“Loh, kamu kok cepat besar sih?” ucap wanita berambut ikal dengan ramah sambil menggendongku.
“Aku kan makan tiap hari, Bude!” jawabku dengan polos dan bude langsung tertawa sambil mengangguk.
“Gemas banget sih...,” seru bude sambil mencubit pipiku, “mau es krim nggak?”
Aku hanya mengangguk senang, walau sudah memutuskan untuk mengurangi makanan manis karena berakibat buruk pada gigiku di masa depan namun aku tidak ingin menyinggung perasaan bude. Yang penting aku harus lebih sering gosok gigi karena masalah gigi ini dipengaruhi oleh genetik, dan aku terlambat menyadarinya saat sudah dewasa ketika aku tersiksa akibat gigi berlubang.
“Hanif dimana, Kak?” tanya ibuku sambil menelisik mencari orang yang dimaksud.
Bude menghela nafas kesal, “Anak itu, mentang-mentang libur sekolah kerjaannya di kamar main PS terus. Salah bapaknya juga sih, semua kemauannya selalu dikabulkan jadi sekarang malah sibuk dengan dunianya sendiri.”
Aku mendekat ke arah Bude sambil menjilat es krim yang mulai menetes, “Boleh aku ke kamar Kak Hanif?”
Bude menatapku sambil mengangguk, aku langsung melangkah menuju kamar yang dekat dengan dapur dengan kelambu warna merah. Aku menatap anak yang lebih tua 3 tahun dariku itu tengah fokus menatap layar dengan tangan yang lincah menekan tombol di konsol.
Aku duduk di sebelahnya sambil menjilat es krim di tanganku, “Main apa, Kak?”
Dia hanya diam mengabaikan pertanyaanku, aku melirik sekilas lalu kembali memperhatikan layar televisi yang cukup lebar, cukup lama sampai tiba-tiba desahan kesalnya mengagetkanku. “Argh! Kalah lagi?”
“Kakak salah gerakan,” dia menoleh padaku, “harusnya Kakak menunduk dan menendang kakinya sebelum dia mengeluarkan jurus pamungkas.”
“Sok tau, emangnya kamu punya PS?” cela Kak Hanif dan aku hanya menggeleng sambil melempar stik es krim ke tempat sampah di pojokan.
“Boleh aku coba main?” pintaku dan dia memberikannya dengan tatapan merendahkan, memang aku masih berumur lima tahun namun aku sudah menguasai permainan ini di kehidupan sebelumnya.
Tanganku agak kaku karena sudah lama tidak memegang konsol PS ini, namun aku dapat menyesuaikan dan berhasil memenangkan permainan pertamaku. Hal itu jelas membuat anak laki-laki di sampingku ternganga tidak percaya. “Keren... kamu bisa menang melawannya!”
“Kakak mau coba tanding sama aku?” tanyaku membuatnya semangat sambil memasang konsol kedua dan memulai permainan yang menampilkan dua tokoh superhero bertopeng saling beradu kemampuan.
Aku meliriknya sekilas, dia terlihat bersemangat menggerakkan konsol di tangannya meski tahu itu tidak membawa dampak apapun dalam permainan. Tetapi begitulah ekspresi normal anak-anak ketika sedang bermain, tidak sepertiku yang terlihat kalem.
“Apa? Kenapa aku bisa kalah sama kamu?” sentaknya heran saat aku berhasil mengalahkannya, “ayo tanding ulang!”
Aku meletakkan konsol di atas kasur, “Aku udah selesai mainnya,”
“Kenapa? Ayo main lagi, kali ini aku akan mengalahkanmu!”
Aku tersenyum padanya, “Boleh... tapi ada syaratnya!”
“Apa?” tanyanya penasaran.
“Aku mau jeda main itu dulu!” tunjukku pada kotak papan permainan di atas lemari, “jadi setiap selesai pertandingan, kita akan memainkan itu dulu baru lanjut pertandingan selanjutnya.”
Dia menatapku heran, “Permainan itu membosankan, lagipula nggak seru kalau cuma dua orang yang main.”
“Siapa bilang kita cuma main berdua?” dia terlihat heran mendengar ucapanku, namun Kak Hanif tetap mengambil papan permainan itu dan kami pergi ke ruang tamu.
