Teriknya sinar matahari membuatku hanya diam di depan teras rumah sambil menggambar, mengasah kemampuanku sejak kecil karena di kehidupanku sebelumnya aku akan berkutat dengan pekerjaan seperti ini.
“Aku mau nonton kartun!” rengek anak kecil berambut ikal yang tangannya ditarik oleh ayahnya mengalihkan perhatianku.
“Ayah sama bunda mau pergi, memangnya kamu berani di rumah sendiri?” bentak pria berkumis itu dan anak kecil tadi langsung menangis.
Aku berjalan mendekat dan menarik celana kain pria itu, “Paman, biar dia main di rumahku saja!”
Pria itu kaget dan menatapku dengan heran, lalu seorang wanita dengan kerudung besar muncul dari belakangku. “Kamu Anthon, ‘kan?”
“Iya Bibi,” jawabku sambil tersenyum.
Wanita itu menggendong anak laki-laki yang masih menangis sambil menunjuk ke arahku, “Kamu mau main sama Anthon?”
Tangis anak itu mulai mereda dan menatap ke arahku sambil sesenggukan, aku berusaha membujuknya dan dia langsung mengangguk. Ibuku yang mendengar keributan di depan rumah keluar untuk memeriksa.
“Ibunya Anthon, kebetulan sekali... boleh kami titip Damar sebentar?” ujar wanita tadi sambil menjelaskan situasinya pada ibuku, dan ibuku mengangguk dengan ramah.
Damar turun dari gendongan bundanya dan aku langsung menariknya masuk untuk menonton TV, “Namamu Damar, ya?”
Anak itu mengangguk sambil mengusap bekas ingusnya, dia langsung berubah ekspresi ketika aku mengganti ke saluran kartun hari Minggu. Aku melirik sekilas berusaha mengingat wajahnya, meski rumahnya tidak jauh dari rumahku... kami jarang bisa bermain bersama karena keluarganya selalu sibuk berpergian.
Setelah kartun berganti menjadi acara masak, Damar langsung mengeluarkan boneka superhero kecil dari sakunya. “Kamu punya mainan Power Rangers?”
Karena terlalu sibuk belajar dan mempertajam kemampuan sebagai bekal masa depan, aku sampai lupa kalau aku sama sekali tidak memiliki benda yang bernama mainan. Damar menelisik sekitar dan tidak terlihat ada benda yang bisa dimainkan, aku mungkin terlihat aneh baginya karena meski berusia 4 tahun namun aku sangat berbeda. Melihatku yang terdiam membuat Damar berdiri, “Aku tau siapa yang punya banyak mainan, ayo kita ke rumahnya!”
Aku hanya mengikutinya dan pergi setelah pamit pada ibu, jika melewati jalan normal maka kami harus memutar cukup jauh sehingga kami terpaksa melewati jalan pintas yang terhalang oleh pepohonan dan rumput yang tinggi.
Setelah berjalan ternyata rumah yang dimaksud tidak jauh, dan Damar langsung berteriak memanggil. “Rangga!”
Orang yang dipanggil langsung keluar sambil membawa dua robot mainan, Damar menarikku untuk mendekat pada anak yang terlihat pemalu itu. “Damar... ini siapa?”
“Aku Anthon, kata Damar kamu punya banyak mainan, ya?” tanyaku dan anak berkulit cerah itu langsung masuk ke dalam rumah meninggalkan kami, tidak lama kemudian dia keluar sambil mendorong kotak besar berisi mainan.
“Ayo main!” ajak Rangga dan kami langsung memilih dengan semangat.
Aku kagum pada imajinasi anak kecil yang masih bebas tanpa harus memikirkan bagaimana membuat sesuatu terdengar masuk akal, hal itu membuatku terbayang bagaimana seorang anak dapat berubah menjadi pribadi yang berbeda-beda.
Sedangkan aku justru berpikir terlalu keras mengenai bagaimana masa depan yang akan aku jalani di kehidupan ini, hingga lupa untuk bersikap layaknya anak-anak.
“Makan dulu, yuk!” seru wanita paruh baya yang memakai kain jarik sambil membawa nampan berisi nasi dan lauk pauk.
“Maaf merepotkan, Eyang!” ucapku dengan sopan dan membuat wanita itu menatapku dengan heran, aku mengalihkan pandangan untuk menghindari tatapannya.
