)

Mata Angga menggelap. Valen berteriak histeris saat Angga menariknya dengan kasar menuju kamar mandi.

“Sakit, lepaskan tanganku!” teriak Valen sekuat mungkin.

"Tolong lepaskan aku kak," teriak Valen sekali lagi.

Angga menutup telinganya rapat-rapat. “Lepaskan aku bajingan!” maki Valen pada akhirnya.

Angga mendorong tubuh Valen hingga terduduk. Valen mendongakkan wajahnya dengan ekspresi terkejut.

“Kau sudah gila, dasar bajingan!” teriak Valen murkah.

Angga tersenyum sinis. Mengambil gayung lalu menyiram tubuh Valen yang seketika menegang.

Valen terisak sambil menggenggam jemarinya erat-erat. “Bajingan!” umpat Valen untuk kesekian kalinya.

Angga semakin semangat menyiram tubuh Valen. Melihat dari betapa merahnya kedua mata Angga saat ini, sudah dipastikan pria itu tengah marah.

“Hentikan, hentikan!” pekik Valen sambil memegang dadanya yang sesak.

Angga tidak menggubris ucapan istrinya itu. Tangannya semakin cepat menggayung air di dalam bak lalu menyiramkannya ke tubuh Valen yang menggigil.

Setelah puas Angga membanting gayung di tangannya, berjongkok di hadapan Valen sambil menekan dagu istrinya itu.

“Jangan coba-coba melawan Valen?” ucap Angga penuh kemarahan.

Air mata itu masih setia mengalir dengan deras dari kedua kelopak mata Valen.

“Lalu aku harus diam kau injak-injak?” balas Valen tanpa rasa takut, namun saat tangan besar Angga menekan dagunya kuat-kuat hingga membuatnya meringis.

“Aku yang berkuasa, kau bukan siapa-siapa!” balas Angga tak kalah tajam.

“Oh iya kau bajingan yang gak akan pernah punya hati,” hardik Valen dingin.

Kali ini tangan Angga beralih ke leher Valen, mencekiknya cukup kuat. “Jalang kurang ajar!”

Valen menggerakkan tangannya, berusaha mendorong tubuh Angga, namun ketika napasnya nyaris habis, Valen memilih diam sambil menatap lekat mata Angga yang merah.

Ketika Valen nyaris menutup matanya dengan air mata yang masih mengalir, Angga langsung melepaskan tangannya dan bergerak menjauh sambil menatap tangannya.

“Ini akibatnya kau melawanku,” ucap Angga dingin.

Valen hanya memilih diam sambil menyenderkan tubuhnya ke dinding. Tubuhnya menggigil saat tubuhnya sudah basah cukup lama.

“Aku tidak akan pernah menceraikanmu Valen, kalau anak itu ingin kau gugurkan, gugurkan saja. Aku tidak peduli!”

Setelah itu Angga bergegas pergi, meninggalkan Valen yang hanya mampu menatap punggung suaminya dengan linangan air mata.

Valen terduduk dengan tubuh menggigil, sikap Angga membuat Valen bertekad untuk meninggalkan suaminya itu.

Selama ini dirinya hanya terlalu bodoh tetap bertahan dengan sikap kasar suaminya yang tidak akan pernah bisa berubah.

***

Angga menelan Vodka untuk kesekian kalinya. Minuman panas itu seakan membakar tenggorokan Angga hingga terasa perih.

Kedua mata Angga memanas, sejujurnya Angga tidak ingin sekasar itu, namun melihat Valen yang mulai berani melawan membuat Angga tidak bisa menahan dirinya.

Valen hanya boleh tunduk di bawah tekanannya, wanita itu tidak boleh menginjak apalagi melukai perasaan Angga.

Jujur saja Angga tidak menginginkan Valen menggugurkan anak mereka, Angga tidak mungkin sekejam itu. Bagaimanapun Angga tetaplah ayah dari bayi di dalam perut Valen tentunya.

Angga meletakkan gelasnya saat dirinya merasa cukup, Angga harus pulang. Sedikit hati kecilnya merasa cemas meninggalkan Valen sendirian.

Selama mengemudikan mobilnya Angga mulai merasa menyesal. Untuk pertama kalinya Angga kembali bersikap kasar terhadap Valen.

Angga semakin mempercepat laju mobilnya, setibanya di rumah Angga tidak mau repot-repot memarkirkan mobilnya, dengan cepat Angga memasuki rumahnya.

Setibanya di dalam kamar yang masih terang, Angga melangkahkan kakinya perlahan. Di atas kasur kosong, tidak ada Valen di sana.

Tiba-tiba jantung Angga berdetak kencang. Berlari ke arah walk in closet, melihat pakaian istrinya itu masih tertata dengan rapi.

