“Anthon!” seru wanita paruh baya saat aku baru sampai di teras rumahnya, aku hanya berusaha polos dan berlari menghampirinya untuk minta digendong. “Sayangku sudah besar!”
Wanita itu mencium pipiku berkali-kali karena gemas, bukan hanya padaku saja melainkan pada seluruh anak kecil yang beliau temui di jalan. “Aku kangen Nenek!”
“Nenek juga kangen, Sayang! Ayo masuk, Nenek punya sesuatu untukmu…,” ucapnya sambil menggendongku masuk ke dalam rumahnya, dia mengambil sebuah toples berisi Ampyang Gula Kacang buatannya yang menjadi favoritku bahkan sampai aku dewasa.
Namun aku menatap camilan itu dengan ragu, aku selalu datang berkunjung ke rumah nenek sebulan sekali dan beliau selalu memberikan camilan manis ini berharap aku menghabiskannya.
Tanpa dia sadari aku cukup menderita akibat sakit gigi berlubang meskipun sudah rajin gosok gigi, dan saat dewasa aku baru mengetahui bahwa kerusakan gigi juga dipengaruhi oleh genetik. Jadi sekarang aku ingin mengurangi makanan manis, aku mengambil dua buah saja dan itu membuat nenek terlihat kecewa.
“Kenapa? Apa rasa jahenya terlalu pedas?” tanya nenek dan aku hanya menggeleng.
“Enak kok, tapi aku mau makan sedikit aja biar gigiku tetap sehat.” Jawabku dan nenek kembali memelukku gemas.
“Pintarnya cucu Nenek!”
Tiba-tiba terdengar suara petasan dari luar rumah dan membuat kami serentak kaget, aku turun dari gendongan nenek dan berlari keluar rumah.
Terlihat seorang anak laki-laki berambut jabrik sedang melompat kegirangan saat kakaknya menyalakan petasan korek, dia menutup mata dan telinga saat korek di dekatkan dengan sumbu lalu tertawa setelah petasan itu berbunyi.
“Aku mau coba!” teriakku sambil mendekati remaja pria tinggi di hadapanku.
“Aku juga mau coba!” sahut anak tadi mengikutiku, dan kakak itu hanya diam sambil menatap sekitar seakan takut ada yang melihat.
“Jangan ya, ini bahaya.” Cegahnya pada kami namun aku bersikeras membantah.
“Kalau bahaya kenapa kakak lakukan?”
Dia hanya tersenyum diam berusaha memikirkan alasan, aku langsung meraih plastik berisi petasan dan korek dari tangan kanannya lalu berlari menghindar sambil menarik anak laki-laki di sampingku.
Kami berlari dan masuk ke halaman salah satu rumah untuk bersembunyi, setelah mengintip dan terlihat aman akhirnya kami keluar lalu menyalakan petasan. Kami saling bergantian menyalakan petasan dan anak tadi terlihat tertawa senang, itu membuatku ragu untuk melakukan niat awalku.
Seingatku, saat aku kecil aku pernah melukai anak laki-laki ini karena ceroboh menyalakan petasan hingga membuatnya menangis. Hal itu sangat membekas di ingatanku karena merasa bersalah, ketakutanku untuk melempar petasan membuatnya harus terluka menggantikanku saat petasan akan meledak.
‘Apakah aku harus melakukan hal yang sama seperti kehidupanku sebelumnya?’ batinku ragu dan tiba-tiba ada yang menjewer telinga kami.
“Ternyata di sini kalian!” ucap remaja tadi dengan kesal dan menarik telinga kami tanpa ampun, hal itu membuat anak di sampingku menangis kencang.
Bapakku terlihat mendekat dan aku melambai sambil memanggilnya dari kejauhan, bapak menatap remaja yang menjewer kami dengan serius. “Naufal…,”
Orang yang dipanggil melepaskan tangannya dari telinga kami dan terlihat gelagapan, “Kak, aku cuma kesal karena mereka nakal.”
“Kami nggak nakal kok,” bantahku, “kami cuma mau main petasan aja.”
“Darimana kamu dapat petasan?” tanya bapakku dan kami langsung menunjuk pada Kak Naufal yang makin salah tingkah.
