WebNovelRoute19.05%

4. Rute A - Teman Masa Kecil

Langkah kecil anak-anak yang sedang berlari di depan rumah membuatku mendekat ke arah pintu yang bahkan gagangnya tidak bisa aku raih, “Ibu! Aku mau main di luar!”

“Tidur siang dulu, yuk!” ajak ibu dan aku berusaha merengek untuk bisa keluar.

Ibu berjalan mendekat ke arah pintu sambil mengangkat tangannya, dia akan membuka pintu pikirku... namun ternyata ibu justru menggeser grendel dan menggendongku masuk ke dalam kamar.

Inilah alasanku jarang memiliki teman saat kecil, karena ibu selalu punya alasan agar aku tetap berada di rumah. “Aku mau main di luar!”

“Iya... nanti ya, Sayang!” dalih ibu sambil memelukku, dan aku tahu persis ibu hanya akan membuat alasan lain nantinya.

Aku merasa kesal karena ibu selalu mengurungku saat kecil, memang rumahku dikelilingi oleh pepohonan, jalan yang berbatu, bahkan dekat dengan makam... tetapi aku juga ingin seperti anak seumuranku yang bisa bebas keluar dan bermain.

‘Andai ibu tahu bagaimana masa depan yang harus aku lalui karena hal ini...,’ batinku sambil melirik ibu yang sudah tertidur.

Aku perlahan melepaskan pelukan ibu dan turun dari kasur, kaki kecilku melangkah mencari bangku plastik yang bisa aku gunakan sebagai pijakan untuk membuka pintu. Aku melakukan segalanya secara perlahan agar tidak menimbulkan suara yang dapat membangunkan ibuku, hingga aku berhasil keluar.

Aku melangkah menuju lapangan voli tempat anak-anak sering berkumpul dan nampak dua anak laki-laki sedang mengoper bola plastik bergiliran. “Aku boleh gabung?”

Mereka menatapku lalu saling berbisik sejenak, aku hanya diam menunggu sambil mengamati suasana asri yang sudah lama tidak aku lihat. Bola menggelinding ke arah kakiku dan mereka bersorak memintaku untuk menendang ke arah mereka.

Panas terik matahari seakan bukan halangan bagi kami yang asyik mengoper bola, namun rasa haus memaksa kami berteduh di bawah pohon mangga. “Hah... panas!”

“Di rumahku ada es buah loh...,” seru anak yang ompong pada gigi depannya sambil menyombongkan diri, hal yang sering dilakukan anak-anak dan jelas membuat orang di sebelahku merengek.

“Aku nanti juga mau beli es buah, piringnya besarnya segini!” sahutnya sambil menunjukkan besar piring yang tidak masuk akal dengan kedua tangannya, dan aku hanya tertawa mendengar kepolosan anak-anak ini.

“Main ke rumahku aja yuk, nanti aku kasih es buahnya.” Ajak anak itu dan kami mengangguk dengan semangat, rumahnya tidak jauh dari lapangan voli dan bisa terlihat dari kejauhan karena memiliki lantai dua.

Dia membuka gerbang besi dan hendak masuk ke rumah, namun perempuan yang lebih tua lima tahun dari kami menghadang dan berteriak memanggil ibunya. “Mama, Kemal habis mainan tanah lagi!”

Wanita dewasa keluar dan menatap kami bertiga yang kotor karena debu menempel pada keringat di tubuh kami, wanita itu memasang selang pada keran di dekat kolam dan kedua anak di sampingku langsung melepas bajunya.

“Kamu juga lepas bajumu!” tunjuk wanita itu padaku, “kalau mau masuk rumah badanmu harus bersih.”

Aku melihat ke arah dua temanku yang tanpa malu melepas seluruh pakaiannya dan bermain dengan riang di bawah pancuran air, memang ini tubuh anak kecil namun entah mengapa aku sedikit malu melakukannya.

Mereka berdua langsung menarik dan membuat tubuhku basah kuyup, tanpa pikir panjang aku ikut melepas pakaianku dan mandi bersama mereka tanpa memperdulikan pandangan orang yang berlalu lalang di sekitar kami.