Seketika Angga teringat. Angga kembali berlari ke arah kamar mandi, dan tubuh Angga menegang saat Valen berada di sana dengan posisi meringkuk. Angga buru-buru membungkukkan tubuhnya di sisi Valen.

“Valen?” panggil Angga pelan.

Angga dengan sigap mengangkat tubuh Valen yang terasa lebih dingin dari biasanya, dan tentunya wajah Valen terlihat sangat pucat.

Setelah merebahkannya tubuh Valen di atas kasur. Angga kembali berlari, memilih beberapa pakaian yang akan Valen kenakan.

“Valen?” panggil Angga lagi saat dirinya sudah siap mengganti pakaian basah istrinya itu.

Tidak ada sahutan. Angga mendekatkan wajahnya ke kening Valen lalu mengecupnya pelan. “Maafkan aku,” bisiknya pelan.

Ikut merebahkan tubuhnya di sisi Valen lalu memeluk erat tubuh istrinya itu. Berulang kali Angga mengucapkan kata maaf sebelumnya dirinya ikut tertidur.

Saat mentari pagi malu-malu menyelip dari balik tirai. Valen membuka matanya perlahan, Valen bisa merasakan sesuatu yang berat di atas perutnya.

Ketika kedua mata Valen terbuka sepenuhnya, Valen tersadar dirinya berada di dalam pelukan Angga, suaminya yang dengan tega memperlakukan dengan hina.

Valen tidak bisa membayangkan dirinya bisa mencintai pria sekejam Angga. Valen lebih baik berpisah daripada harus menggugurkan anaknya.

Angga tidak membutuhkan anaknya apalagi dirinya, perpisahan adalah pilihan terbaik.

Air mata itu kembali menetes dari sudut mata Valen. Tentu saja Valen sudah cukup menahan dirinya selama ini, Valen tidak mungkin terus-menerus berdiam diri saat harga dirinya terus di injak-injak oleh suaminya sendiri.

Valen menyingkirkan tangan Angga tanpa harus repot-repot memikirkan Angga yang akan terbangun. Benar saja Angga membuka matanya lalu menatap ke arah Valen yang sudah lebih dulu duduk di tepi ranjang.

“Valen?” panggil Angga dengan suara seraknya saat bangun dari tidur.

Valen memalingkan wajahnya ke arah Angga tanpa tersenyum. “Kita bercerai saja,” ucap Valen tanpa ingin berbasa-basi.

Angga memegangi kepalanya yang berdenyut saking terkejutnya dalam posisi duduk. Kening Angga mengerut. “Bisakah kau tidak membuatku marah lagi Valen!” ucap Angga penuh penekanan.

Valen berdiri dengan wajah tertekuk “Kakak tidak bisa menahanku terus-menerus. Aku mohon bebaskan aku,” lirihnya.

Angga memijat kepalanya. “Hentikan dramamu Valen, aku tidak akan pernah menceraikanmu!”

Valen menatap kosong ke depan. “Kenapa?” ucapnya lelah.

“Karena kau istriku. Aku tidak ingin ribut, jadi berhenti berbicara yang tidak-tidak,” ucap Angga tegas tanpa ingin di bantah.

Valen meneteskan air matanya yang menggenang di pelupuk mata. “Dan kakak akan terus menyiksaku, seperti semalam,” ucap Valen lirih.

Angga terdiam sesaat sebelum menjawab dengan nada lelah, “Seharusnya kau tidak melawan, maka aku tidak akan bersikap kasar padamu.”

Valen tersenyum tipis namun air matanya terus menetes. “Aku hanya membela diri, apa aku salah?”

Angga mengangguk. “Kau salah. Tidak seharusnya kau berkata selancang itu dengan suamimu sendiri!”

Valen tertawa hambar sambil menghapus air matanya. “Lalu bagaimana dengan kakak?” sindir Valen tanpa merasa takut.

“Gara-gara anak yang kau kandung, hubungan kita jadi buruk!” celoteh Angga tanpa berpikir perkataan melukai perasaan Valen sangat dalam.

Valen menggertakkan giginya. “Jangan salahkan anakku!”

Angga mendengus. “Gugurkan saja anak itu, anak itu hanya membuat hubungan kita jadi berantakan!” tekan Angga yang mulai terpancing emosinya.

plak

Angga memegang pipinya yang terasa panas dan perih. Mata Angga melotot saat melihat noda darah di tangannya, sudut bibirnya berdarah.

“Valen?!”

Valen tersenyum tipis. “Kakak pantas mendapatkannya!”

Tangan Angga terkepal, dengan kasar Angga menyibak selimut yang menutupi tubuhnya.

Plak

Valen menyentuh pipinya yang berdenyut, rasanya sangat sakit. Namun bukannya menangis Valen malah tertawa.

Valen menatap Angga dari sudut matanya. “Tidak seharusnya aku mencintai pria sekejam kakak!”

Bersambung...