Malam terakhir di Swidnica.
Satu tahun sembilan bulan, pikirannya menolak sesingkat itukah waktu yang diberikan untuknya berada di kota ini. Waktu yang seharusnya bertahan sedikit lebih lama lagi hingga dia menyelesaikan studinya, juga waktu yang seharusnya tak berubah alur, waktunya bersama yang dicinta.
Tidak ada yang tahu, bagaimana Adira menjalani 21 bulan penuhnya di kota ini, bagaimana sebetulnya isi perasaan gadis itu, sekosong apa - bahkan, sehancur apa pikirannya.
Setelah kepergian Oma tiga bulan lalu, Opa memutuskan untuk menyewakan rumah sebagai tempat penginapan, sekaligus berencana untuk pindah ke kota lain di Polandia. Selama itu pula Adira dan Mama terpaksa menyewa apartemen di pusat Kota Warsawa.
Besok adalah hari keberangkatannya, meninggalkan kota yang bisa disebut sebagai tempat di mana dia melarikan diri dari kecewa, yang ternyata malah semakin mengecewakan. Kota di mana dia seharusnya menyobek halaman-halaman duka dalam jurnal hidupnya, melukis suka di setiap lembar selanjutnya.
Adira kira, kepergian Adiel yang sangat mendadak itu, hanya akan melukai hatinya sementara. Rupanya tidak, dia salah besar. Rasanya sama, terlalu sakit untuk dibayangkan.
Berbeda dengan kehancuran ketika Aditya memutuskan hubungan mereka, yang Adira rasakan adalah kekosongan saat senyum dan tawa Adiel tidak lagi tertangkap netranya. Saat seharusnya mereka bersama pergi ke suatu tempat dalam catatan Adiel, saat mereka seharusnya menjadi karakter utama dalam cerita penuh sukacita berlatar kota Swidnica.
Kekosongan itu, akan membuat siapapun ikut merasakan betapa hampa setiap napasnya, sesunyi apa detak demi detak dari jantung seorang Adira.
Sesunyi itu. Cukup untuk menjadi alasan mengapa hatinya tidak perlu lagi menerima tamu.
✰✰✰
"Kangen banget nggak, sih?" teriak Melodi gemas dengan pemandangan di depannya. Adalah momen langka ketika ketiga sahabatnya, beserta dirinya berkumpul secara lengkap seperti ini.
Raina mengangguk setuju, kemudian menyeruput es americano di atas meja. "Langka banget kita berempat bisa kumpul begini."
"Kalian kalau mau makan, bilang aja gak usah ragu, gratis kok," Melodi nyengir.
"Gak nyangka gue, Kak Ibran bakal sesukses ini jadi dokter dan pebisnis," sahut Raina.
Adira sesekali memandangi beberapa sudut cafè milik kakak laki-laki Melodi itu.
Ukurannya tidak terlalu luas, tetapi terdiri dari dua lantai, di mana masing-masing lantai berbeda tema dan arsitekturnya. Untuk lantai pertama, cenderung lebih kekinian dengan beberapa spot foto tiga dimensi.
Sedangkan untuk lantai kedua, cocok digunakan untuk melepas penat, menghilangkan stres, serta mengerjakan beberapa tugas yang butuh konsentrasi dan ketenangan. Dindingnya bercat cokelat pastel dengan beberapa hiasan lampu kuning emas, serta kutipan inspiratif yang digantung di langit-langitnya.
Melody's cafè.
"Kok malah pakai nama lo sih, Mel?" tanya Adira. "Setahu gue lo enggak berkontribusi apapun di sini,"
"Mana gue tahu," yang ditanya mengendikkan bahunya. "Padahal dulu sempat gue saranin pakai Eliora's cafè aja, nama anaknya. Dia sesayang itu kali sama adiknya jadi apa-apa pakai nama gue biar berkah. Aamiin."
"Ih, padahal lucuan Eliora's cafè," sahut Nadia. "Tapi Melody's cafè juga bagus, sih. Bagus lagi kalau kamu nanti buka cafè sendiri juga, Mel. Melorama's cafè. Atas nama Melodi dan Irama."
Melodi tertawa. "Irama udah pernah bilang, tau. Tapi dia gak mau buka cafè soalnya takut ada persaingan sama kakak gue, aneh banget tuh cowok."
"Terus dia mau nafkahin lo pake apa, Mel?"
"Katanya dia mau nerusin toko roti bundanya," Melodi menatap Raina. "Kalian pada tanya gitu seolah gue bakal jadi jodoh dia beneran aja."
"Udah ah, makin lama makin jauh aja topik kita," Nadia memotong pembicaraan. Gadis itu lalu menoleh ke arah Adira yang sejak tadi hanya mendengarkan obrolan teman-temannya.
"Adira nih, kamu kenapa mau terima Kak Adit lagi?"
Raina dan Melodi spontan mengerutkan alis mereka.
"Iya juga. Padahal dulu lo sampai bela-belain pergi ke Polandia buat move on," tambah Melodi.
