Di kala mulut sudah tak mampu lagi untuk mengungkapkan kesedihan lewat kata-kata. Maka biarkanlah hati yang berbicara.
•••
"Hai Mi!" sapa Anneta sembari masuk ke dalam rumah.
"Ann, udah pulang?" tanya Ariel menyambut putrinya yang sudah pulang dari sekolah.
Anneta yang semula menyandang tas dengan sebelah tangan, langsung melepaskannya. "Udah," jawab Anneta.
"Gimana hari pertama di sekolah barunya? Asik? Atau mungkin nyebelin?" tanya perempuan paruh baya itu sambil membawa beberapa piring masakan di tangannya. Ariel, ia adalah seorang chef ternama sekarang. Biasanya ia selalu saja mendapat undangan untuk pertunjukan masak di berbagai acara TV. Tidak salah jika dia bisa memasak berbagai macam makanan untuk putrinya. Dari hidangan ringan hingga masakan megah ala makanan sultan pun, dapat ia buat.
Perempuan paruh baya itu meletakkan semua hidangan masakan di atas meja. Ariel tahu, pasti putrinya sedang lapar saat ini. "Nih, Mami masakin makanan spesial buat kamu."
"Iya, tau deh yang pinter masak," ujar Anneta sembari tertawa menggoda.
Gadis itu duduk di meja makan, ia memilih untuk tidak melepas seragamnya terlebih dahulu. Rasa lapar yang sekarang sudah memberontak dalam perutnya, benar-benar tak tertahankan. Apalagi ketika hidung mungilnya itu mencium bau menggoda dari masakan yang dibuat oleh Ariel. Rasanya ingin sekali cepat-cepat mendapat asupan makanan.
Ariel menghela napasnya, "Astaga Ann, itu bajunya diganti dulu, atau mandi sana biar wangi! Baru makan," ucap Ariel langsung.
"Biarin aja Mi, laper."
"Ntar kalau bajunya kena, Mami nggak ikut-ikut." Perempuan paruh baya itu menggidik bahunya. "Pasti itu seragamnya bau deh habis sekolah seharian. Coba cium dari sana, Mami aja wangi kok. Masa anak remaja kayak kamu nggak wangi? Kasian cantik kalau bau. Gimana mau dapet cowok?"
"Ish Mami! Bawel deh!" jawab Anneta sebal.
"Loh, kok Mami yang bawel?"
Anneta menghela napas keras. Dia tahu bahwa ucapan Ibunya tadi merupakan sindiran sekaligus kode untuk menyuruhnya mandi. Gadis itu segera beranjak dari meja makan lalu pergi mandi dan mengganti baju.
Lima belas menit berlalu, Anneta kembali ke ruang makan dengan tubuh yang lebih segar. Gadis itu duduk lalu mengambil makanan yang sudah disiapkan sedari tadi.
"Oh iya, Ann belum cerita tadi," ucap Ariel langsung.
"Lah, kan Mami nyuruh Ann buat mandi. Gimana mau cerita?" jawab Anneta langsung.
"Iya iya. Sekarang kan udah selesai mandi, coba cerita. Gimana sekolah barunya? Seru?" tanya Ariel kepada Anneta.
Anneta mengangguk, "Hmm." Diambilnya beberapa sendok nasi, kemudian menaruhnya di piring. "Banyak temen baru, dan sekolahnya juga keren."
Perempuan paruh baya itu tersenyum, ia sangat lega mendengar jawaban putrinya. "Temen-temen kamu baik semua, kan?"
Anneta mengangguk semangat, "Iyaps! Kalau keseluruhan, semuanya baik sama Ann. Tapi," ucap Anneta yang tangannya tiba-tiba berhenti mengambil lauk di meja makan, "ada satu orang yang aneh banget di sekolah. Ganteng sih sebenernya, tapi susah banget diajak ngobrol, dingin, trus misterius gitu. Aneh deh, baru pertama kali Ann liat orang freak kayak dia."
Perempuan paruh baya itu menaikkan sebelah alisnya, "Maksudnya? Aneh gimana? Siapa emang?" tanya Ariel seraya memasukan sesendok nasi ke dalam mulut.
Anneta menggidik bahunya, "Bara. Temen sebangkunya Ann di kelas."
"Dia ganggu kamu?"
Anneta menggeleng, "Nggak Mi, dia nggak ganggu. Cuman aneh aja gitu. Kata orang dia tuli."
Ariel menghembuskan napasnya, "Ann, kamu nggak boleh gitu. Setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Kamu nggak boleh bilang temen kamu aneh gara-gara dia tuli. Nggak baik tau!" ujar perempuan paruh baya itu menasehati.