Ibu dan Bude menatap kami yang berjalan mendekat, aku meletakkan papan permainan itu di atas meja, “Ibu, Bude, ayo main!”
Bude menoleh pada Kak Hanif yang membuang muka padanya, lalu kembali menatapku sambil mengangguk. Di antara lima jenis permainan, kami memilih yang paling mudah yaitu Ular Tangga dan berakhir dalam waktu sepuluh menit. “Yes, akhirnya selesai.”
Kak Hanif langsung menarikku kembali ke depan layar televisi di dalam kamarnya, dan hal ini berulang sebanyak tiga kali setiap permainan selesai. Kali ini kami bermain Ludo, dan aku melirik ke arah Kak Hanif yang tertawa setelah memundurkan pion milik Bude.
“Akhirnya... sedikit lagi aku bisa mengalahkan Anthon,”
“Yah, padahal aku hampir sampai, loh!” desah Bude sambil memundurkan pionnya ke kotak pertama, dan aku menggelindingkan dadu setelah giliranku tiba.
Tiga titik yang muncul pada dadu tersebut membuatku memenangkan permainan untuk kesekian kalinya, Kak Hanif terlihat kecewa dan meminta untuk bermain lagi.
“Seru ya Kak mainnya?” celetukku sambil menata pion-pion kembali di kotak pertama kami masing-masing.
Aku melirik ke arah Kak Hanif yang terlihat menutupi antusiasnya, “Biasa aja,”
“Benarkah? Tapi tadi aku lihat Kak Hanif tertawa puas waktu main ini dari pada waktu main PS,” Kak Hanif tersentak mendengar perkataanku, “bukankah lebih seru main dengan orang banyak daripada sendirian di kamar?”
“Kamu merasa kesepian?” sela bude sambil menatap Kak Hanif yang menunduk, lalu menangguk perlahan.
“Itu karena bapak dan ibu sibuk bekerja meninggalkanku sendirian,” lirih Kak Hanif berusaha menahan tangis membuat bude memeluknya.
Aku tersenyum melihat mereka berdua dan berdiri untuk membisikkan sesuatu pada ibu, Kak Hanif melirik padaku yang sedang mengenakan jaket. “Anthon, kamu mau pulang?”
“Maaf ya Hanif, ini udah sore... jadi Anthon harus pulang dulu.” Balas ibu membuatnya menoleh ke arah jendela yang menampilkan langit berwarna jingga, bude yang melihat ekspresinya berusaha membujuk ibuku.
“Kalian menginap aja, ya!”
“Lain kali aja, Kak. Lagipula aku juga belum pamit sama suami.”
Kekecewaan nampak di wajah mereka berdua saat kami pamit pulang, “Ibu, lain kali aku boleh menginap di sana?”
“Seru ya main sama Kak Hanif?” aku mengangguk sambil tersenyum, “padahal ibu belum pernah mengajari kedua permainan tadi, darimana kamu tahu cara mainnya?”
“Aku baca petunjuk yang ada di dalam kotak permainannya.” Jawabku dengan polos, namun ibu hanya diam sambil menatapku heran. “Ada apa?”
“Kamu memang anak ibu yang penuh kejutan, Sayang!” puji ibu sambil mengecup pipiku dengan gemas.
Semua yang aku lakukan ini bukan tanpa alasan, di kehidupanku sebelumnya Kak Hanif adalah orang yang lebih tertutup daripada aku. Dia lebih sering menghabiskan waktu bermain PS di dalam kamarnya karena kedua orangtuanya sibuk bekerja, bahkan aku lupa kapan terakhir berbicara padanya.
Saat dewasa dia memilih untuk kerja di luar kota dan tidak pernah mengabari keluarganya, seakan dia ingin memutuskan hubungan. Aku yang anak pertama berharap bisa menjadikan Kak Hanif sosok kakak yang bisa menjadi tempat berbagi, karena aku merasa... Kak Hanif juga sebenarnya tersiksa karena kesendiriannya seperti diriku di masa lalu.
Semoga pilihanku untuk memperbaiki kehidupan Kak Hanif adalah pilihan yang tepat bagi kami berdua, karena kami sama-sama memahami arti dari pahitnya kesendirian.
***