“Kakak!” seru anak balita saat melihatku berdiri di depan kelas, dan aku berusaha tersenyum lalu menggendongnya.
“Kamu nggak ikut masuk?” tanya ibu dan aku hanya menggeleng.
“Ini adikmu? Wah lucunya…, namanya siapa?” tanya Juna dan adikku hanya diam karena takut melihat tubuhnya yang besar.
“Namanya Shafar,” jawabku dan Juna masih berusaha membujuk adikku agar mau bersalaman. Aku menatap Shafar yang mulai tersenyum manis dengan perasaan bersalah, karena selama dua tahun aku berusaha mengabaikannya.
Setelah dia lahir, aku selalu teringat dengan adikku di kehidupan sebelumnya yang bernama Erick. Dia seharusnya lahir ketika usiaku delapan tahun, namun karena Shafar berhasil lahir maka keberadaan Erick seakan menjadi tokoh dalam mimpi dan hanya aku saja yang mengetahuinya.