Aku menguap dan ibu yang melihatnya hanya tersenyum sambil menutup mulutku, “Kamu masih mengantuk, ya? Bobo lagi, yuk!” ajak ibu sambil menggendongku naik ke atas kasur dengan jaring sebagai penghalau nyamuk.
Cukup lama aku menunggu sampai ibu tertidur sambil melirik pria serba putih yang masih terlihat dari pantulan cermin. ‘Apa yang sebenarnya terjadi?’
Pria misterius itu benar-benar bisa membaca pikiran, dia terlihat bergerak keluar dari cermin perlahan dan membuatku bergidik ngeri. Namun dia hanya tersenyum sambil duduk di atas kasur perlahan dan menjawab pertanyaanku, “Seperti yang saya bilang sebelumnya, kamu kembali menjadi anak usia 3 tahun.”
‘Maksudku, kenapa ini bisa terjadi? Seharusnya aku mati setelah terjun ke sungai,’ batinku sambil menatap tangan mungil di hadapanku ini, ‘siapa anda?’
“Saya hanya pembawa pesan, tugas saya adalah menyampaikan hal yang harus diketahui oleh jiwa muda putus asa... bahwa bunuh diri bukanlah jawaban dari semua hal.”
‘Aku juga tahu... tapi semua ini begitu berat,’ aku mulai menitikan air mata begitu mngingat kembali masalahku.
“Kamu beruntung, tidak semua orang diberi keistimewaan untuk memilih kehidupan yang benar-benar diinginkan. Sebagai anak usia 3 tahun, kamu masih punya kesempatan agar masa depan seperti yang kamu alami sebelumnya seakan tidak pernah terjadi.”
‘Jadi aku telah benar-benar kembali ke masa lalu?’ pria itu mengangguk perlahan, ‘tapi kenapa aku?’
“Kamu adalah orang yang berusaha hidup di jalan yang lurus, selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada keegoisanmu, menghindari permusuhan dan juga dosa, meskipun semua itu memberikan penyesalan yang terus membekas di ingatan.”
‘Karena aku selalu berusaha menjadi orang yang baik, maka Tuhan memberikan kesempatan kedua padaku?’ pria itu kembali berdiri mendengar apa yang aku pikirkan.
“Dengan syarat kamu harus memilih salah satu jalan yang akan berpengaruh pada masa depanmu!” pria itu mengangkat kedua tangannya dan muncul cahaya dari keduanya.
Aku hanya menatapnya tidak percaya sambil menelan ludah, “Apakah kamu akan memilih untuk mengubah hidupmu? Atau kamu memilih untuk memperbaiki hidupmu?”
Mataku menatap kedua tangan bercahaya tersebut sambil memikirkan pilihan yang harus aku ambil, sebuah pilihan yang akan menentukan masa depanku kelak.
‘Apa perbedaan dari kedua pilihan itu?’ tanyaku penasaran.
“Mengubah kehidupan artinya melakukan hal yang berbeda dari kehidupanmu sebelumnya, meskipun akan ada hal yang tetap sama karena beberapa pemicu dalam perjalananmu nanti.” Jelasnya yang membuatku ragu.
‘Kalau memperbaiki kehidupan?’
“Memperbaiki kehidupan artinya kamu akan menyelesaikan berbagai sumber penyesalan di kehidupanmu sebelumnya, tetapi kamu harus bijak dalam mengambil keputusan karena tidak semua hal yang kamu sesali adalah kesalahan.”
‘Lalu jalan mana yang memiliki risiko paling buruk?’
“Kedua jalan memiliki risiko yang sama besarnya, karena yang menentukan adalah pilihan-pilihan di sepanjang perjalananmu kelak. Kehidupanmu nanti tidak sepenuhnya sama dengan kehidupan sebelumnya, karena bisa semua kemungkinan bisa membuatnya menjadi lebih baik atau lebih buruk.” Paparnya yang membuatku makin bimbang.
‘Hmm... ini adalah kesempatan kedua dalam hidupku, jadi aku ingin menjalaninya dengan cara yang berbeda. Tapi aku juga ingin memperbaiki semua penyesalanku...,’
“Apakah kamu sudah menentukan pilihanmu?” aku menatap pria berambut putih itu dan mulai mengambil nafas dalam.
“Aku memilih untuk memperbaiki hidupku!” ucapku dengan mantap dan pria itu hanya tersenyum, dia mendekat dan menyentuh kepalaku dengan tangan kanannya yang bercahaya sedangkan aku hanya memejamkan mata.