"Bukan gitu maksud Ann, Mi. Dia itu dibilang aneh, bukan karena dia tuli. Tapi karena dia itu anaknya misterius, dingin, dan satu lagi super jutek. Kata orang dulu dia pernah kecelakaan trus semenjak hari itu dia berubah sikapnya. Aneh kan?" tanya Anneta kepada Ariel seraya memasukan nasi ke dalam mulut. "Masa ya Mi, pas dia ngeliat Ann lumayan lama, kepalanya langsung sakit gitu trus tiba-tiba hilang kontrol. Hampir aja tu anak pingsan habis ngeliat Ann tadi. Emangnya Ann hantu, apa?" ujar Anneta.
Perempuan paruh baya itu menyipitkan matanya, "Kamu pernah kenal dia sebelumnya, Ann? Dimana gitu?" tanya Ariel.
Hening seketika. Anneta mulai mengunyah makanannya dengan pelan, "Tunggu deh, kenapa Mami bisa nanyain hal yang sama kayak temen-temen lain tanyain?"
Ariel menatap putrinya, "Karena setau Mami, kalau orang kayak dia tiba-tiba sakit kepala pas liat sesuatu, berarti hal yang dia liat, sebelumnya pernah tertangkap di pikirannya. Mungkin dulu atau kapan gitu?"
Anneta menggaruk keningnya. Dia sendiri tidak mengerti dengan segala situasi yang ia alami saat ini. Kenapa semua menjadi sangat rumit?
☁☁☁
Desiran angin sore sudah terlebih dahulu menyapa wajah ovalnya. Hembusan angin yang tenang itu, seketika dapat menerbangkan rambut indah bergelombang milik Anneta. Nikmatnya sebuah kopi sturbucks yang hangat, menambah kenyamanan suasana sore hari.
Anneta berjalan di sekitar taman kota dekat rumahnya. Dulu saat ia masih kecil, sudah menjadi rutinitasnya untuk pergi berjalan-jalan di tempat ini.
Satu tegukan hangat kembali diseruputnya. Sangat nikmat. Anneta melihat banyak sekali anak yang sedang bermain, orang-orang yang sedang berolahraga, bahkan ada yang melakukan semacam piknik di taman kota seperti ini.
Anneta menarik kedua sudut bibirnya. Rasanya benar-benar damai ketika melihat suasana ini.
Derap langkahnya terhenti. Anneta melihat ke arah bawah di mana sebuah mainan tergeletak di rumput. Dengan segera, tangannya meraih mainan mobil-mobilan elektrik itu.
Anneta melihat ke sekitar, barangkali ada anak kecil yang sibuk mencari mainannya, dan benar saja! Seorang anak laki-laki hampir menangis ketika mencari mainannya yang hilang entah ke mana. Anneta tersenyum tipis, dihelanya napas sebentar, kemudian berjalan mendekati anak cowok yang berumur sekitar enam tahunan itu.
"Adik?"
Suara selembut kapas itu terdengar ketika Anneta berjalan elegan mendekatinya. Dengan segera anak kecil itu menoleh ke arah Anneta.
"Ini mainannya adik ya? Tadi kakak ketemu di sana," ujar Anneta sambil menunjuk ke arah ia menemukan mainan itu tadi. "Ini, ambil."
Dengan cepat anak itu mengambil mainan dari tangan Anneta, kemudian berlari menjauh tanpa berterima kasih sedikit pun. Anneta menghela napasnya. Wajar saja, mungkin anak itu sedang merasa malu.
Bruugghh...
"Agra, kamu ini kok malah lari?" Pria paruh baya itu mengajak anaknya berjalan ke arah Anneta.
Anneta membulatkan mata. Tangannya bergetar sembari memegang tumblr strubucks itu sekarang.
Papi? batin Anneta dalam hati.
Denyutan keras tiba-tiba muncul dalam dada gadis itu begitu saja. Seakan ada batu berat yang menghujam paru-paru hingga membuatnya kesulitan bernapas. Anneta berdiri kaku, melihat lurus ke arah pria berkaos hitam dengan tubuh jangkungnya yang tak lain adalah sang Ayah sendiri.
"Agra, bilang makasih dulu sama kakaknya!" suruh pria paruh baya itu kepada Agra—anaknya.
"Makasih, kak," ucap Agra malu.
Tubuh Anneta serasa bergetar ketika melihat wajah Ayahnya yang tidak pernah ia temui selama tujuh tahun. Air matanya terbendung begitu saja, seakan ingin keluar dari tempat persembunyian mereka yang berada di balik kelopak mata.
"Makasih ya, udah bantu nyariin mainannya anak saya. Oh iya, nama kamu siapa?" tanya pria paruh baya itu.
Sungguh! Tubuh Anneta semakin bergemetar di kala pertanyaan itu sampai di kedua telinganya. Rasa muak yang sama seperti dulu saat ia masih kecil, kembali hadir pada dirinya sekarang.
