2 // Bara Yang Aneh

Jika amarah tak kunjung dapat diredakan oleh hasrat dalam pikiran, maka tenangkanlah menggunakan hati. Karena ketenangan dan segala hal indah dalam dunia ini tak hanya dapat dibayangkan oleh pikiran, ataupun dilihat oleh mata. Tapi itu semua, hanya dapat dirasakan oleh kedamaian hati dan ketegaran jiwa.

•••

Suasana kelas menjadi hening ketika semua murid sibuk berkutik dengan buku tulis mereka masing-masing.

Matematika.

Satu hal yang sebenarnya sangat tidak disukai oleh beberapa murid karena otak mereka terasa seperti diperas secara perlahan. Apalagi ketika disuruh menjawab rentetan soal matematika yang jawabannya bisa beranak. Rasanya ingin sekali otak mereka meledak lantaran tak kuat.

Anneta menyenggol lengan Bara, membuat cowok itu langsung menoleh ke arahnya. "Gue udah selesai ngerjain semua soal tentang limitnya nih, mau dibantuin nggak?" tanya Anneta pelan, berharap agar Bara dapat membaca gerak bibirnya.

"Nggak usah, makasih," jawab Bara singkat, kemudian lanjut menggambar di salah satu lembaran kertas.

Anneta kembali menyenggol lengan cowok itu, hingga gambaran indah Bara tercoret karena ulahnya.

"Ck!" Bara berdecak.

"Kok lo malah menggambar sih? Kan sekarang jam matematika. Nggak bisa jawab ya? Sini gue bantu ngerjain," Anneta menarik buku matematika milik Bara.

Tapi dengan cepat Bara menahan bukunya yang hendak ditarik oleh gadis itu. "Gue bilang, nggak usah!"

"Loh, gue cuman mau bantu," ucap Anneta seraya memperagakan hal yang sedang ia ucapkan agar Bara lebih mengerti bahasa isyaratnya.

Bara menghembuskan napas, "Gue udah lebih dulu selesai daripada lo," jawab Bara jutek seperti biasa. Anneta terdiam seribu bahasa, raut muka cemberut kembali terpatri di wajahnya ketika melihat Bara dengan sikapnya yang super jutek itu. Anneta berpikir bahwa mungkin saja Bara kesal dengannya karena telah diganggu tadi.

Cowok datar tanpa ekspresi itu menghapus coretan dari gambarnya. Tangannya kembali menggambar lekukan wajah oval beserta rambut bergelombang indah pada kertas binder itu. Goresan demi goresan dari pensil 2B miliknya, berhasil menutupi bekas coretan yang tak bisa dihilangkan oleh penghapus karet begitu saja.

Anneta merasa sedikit ragu. Gadis itu menggigit bibir mungilnya karena merasa telah bersalah, "Oh, maaf," sahut Anneta gugup sembari melihat Bara yang masih fokus menggambar.

Bara hanya terdiam, sama sekali tak menjawab Anneta yang sedang meminta maaf kepadanya. Menyadari tak ada balasan apa pun dari pemuda itu, membuat Anneta menepuk jidatnya sendiri. "Aduh bego! Dia sekarang kan nggak lagi liat gue. Pantesan aja nggak dijawab, orang dia nggak bisa denger," gerutu Anneta sendiri.

Bara menghentikan aktivitas tangannya yang sedari tadi sibuk menggambar. Cowok itu terdiam sejenak, kemudian kembali menatap lurus ke arah Anneta yang sekarang sedang menatapnya juga.

Satu detik, dua detik ... tujuh detik, Bara langsung merasakan ada hal aneh dalam dirinya ketika melihat gadis itu dalam waktu yang lumayan lama. Ada sentakan rasa nyeri tiba-tiba menjalar di seluruh tubuhnya. Bagaikan tersengat listrik yang bertegangan tinggi, membuat tubuh Bara terasa seperti disetrum seketika.

Kepalanya terasa seperti dibenturkan pada benda keras berkali-kali, memberikan rasa sakit yang begitu dalam. Bara memegang kepalanya dengan kedua tangan, berusaha untuk meminimalisir kesakitan hebat yang ia sedang rasakan sekarang. Sekelebat bayangan datang dan melintas di kepalanya, memberikan rasa sakit yang luar biasa. Sungguh, ia tidak mengerti akan apa yang ia alami saat ini. Tangannya mencengkeram erat kepala itu, dan dunianya terasa berputar ketika ia menatap Anneta lebih lama. Ada apa ini?