“Aku udah melarang mereka, tapi mereka malah lari setelah merebut petasanku.” Jelas kak Naufal berusaha membela diri, bapakku hanya menghela nafas pasrah lalu menjewer kak Naufal.
“Kamu itu udah SMA, malah kasih contoh jelek.”
Kami berdua tertawa melihat kak Naufal dijewer seperti anak kecil, setelah itu bapakku menggandeng kami kembali ke rumah nenek. Di sana nampak nenek sedang asik berbincang-bincang, “Kalian dari mana?”
“Ini si Naufal main petasan lagi, padahal dia tau kalau itu bahaya buat anak kecil.” Jelas bapakku membuat nenek tertawa sambil mencubit pipi kami berdua.
“Seru main petasannya?” kami berdua mengangguk sambil tersenyum, “nanti beli kembang api saja, ya!”
Anak di sampingku langsung bersorak girang mendengar akan dibelikan kembang api, meskipun aku melihat kedua orang tuanya mempertanyakan keputusan nenek.
“Kak, jangan dibiasakan kasih kembang api… nanti Yovie ketagihan dan merengek minta dibelikan terus.” Ucap wanita dengan rambut sebahu pada nenek.
Bapak berjongkok sambil membisikkan sesuatu padaku, “Kamu udah kenalan sama mereka?”
Sebenarnya aku sudah kenal dengan mereka, tapi aku menggeleng karena aku baru pertama bertemu dengan mereka di kehidupan ini. Aku berjalan mendekat untuk memperkenalkan diri, “Pakde, Bude, perkenalkan namaku Anthon.”
Mereka tersenyum mendengar sapaanku, pria berkacamata jongkok dihadapanku, “Anthon, kamu seharusnya panggil kami nenek dan kakek.”
“Kenapa?”
“Karena kami adik dari nenekmu, dan nanti kamu panggil mereka Om Naufal dan Om Yovie, ya!” jelas pria itu sambil menunjuk dua orang yang sedang mengambil jus di atas meja.
“Yovie juga? Padahal kami kan seumuran,” ucapku lirih dengan polos dan pria itu tersenyum sambil mengangguk.
Di kehidupanku sebelumnya, aku tidak dekat dengan sepupu-sepupuku karena jarang bertemu dan juga perbedaan umur. Hanya Yovie sepupu yang memiliki umur sama denganku, namun karena tradisi keluarga yang cukup ketat akan silsilah membuat hubungan kami seakan memiliki jarak yang jauh.
Ditambah aku jarang menyapanya karena merasa aneh memanggil ‘om’ pada anak seumuran, aku lebih sering diam dan hal itu berlanjut sampai dewasa sehingga membuat hubungan kami makin canggung.
Namun kali ini aku ingin melewati batasan itu dan mengutarakan pendapatku dengan tegas, “Aku nggak mau panggil Yovie dengan sebutan Om!”
“Loh, kenapa?”
Aku menarik Yovie yang sedang menyeruput jus melalui sedotan di gelasnya, “Kamu mau aku panggil Om Yovie?”
Dia menatapku dengan polos, “Memangnya ‘om’ itu apa sih?”
“Om itu orang yang punya kumis, jenggot, perutnya buncit, kepalanya botak, keriput,” jelasku namun dia hanya diam, aku tersenyum sambil melanjutkan ucapanku, “dan karena om itu artinya udah dewasa, jadi kamu nggak boleh main petasan!”
Dia terbelalak kaget, “Aku nggak mau dipanggil om! Aku masih mau main petasan!”
Aku langsung merangkulnya sambil tersenyum pada empat orang dewasa di hadapanku yang menatap kami dengan heran, kemudian menoleh ke arah bapakku.
“Bukan aku yang mengajarinya!” elak bapak menyadari tatapan intimidasi mereka.
Nenek mendekat lalu memeluk kami berdua, “Kalian lucu banget, sih! Yaudah, terserah kalian mau saling memanggil seperti apa.”
Aku hanya tersenyum membalas pelukan nenek, sambil melirik Yovie yang masih sibuk meminum jus dari gelasnya. Banyak hal yang berbeda dari kehidupanku sebelumnya terjadi hari ini, aku hanya berharap semua perubahan ini akan memberikan dampak baik bagi masa depanku kelak.
***