Setelah puas bermain air, wanita tadi datang membawakan kami baju ganti. “Sementara pakai bajunya Kemal dulu ya,”

Aku memakai baju bergambar kartun Doraemon sambil melirik anak di sampingku, “Namamu Kemal, ya?”

“Iya, namamu siapa?” balas Kemal dengan polos.

“Aku Anthon!” jawabku lalu menoleh pada anak yang satunya, “kalau kamu?”

“Aku Firman, anaknya pak RT!” ucapnya dengan sombong membuat anak perempuan yang tadi mengadukan kami ikut menyahut.

“Emangnya kamu tau RT itu apa?”

Firman menatapnya dengan kesal lalu menjawab, “Tau, orang yang suka corat-coret kertas terus di dok-dok!”

Aku berusaha menahan tawa mendengar penjelasan dari anak berkepala pelontos itu, itulah jawaban normal untuk anak usia 4 tahun mengenai pekerjaan ayahnya.

“Bukan! Itu namanya tanda tangan dan stempel!” bentak gadis kecil itu dan kemudian ditepuk pundaknya oleh ibunya.

“Indah, jangan ganggu teman-teman adikmu terus.” Bujuk mamanya dan Indah langsung pergi sambil menjulurkan lidah untuk mengejek kami.

Wanita itu duduk lalu menuangkan es buah ke dalam mangkuk kaca dan memberikannya padaku, “Terima kasih, Bibi!”

“Sama-sama Sayang, oh iya... rumahmu di mana?”

“Di tengah hutan dekat makam.” Jawabku berusaha nampak seperti anak kecil polos, dan wanita itu terdiam sambil memikirkan jawabanku.

“Oh... jadi kamu Anthon, Bibi sampai pangling karena kamu sudah sebesar ini. Tapi kamu berani sekali main sampai sini, apa ibumu tidak khawatir?” aku hanya menggeleng mendengar pertanyaan itu sambil melirik wanita yang masih tersenyum melihat kami bertiga yang lahap menyantap es buah.

Keluarga Kemal memang baik, bahkan di kehidupanku sebelumnya mereka sangat dekat dengan keluargaku. Meskipun begitu, hubunganku dan Kemal menjadi canggung setelah lama tidak bertemu saat beranjak dewasa.

Karena itu kali ini aku harus bisa menjaga hubungan pertemanan ini sampai dewasa nanti, dan mungkin bisa membantu Firman agar tidak menjadi seperti di kehidupanku sebelumnya.

Kami semakin jauh karena Firman salah pergaulan, dia lebih sering nongkrong dan juga pacaran daripada memikirkan masa depan... hingga akhirnya putus sekolah dan menikah muda. Sebenarnya aku takut jika mereka menyadari pandanganku yang berbeda, akibat pengetahuan masa depan yang seharusnya menjadi misteri.

Tetapi sekarang yang utama adalah menjaga hubungan ini, apakah masa depan mereka juga ikut berubah atau tidak itu masalah nanti.

“Sudah sore, ayo Bibi antar pulang!” ucap mamanya Kemal membuyarkan lamunanku.

Kemal berdiri di teras sambil melambaikan tangan padaku dan Firman, “Besok main lagi, ya!”

Kami melambai singkat lalu berjalan menuju rumah Firman yang terdekat, di sana nampak dua wanita sedang berbincang dengan serius dan aku mengenali salah satunya. “Ibu?”

Wanita itu menoleh dan berlari menghampiriku, “Ibu panik dari tadi cari kamu, kamu ke mana sih?”

“Maaf Bu, tadi aku main sama Firman dan Kemal.” Jelasku dan ibu langsung memeluk erat.

“Kenapa kamu tidak pamit dulu?” tanya ibu cemas.

“Karena Ibu selalu melarangku main di luar, padahal aku juga mau punya teman baru dan bermain bersama....”

Ibu menatapku lekat dan menghela nafas pasrah, “Lain kali Ibu akan izinkan kamu main di luar, tapi kamu tidak boleh langsung pergi tanpa pamit pada Ibu! Mengerti?”

Aku mengangguk dengan semangat lalu membalas pelukan ibu, ‘Akhirnya aku bisa meyakinkan ibu, langkah kecil ini akan menjadi awal dari perubahan hidupku.’

***