"Bara? Lo nggak apa-apa?" tanya Anneta kebingungan sekaligus panik.

"Aarrgghh!!" teriak Bara, kemudian membuang wajahnya menjauhi Anneta. Hingga sekelebat bayangan dengan rasa sakit di kepalanya itu menghilang seketika.

Seisi kelas tersentak. Semua orang mengalihkan pandangan mereka ke arah Bara.

"Bara kenapa?"

"Nggak tau!"

"Bara?!" teriak Dimas kaget. Pemuda itu menghampiri sahabatnya. "Lo kenapa?" bisiknya.

Bara terdiam ketika sentakan nyeri itu benar-benar terhenti. Dia berusaha bernapas normal saat ini. Apa itu barusan? Ada apa dengan dirinya?

Anneta yang juga terlihat panik, memegang pundak Bara untuk memastikan kondisinya. Sengatan tajam itu kembali dirasakan Bara ketika tangan Anneta menyentuh pundaknya sekarang. Dengan kasar Bara menangkisnya.

"Ba... Bara?" Suara Anneta terdengar bergemetar.

"Jangan sentuh gue!" tegas Bara ke Anneta.

"Bara? Ada apa?" tanya Pak Budi yang langsung menghampiri.

"Lo nggak apa-apa, Bar?" Kini Zara bertanya.

"Tenang, Bar. Tenang," ucap Dimas menenangkan.

Bara terdiam sejenak. Debas napas terdengar dari pemuda yang kini sedang berusaha menetralkan dirinya. Selama ini, hanya hal-hal tertentu yang dapat membuat sengatan, sentakan dan rasa sakit hebat dalam dirinya datang secara tiba-tiba. Tapi kenapa Anneta termasuk salah satunya? Bara sungguh tidak mengerti akan hal yang baru saja terjadi.

Anneta bungkam sekaligus ketakutan di kala pemuda itu berubah sikap setelah melihat dirinya. Apa ada sesuatu yang salah dengannya?

☁☁☁

Zara menghampiri Anneta yang tengah duduk sendiri di dekat koridor. Gadis itu datang kemudian duduk di sebelahnya. "Ann, kayaknya emang bener deh kalau Bara nyimpen sesuatu di balik kebungkamannya selama ini."

"Gue jadi ngerasa bersalah Zar, karena gue dia jadi kayak gitu." Anneta menundukkan kepalanya, kemudian menarik napas sejenak.

"Cuman hal-hal tertentu yang bisa bikin Bara bertindak kayak tadi. Anehnya, kenapa lo termasuk? Hmm, kalau pas dia ngeliat lo, dia bisa bertindak kayak gitu, artinya," ucap Zara seraya menjentik-jentikkan jari, "dia pernah ada memori sama lo."

Mata Anneta terbuka lebar seakan tidak percaya, "Hah? Sama gue? Nggak tuh, gue nggak ngerasa begitu. Gue aja baru kenal sama Bara," balas Anneta langsung.

"Coba diinget-inget deh! Masa sih Bara nggak pernah ada memori sama lo? Atau mungkin lo pernah ada keterikatan sama Bara gitu nggak?" tanya Zara kembali.

"Nggak Zar, dari gue kecil sampai sekarang, gue cuman kenal satu orang yang punya nama Bara dan itu cuman dia," sahut Anneta.

Dimas tiba-tiba lewat diantara mereka. Melihat kedua teman sekelasnya duduk di kursi panjang koridor sekolah, membuat Dimas penasaran.

"Hei girls!" ucap Dimas yang langsung memaksakan duduk diantara mereka berdua. Modus!

Kedua tangan Dimas, berada di punggung kursi, seakan ingin memeluk kedua gadis di sebelahnya. Kakinya dinaikkan kemudian disilang satu, sebagaimana seorang pria yang sedang berada di warung kopi.

"Ngapain sih duduknya tiba-tiba nyela?" tanya Zara yang sudah tidak asing dengan anak satu ini.

"Pengen aja diapit dua bidadari." Dimas nyengir jahil.

Anneta tertawa kecil melihat jawaban temannya, "Lo pengen ngapain sih di sini?"

"Pengen dengerin cewek-cewek yang lagi ngegosip," balasnya santai.

"Nggak ada kerjaan banget deh! Sono pergi!" ucap Zara langsung sembari mendorong lengan Dimas berkali-kali.

"Astaga, baru aja duduk udah diusir."

"Bara mana? Bukannya lo selalu sama Bara biasanya?" tanya Anneta.