Apa pria itu benar-benar tidak mengingat dirinya sekarang? Apa ia tidak bisa mengenali anaknya sendiri? Atau apa ia lupa bahwa dulu dirinya pernah memiliki Anneta sebagai anak kandungnya?
Amarah Anneta kembali menggebu-gebu dalam hati, seperti dibakar langsung oleh api yang sedang membara. Air matanya ingin sekali menetes, tapi tetap ia tahan itu semua dalam bendungan kelopak mata.
Agra, anak itu adalah bukti bahwa Ayahnya telah menikah kembali setelah perceraian tujuh tahun yang lalu.
Anneta menarik napasnya pelan, gadis itu tersenyum sinis, "Jadi bener selama ini kata Mami, kalau Papi udah punya Mami baru."
"Anneta?" gumam pria paruh baya itu. "I... Ini beneran kamu sayang?" Johan—sang Ayah meletakkan kedua tangannya di pundak Anneta, berhendak untuk mendekap gadis itu sekarang.
Rasa rindu yang telah dipendamnya selama bertahun-tahun, seketika langsung terbayarkan saat melihat wajah anak gadisnya sekarang. Sudah banyak berubah tentunya! Sangat berbeda dari wajah mungil yang dulu ia kenal.
Pria paruh baya itu mencengkeram erat kedua pundak Anneta, "Kamu udah gede sekarang."
Seketika Anneta menangkis kedua tangan Ayahnya itu, "Papi tega banget."
"Ann sayang, kejadian sebenernya nggak kayak gitu. Papi, Papi cuman—"
"Pi!" potong Anneta langsung. "Ann udah gede. Tanpa Papi jelasin sedikit pun, Ann udah ngerti kejadian yang sebenernya. Papi itu udah jahat sama Mami, dan anak ini," ucap Anneta seraya menunjuk Agra, "anak ini hasilnya, kan? Papi tega ninggalin Mami karena wanita itu! Selain itu Papi tega ngehancurin hidup Ann! Papi tega ngusir Mami dari rumah, dan Papi juga tega, tega bikin Ann pisah dari Amar dulu."
Semua orang langsung memusatkan pandangan ke arah mereka. Terjadi jeda beberapa detik. Menyadari hal itu, membuat Anneta berusaha menetralkan emosinya. Air mata gadis itu pun menetes begitu saja, "Sekarang Papi puas, kan?"
"Ann...," lirih pria paruh baya itu.
"Udah cukup Papi tinggalin Mami! Papi juga nggak sebaik yang Ann kira. Papi itu playboy! Papi pikir Mami barang?! Yang Papi bisa cari trus buang gitu aja?!"
Pria paruh baya itu menghela napas sedih, "Jangan dilanjutin lagi sayang," ucapnya yang masih berusaha tenang mendengar semua perkataan Anneta. "Jangan hina Papi di sini, Ann." Pria paruh baya itu melirih.
"Udah? Gitu aja? Nggak ada marah-marahnya gitu? Padahal barusan Ann maunya denger Papi marah loh. Biar tau aja, Papi itu marahnya kayak gimana sekarang. Apa masih sama kayak dulu pas Papi ngebentak Mami? Marah dong, Ann mau denger nih!" Anneta melipat tangannya di depan dada. Gadis itu benar-benar keheranan melihat Ayahnya yang tiba-tiba menciut menjadi balon kempis. Padahal ia ingat betul bagaimana amarah Ayahnya saat hendak melakukan perceraian dengan Ibunya tujuh tahun yang lalu.
"Ann... Jangan hukum Papi kayak gini," lirih pria paruh baya itu. "Papi kangen sama kamu, kamu jangan jauhin Papi."
Anneta meneteskan air matanya, hatinya seperti diremukkan secara paksa. "Papi emang pantes dapet hukuman ini! Udah Pi. Udah cukup Papi bikin hidup Ann hancur selama ini. Ann muak! Ann benci sama Papi!" tegas Anneta kemudian pergi meninggalkan pria paruh baya itu.
☁☁☁
Anneta duduk di salah satu kursi taman yang lokasinya sudah agak jauh dari Ayahnya. Gadis itu menunduk, kemudian menopang kepalanya dengan sebelah tangan.
Kejadian barusan telah mengembalikan luka lama yang selama ini selalu ia coba untuk sembuhkan. Anneta tak habis pikir dengan Ayahnya sendiri. Gadis itu menghapus air matanya yang masih tersisa. Kenapa ia harus hidup seperti ini? Rasanya muak.
"Ann?"
Suara selembut sutra itu kembali menyapanya. Tebak saja suara siapa yang kini memanggilnya. Siapa lagi jika bukan, Keenan?