Setelah selesai makan, Damar dan Rangga kembali bermain sedangkan aku membantu wanita tua yang sedang membereskan piring bekas makan kami. “Sudah, kamu main saja!”
Namun aku hanya diam dan masih membantu menata piring ke atas nampan, beliau menatapku yang kesulitan mengangkat tumpukan piring karena tubuh kecil ini lalu mendekat dan berdiri membawanya ke dapur.
Aku kembali bermain bersama Damar dan Rangga lalu menyadari tatapan dari kejauhan, ‘Kenapa Eyang masih menatapku?’
Tidak lama kemudian orang tua Damar datang dan menjemputnya pulang, sedangkan aku masih menemani Rangga membereskan mainan dan memasukkannya dalam wadah semula.
“Nanti Eyang antar pulang ya, Anthon.” Sahut nenek itu dan aku hanya mengangguk dengan ragu.
Eyang menggandeng tanganku sedangkan aku hanya menunduk menghindari batu yang bisa membuatku terjatuh, “Terima kasih Eyang, sudah mengantarku pulang.”
“Kamu... sepertinya berbeda dari anak lain, seakan jiwamu sudah dewasa.” Ucap Eyang yang membuatku tersentak kaget, apakah mungkin beliau menyadari keanehan pada diriku?
“Apa maksud Eyang?” tanyaku dengan polos.
Eyang menatapku sejenak lalu tersenyum, “Bukan apa-apa, Eyang hanya kagum dengan cara orang tuamu mengajarkan tentang sopan santun.”
Aku hanya diam merenungkan perilaku yang mungkin sangat berbeda dengan anak seumuranku, sepertinya sifat kaku dari kehidupan sebelumnya masih terbawa hingga sekarang.
Sifat yang berasal dari rasa segan pada orang lain yang justru membuatku seakan tak terjangkau, membatasi orang yang ingin mengenalku lebih jauh dan membuatku sulit dekat dengan orang lain.
Aku selalu merasa tidak enak jika menjadi beban bagi orang lain, merasa bersalah jika lupa berterima kasih hingga terus menolak uluran tangan yang tulus padaku karena takut tidak bisa memberi balasan yang setara.
Membuatku iri dengan keakraban yang dengan santainya melempar olokan, juga kebebasan mengutarakan pendapat tanpa harus memikirkan apakah lawan bicara merasa tersinggung atau tidak. Aku selalu berpikir bahwa sifat kaku dan perasaan segan ini adalah pisau bermata dua, tetapi aku takut untuk mengabaikannya.
“Kamu tahu, Anthon?” lirih Eyang yang membuyarkan lamunanku, “berusaha baik pada semua orang itu tidak salah, tapi kamu masih terlalu kecil untuk memendam keinginanmu. Menjadi sedikit egois terkadang diperlukan agar kamu bisa mengetahui sejauh mana kamu menghargai dirimu sendiri.”
Aku hanya diam mendengarkan ucapan Eyang yang seakan bisa mendengar isi pikiranku, dan beliau tersenyum sambil mengangkat tubuhku. “Semoga kamu bisa terus akrab dengan Rangga, karena saat bersama kalian dia bisa melupakan masalah orang tuanya.”
Sebenarnya aku juga berharap seperti itu, karena di kehidupanku sebelumnya... kami justru bagai orang yang tidak saling mengenal. Damar yang menjadi penghubung kami pindah ketika aku baru masuk SD, dan masalah perceraian orang tua Rangga membuatnya lebih sering pergi ke rumah kakeknya di luar kota.
Apakah aku juga bisa mengubah masa depan mereka?
Tidak. Yang paling penting sekarang adalah menjaga hubungan kami agar terus terjaga meski dipisahkan jarak, aku harus berusaha agar teman-teman di kehidupan ini dapat bertahan hingga kami dewasa.
Aku memeluk Eyang dengan erat, karena aku hanya punya sedikit waktu untuk bisa bersama wanita bijak ini.
Salah satu hal yang menyedihkan dari mengulangi kehidupan adalah... merasakan kehilangan orang terkasih untuk kedua kalinya. “Terima kasih, aku janji akan berusaha menjalankan permintaan Eyang!”
***