Zara memukul paha Dimas, "Oh iya, tadi kita berdua lagi ngomongin Bara. Pas banget lo di sini," tambah Zara.

"Aaww sakit." Dimas meringis ketika sebuah pukulan sampai ke pahanya. "Lo nyadar nggak sih, pukulan lo itu sakitnya minta ampun?" gerutu Dimas.

"Hehe, sorry."

"Lagian kalian ngapain ngomongin Bara?" tanya Dimas langsung.

"Lo pernah ngerasa aneh nggak sih sama Bara?" tanya Anneta ke Dimas.

Dimas menggeleng, "Nggak, kenapa?"

"Lo udah berapa lama kenal sama Bara?" tanya Anneta kembali.

"Dari gue mau lulus SMP. Kenapa sih?" tanya Dimas kembali.

"Apa lo nggak ngerasa aneh sama Bara tadi? Lo tau kan kalau Bara udah ngamuk gitu, penyebab apa?" tanya Zara memastikan.

Dimas tidak mengerti dengan kedua gadis di sebelahnya ini. Demi warga Bikini Bottom yang masih bisa menyalakan api dalam air, Dimas sama sekali tidak mengerti. Mengapa tiba-tiba dirinya diserbu dengan banyak pertanyaan tentang Bara? Apa yang membuat mereka seingin tahu itu tentang sahabatnya?

Dimas mengangguk, "Iya tau. Bara kayak gitu kalau hal-hal tertentu, dan hal-hal itu pasti pernah berhubungan dengannya. Ya ... semacam memori gitu lah."

"Nah itu!" seru Zara.

"Itu apa?"

Zara menjitak kepala Dimas, "Ih lo bego apa tolol sih? Lo nggak ngerti apa yang gue maksud?"

"Astaga Dimas, ayo lah. Konek dikit." Anneta kini berucap.

"Apaan sih? Nggak ngerti deh gue. Kalian berdua ngomongin apa sebenernya?" tanya Dimas.

"Ngomongin Nobita yang bakal nikah sama Sandy bentar lagi!" kata Zara kesal.

"Lah, emang ada ya? Bukannya Nobita sama Sandy beda kartun?" tanya Dimas kebingungan. "Waduh, gue belum nonton episode itu! Sejak kapan Nobita sama Sandy pacaran? Wah, gue bener-bener ketinggalan."

Anneta menghembuskan napasnya, begitu juga dengan Zara yang kini menepuk jidatnya sendiri. Entah berada dimana otak Dimas sekarang. Mungkin saja otaknya itu sedang berjalan-jalan jauh ke negeri Atlantis.

"Gini loh Di," ucap Zara seraya menghembuskan napasnya. "Lo kan tau nih kalau Bara kayak tadi karena hal-hal tertentu, nah apa lo nggak kepikiran kenapa Ann bisa nyebabin dia kayak gitu juga?" tanya Zara.

Hening seketika. Dimas terdiam ketika ucapan Zara itu mulai dicerna oleh kepalanya, "Berarti, Ann pernah ada kenangan masa lalu sama Bara dong?" tanya Dimas kembali.

"Alhamdullilah, otak Dimas akhirnya konek juga, ya Tuhan." Zara berteriak puas. "Nah gini dong dari tadi. Ini yang mau gue kasih tau," ucap Zara.

Anneta menghembuskan napasnya, "Tapi gue sama sekali nggak pernah kenal sama Bara sebelumnya. Satu-satunya orang bernama Bara yang pernah gue kenal dalem hidup gue, ya cuman dia dan baru kenal hari ini."

"Yakin lo?" tanya Dimas sekali lagi.

"Sumpah deh gue."

"Aneh kan? Ann bilang dia belum pernah kenal sama Bara sebelumnya. Tapi sekarang, Bara nunjukin kalau dia pernah punya memori sama Ann," kata Zara kepada Dimas.

Entah teka-teki macam apa lagi ini. Bara terlalu misterius untuk bisa dipecahkan teka-tekinya. Tapi Anneta tidak akan pernah berhenti, sampai ia bisa membongkar segala rahasia yang sekarang tengah disimpan Bara.

"Gue sendiri yang bakal cari tau tentang Bara," ucap Anneta langsung.

☁☁☁

"Bara?" Tangan Anneta hendak menyentuh lengan Bara. Tapi seperti biasa, Bara pasti langsung menghindar ketika tangan itu hendak sampai padanya.

"Jangan takut," ucap Anneta kemudian dengan pelan menyentuh lengan Bara.