“Kamu akan menjalani hidup dengan kesadaran usia 22 tahun, gunakanlah kesempatan ini dengan sebaik mungkin agar masa depan yang diakhiri dengan bunuh diri tidak pernah terjadi.” Lirih pria itu dan ketika aku membuka mata, sosoknya telah menghilang.
Aku menelisik sekitar untuk memastikan apakah dia telah benar-benar pergi atau tidak, lalu turun dari kasur dan mendekati lemari kayu milik orang tuaku.
‘Pasti ada buku tulis kosong di sini...,’ batinku sambil berusaha meraih tas berisi dokumen penting dengan tangan mungilku, namun tas yang besar dan berat bagi anak usia 3 tahun itu justru jatuh dan hampir menindih tubuh kecilku.
Ibu langsung terbangun begitu dengar suara benda jatuh, beliau langsung mendekat dan menelusuri setiap tubuhku dengan cemas, “Sayang! Kamu tidak apa-apa?”
Aku hanya menggeleng pelan dan ibu langsung memelukku, “Kamu cari apa sih, sampai buka lemari ibu?”
“Aku cali buku...” jawabku dengan polos dan ibu menghela nafas sambil tersenyum.
“Nanti kalau bapak pulang, kita beli ya!” ucap ibu dan aku hanya mengangguk sambil melirik wanita di sampingku.
‘Lagi-lagi aku salah mengambil tindakan... kalau aku minta dengan baik mungkin Ibu akan memberikannya, tanpa harus membuatnya khawatir seperti ini.’ Batinku menyesal.
Walaupun aku sering dibilang pintar di kehidupanku sebelumnya, sebenarnya aku hanya menutupi dengan ketekunan. Karena diriku yang sebenarnya adalah orang yang ceroboh dan juga lambat dalam mengambil keputusan yang benar, sehingga hidupku dipenuhi penyesalan bahkan dalam hal-hal kecil.
Aku selalu memendam semua masalahku sendiri karena tidak ingin merepotkan orang lain, namun itu menjadi bumerang yang membuatku jadi pribadi yang tertutup. Kalau aku ingin memperbaiki kehidupanku... maka aku harus lebih jujur dan terbuka pada orang di sekitarku.
“Sayang, kenapa hari ini kamu terlihat berbeda?” lirih ibu yang membuatku tersentak, namun aku berusaha untuk bersikap jujur kali ini.
“Tadi aku ketemu kakek tua belambut putih... dia bicala padaku,” ucapku yang terdengar lucu karena masih cadel, namun ibu hanya menatapku dengan hangat.
“Kakek itu bicara apa sama kamu?”
“Dia bilang kalau aku beluntung bica memilih hidupku cendili...” aku menghentikan ucapanku saat mulai terdengar makin tidak jelas, dan melirik ke arah ibu yang hanya tersenyum padaku, “aku lupa lanjutanna.”
“Yah... padahal ceritamu kedengaran seru,” sambung bapak yang baru pulang kerja lalu menggendongku.
“Bapak!” seruku berpura-pura polos seperti anak kecil pada umumnya.
“Jagoan kecil kita katanya mau belajar menulis,” sambung ibu, “dia sampai cari buku di lemari kita dan hampir kejatuhan tas yang berisi tumpukan berkas.”
“Wah hebat! Kalau besar mau jadi penulis cerita, ya?” puji bapak sambil menggoyangkan tubuhku, dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
Bodohnya aku berpikir bisa menceritakan hal tidak masuk akal ini pada orangtuaku, mereka pasti berpikir ini hanyalah imajinasi anak-anak... memang seharusnya hal ini tetap menjadi rahasiaku seorang.
Ayah membawaku pergi jalan-jalan, dan aku lihat banyak orang sedang bercengkerama di bawah langit sore. “Jalan-jalan sore, ya?”
Seorang wanita mendekat sambil mengelus pipiku yang tembem, sedangkan aku hanya tertawa sambil meminta digendong olehnya. Beberapa orang lainnya ikut mendekat dan mengajakku berbicara, “Manisnya... namanya siapa?”
“Namaku Anthon, Bi!” sahut bapak dengan suara yang dikecilkan mewakiliku, dan aku hanya tertawa polos.
Tidak ada salahnya sedikit berpura-pura dan berusaha dekat dengan lingkungan sekitar, karena citra baik dan ramah sangat berpengaruh dalam memperbaiki kehidupanku.
***