Anneta mendongak, melihat wajah oval Keenan sudah menatapnya. Mungkin saja cowok itu sudah menatapnya sedari tadi. Wajah Keenan akan selalu mengingatkannya pada sosok Amar. Ia masih bingung, banyak hal yang membuatnya bertanya-tanya tentang Keenan. Apakah ia hanya sekedar mirip atau mungkin saja Keenan adalah Amar itu sendiri?
Keenan menyentuh kedua pundak Anneta, memberikan rasa hangat yang begitu nyaman. "Ann? Ann nggak apa-apa?" tanya Keenan dengan suara teduhnya.
Cowok itu langsung duduk di sebelah Anneta. Tangannya kini mengelus lembut rambut hitam tebal gadis itu, hingga membuat rasa nyaman datang menyelimuti luka yang baru saja timbul.
Sentuhan lembut Keenan yang mampu mendamaikan hati, benar-benar sama seperti sentuhan milik Amar dulu. Entah kenapa setiap Anneta melihat Keenan, ia selalu teringat dengan Amar. Wajahnya yang mirip, ditambah lagi dengan kelakuannya yang lembut, benar-benar mencerminkan seorang Amar.
Sampai saat ini Anneta masih percaya bahwa Keenan adalah Amar. Mungkin saja Amar mencoba untuk merahasiakan dan menyembunyikan sesuatu darinya karena alasan tertentu.
"Ann kenapa?" tanya Keenan langsung.
Anneta menggeleng, "Nggak kenapa," sahut Anneta kemudian menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Debas napas terdengar. Gadis itu merasa lega seketika. Entah kenapa ia selalu merasa nyaman berada di dekat Keenan.
"Ann kalau mau curhat, curhat aja. Gue bakal dengerin kok," balas Keenan menenangkan.
Anneta menghembuskan napasnya, "Keenan, lo pernah rindu seseorang dalem hidup lo nggak?" tanya Anneta.
Keenan tersenyum, "Tentu pernah. Gue pernah kangen sama sosok perempuan yang dulu pernah berarti dalem hidup gue. Udah dari kecil gue pisah sama dia," balas Keenan.
Anneta menelan salivanya. Dentuman keras benar-benar menyemarakan dadanya saat ini. Jantungnya itu sekarang mulai memompa dengan kuat. Otaknya mulai berpikir bahwa Keenan memang benar-benar Amar yang dulu ia kenal.
Anneta berusaha bernapas normal kembali, "Siapa perempuan itu?" tanya Anneta gugup. Dia harap kalimat singkatnya mampu langsung tepat mengenai sasaran. Dia tidak ingin berbasa-basi lagi.
"Udahlah, jangan dibahas. Lagian gue di sini kan mau dengerin curhatannya Ann, kenapa malah gue yang jadi disuruh curhat?" Keenan tertawa kecil.
Debas napas Anneta terdengar. Jujur saja, gadis itu tidak puas dengan jawaban Keenan tadi. Rasa penasaran itu kembali datang, membuatnya selalu bertanya-tanya. Entah kenapa orang lain suka sekali membuat teka-teki untuknya, seakan Anneta harus bisa berpikir cerdas untuk bisa mengungkapnya. Tapi ia yakin bahwa sebentar lagi, semua teka-teki ini akan ia temukan jawabannya.
Gadis itu menghela napas. Hening seketika. "Barusan gue habis berantem sama Papi," ucap Anneta.
"Kenapa?"
"Ternyata bener kata Mami selama ini, kalau Papi udah punya cewek baru. Dulu gue masih terlalu kecil buat ngerti arti dari ini semua. Tapi sekarang gue udah gede, nggak ada lagi yang perlu disembunyiin." Anneta membendung air matanya, "Kenapa Papi harus muncul di saat gue udah mulai berusaha buat lupain dia?" Air mata itu tak tertahankan. Buliran-buliran kecil mulai turun hingga membasahi pipi. Isakan tangis terdengar. Anneta langsung menutup wajah dengan kedua tangannya.
Keenan yang sadar akan isak tangis itu, menegakkan posisi duduknya. Dia meletakkan tangannya di salah satu bahu Anneta, sekedar memastikan keadaannya. "Ann? Jangan nangis."
Anneta langsung mendekap Keenan, membuat cowok itu terkaget ketika mendapat serangan secara tiba-tiba dari Anneta. Keenan terdiam kaku, pemuda itu menelan salivanya ketika Anneta memeluknya erat.
Masih dalam hati yang remuk, Anneta meneteskan air matanya. Kepedihan ini sesungguhnya tak mampu ia sembunyikan. Dia hanya ingin mencurahkan segala isi hati beserta rasa gundah ke dalam pelukan seorang Amar.