Seketika sentakan rasa nyeri itu kembali menjalar cepat di tubuhnya. Seolah menghujam paru-paru hingga membuatnya kesulitan bernapas. Tapi tak ada selang beberapa detik, rasa yang sangat menyengat hingga ke ujung rambut menghilang begitu saja. Bara terdiam sejenak.

Anneta menghela napas ketika melihat Bara yang mulai bisa mengontrol diri saat tangan Anneta menyentuhnya, "Tenang, tenang Bar."

Aneh! Bara merasa aneh pada dirinya sendiri begitu juga dengan gadis di sebelahnya itu. Entah kenapa ia dapat merasakan dua hal secara bersamaan. Di satu sisi seluruh tubuhnya seakan tersengat sesuatu, tapi di sisi lain ia merasakan ketenangan yang teramat damai ketika gadis itu menyentuhnya. Ada apa ini? Dia tidak biasanya seperti ini.

Bara perlahan menoleh, "Si... Siapa sih lo sebenernya?"

Anneta terdiam ketika pertanyaan itu ditujukan langsung kepadanya. Jika seharusnya ia bertanya banyak hal kepada Bara, tapi ini malah berkebalikan. Mengapa malah Bara yang bertanya kepada dirinya sekarang?

"Siapa pun gue, gue bakal tetep jadi temen lo," balas Anneta saat Bara menatapnya. Ia tahu cowok itu pasti mengerti dan dapat menangkap semua kalimat yang ia ucapkan dari gerak bibirnya.

"Kenapa lo mau jadi temen gue? Bukannya masih banyak orang normal di luar sana?" tanya Bara.

"Bagi gue lo normal," balas Anneta singkat tanpa ada keraguan sedikit pun.

"Kalau lo nganggep gue normal, berarti lo yang aneh." Bara memalingkan wajahnya.

Anneta kebingungan melihat respon cowok itu. Disentuhnya tangan Bara agar ia mau melihat ke arahnya lagi. "Kenapa? Kenapa lo bilang gue aneh?" tanya Anneta langsung ketika Bara sudah kembali menatapnya. Gadis itu berusaha berucap pelan agar Bara dapat membaca gerak bibirnya dengan jelas.

"Karena cuman orang aneh yang mau temenan sama orang aneh kayak gue, dan kalau lo mau temenan sama gue, artinya lo juga orang yang aneh," balas Bara jutek seperti biasa.

"Kalau Dimas? Dia aneh juga?" tanya Anneta seraya menaikkan salah satu alisnya.

"Kecuali dia," balas Bara datar.

Anneta menggenggam tangan Bara dengan erat, "Lo itu nggak aneh, Bar. Lo harusnya percaya diri dan nggak perlu dengerin kata orang lain yang ngomong jelek ke lo. Lo itu nggak perlu dengerin gosip orang, dan lo nggak perlu percaya sama ucapan orang lain tentang diri lo yang belum tentu bener." Anneta berbicara pelan agar Bara dapat menangkap setiap kata yang ia ucapkan di kalimatnya.

Bara tersenyum sinis, "Nyatanya, lo juga dengerin semua kata mereka, kan?"

"Maksudnya?" tanya Anneta kembali.

"Gue tau lo udah dapet banyak informasi tentang gue dari orang lain. Dari cara lo bicara sama gue, kayaknya lo udah denger berita dari murid lain kalau gue tuli. Makanya lo bicaranya pelan-pelan, kan?" tanya Bara sinis. "Lo nggak perlu kasihan sama gue, karena gue nggak perlu dikasihanin. Gue tau lo deket sama gue karena lo kasihan ngeliat keadaan gue, kan?"

Anneta menghela napasnya, "Bara..."

Bara menarik senyum sinis di wajah kemudian terkekeh, "Lucu banget lo, Ann! Lo itu berlagak seakan lo tau banget tentang gue. Tapi sebenernya, lo itu cuman tau secuil dari apa yang lo denger dari orang lain." Bara tersenyum miring lalu menggelengkan kepalanya samar. "Denger Ann, lo itu nggak tau siapa gue sebenernya, apa yang gue rasain, dan apa yang ada dalem pikiran gue. Dan gue yakin, lo nggak bakal pernah tau tentang hal ini, karena semua rahasia ini cuman gue yang tau."

Bara berdiri, kemudian berjalan pergi meninggalkan teman sebangkunya itu sendiri. Anneta hanya dapat menghela napas ketika Bara sudah pergi menjauh dari ruang kelas.

"Apa yang lo sembunyiin, Bar?" gumam Anneta.