Adira tersenyum pahit, kemudian tertawa. Tawa yang dipaksakan. "Dia udah jelasin, kok."
✰✰✰
"Ini hari pertama kita sarapan di sini setelah sekian lama ya, Ma,"
Mama mengangguk dan tersenyum. Wanita itu menatap putri sematawayangnya. "Kamu pasti kangen masakan Oma, ya?" tanyanya.
Adira mengangguk. "Lebih kangen lagi waktu kita berempat ngobrol bareng, tapi sekarang udah gak bisa lagi."
"Maafin Mama, ya? Kamu terpaksa berhenti kuliah dan karena semuanya."
Adira meraih kedua tangan mamanya, menggenggamnya erat seolah mengatakan tidak ada yang perlu disesali untuk meminta maaf.
"Ma, Adira gak pa-pa, kok. Lagian aku juga senang bisa pulang ke Jakarta lagi, ketemu temen-temen," katanya. Dia kembali meyakinkan sang mama. "Untuk masalah kuliah, aku rela kok berhenti. Kan aku udah janji ke Mama buat selalu ada dan bantu Mama merintis usaha baru, iya kan?"
"Kamu seharusnya di Warsawa aja, sayang. Tetap kuliah di sana, tinggal sama Opa, pasti dia bakal tetap pegang rumah lama kita."
"Terus Adira harus biarin Mama sendirian di sini, gitu?" Adira mengerucutkan bibirnya. "Mama kan tahu Adira jadi malas ke kampus sejak gak ada Adiel,"
"Dan dengan lari ke sini, kamu bisa lupain dia, begitu?"
Pertanyaan itu membuat Adira terdiam. Lagi, ucapan Mama tidak sepenuhnya salah karena dia juga memutuskan kembali ke Jakarta untuk melupakan kenangannya bersama Adiel, persis seperti yang dia lakukan dulu ketika memilih untuk pergi ke Polandia agar terhindar dari Aditya dan semua kekecewaannya.
"Kamu gak akan pernah bisa menerima kenyataan kalau cuma lari terus, Adira. Ada waktu di mana semua yang terjadi harus dihadapi, dan kabur gak selalu jadi pilihan yang tepat," kata Mama.
"Kalau suatu saat nanti Aditya menyakiti kamu lagi, lalu kamu mau kembali kabur ke Polandia seperti dulu?" Mama benar-benar membuat Adira bungkam sekarang.
"Kamu hanya akan mengulang kesalahan, bukan mengulang waktu dan Adiel tidak akan pernah lagi ada di sana seperti tahun lalu, sayang."
✰✰✰
"Kamu gak kembung apa minum terus gitu?"
Adiel tertawa kecil, lalu menggeleng. "Ini aja satu gelas belum habis, Ra,"
"Iya sih, tapi kamu minumnya sedikit-sedikit tapi sering, jadinya kelihatan kaya orang haus banget." Dia lalu merogoh tas selempangnya, mengambil sebuah ponsel dan menekan ikon kamera.
"Mau aku fotoin, gak?" tawarnya, yang kini sudah bersiap mengambil gambar.
"Ngapain?"
"Buat kenang-kenangan aja, sih," jawab Adira seadanya. "Jarang-jarang kan kita ke sini, biasanya ke Miau Cafè terus."
Adiel mengangkat kedua alisnya, lalu meraih ponsel di tangan Adira. "Kenapa bukan kamu aja yang saya fotoin?"
"Iya, gantian. Sekarang aku fotoin kamu dulu, ya?"
"Habis itu foto berdua?"
Adira mengangguk, mengambil kembali ponselnya dari tangan Adiel.
"Kamu minum lagi, dong. Biar kesannya candid gitu kaya anak zaman sekarang," perintahnya.
Dan Adiel mengiyakan dengan sukarela.
"KEREN BANGET!"
Adira memperlihatkan hasil jepretannya kepada Adiel setelah baru saja berteriak antusias.
"Kamu punya bakat jadi bintang iklan kopi, tau," ujarnya. Adiel tertawa, memandangi gambar dirinya dari ponsel milik Adira.
"Sekarang giliran kamu, ya?"
Adira membuka matanya, satu hal yang pertama kali dia lihat adalah temaram lampu ruang tengah, serta langit-langit bercat abu. Dia sepenuhnya sadar sedang berada di rumah saat ini.
Tubuhnya terasa kaku dan pegal. Ternyata, dia ketiduran di atas sofa setelah hampir semalaman membaca buku pemberian Aditya.
Jantungnya, berdegup tidak teratur, napasnya pun demikian. Adira yakin dia tidak sedang bermimpi ketika bertemu dengan Adiel tadi. Suaranya begitu nyata, bagaimana cara laki-laki itu tertawa, hingga suara yang sampai saat ini masih terngiang di telinganya.
Senyata itu.
Senyata itu, ilusi bisu, tentang rindu yang bahkan tidak terampu.